tiga puluh sembilan
* u/ team gaskeuunnn~ *
SEBASTIAN
Setelah menghabiskan whiskey-nya, Sebastian meletakkan gelas kristal kosong di atas meja dan berjalan menuju balkon. Pria itu menghabiskan beberapa jam duduk di balkon, mengamati lampu rumah-rumah di bawah dan ombak yang bergerak di kejauhan. Sekitar tengah malam, ia akhirnya kembali ke dalam kamarnya. Ia berjalan masuk dan ketika ia melewati pintu kamar mandi, dirinya bertanya-tanya apakah Andin telah tertidur. Ia bertanya-tanya apakah gadis itu baik-baik saja. Berjalan melalui kamar mandi yang mereka bagi bersama, ia perlahan membuka pintunya dan masuk ke dalam kamar gadis itu. Tampaknya gadis itu telah lupa untuk mengunci pintu kamar mandi.
Semuanya tampak persis seperti bagaimana ketika Sebastian meninggalkannya beberapa jam yang lalu. Dengan hati-hati, tanpa membuat suara apa pun, ia berjalan lebih jauh ke dalam ruang tidur gadis itu. Sebastian menemukan Andin di tempat tidur, meringkuk di satu sisi dengan satu tangan di bawah pipinya. Gadis itu tampak seperti angel tetapi Sebastian tahu Andin pasti kelelahan. Hari ini adalah hari yang panjang dengan penerbangan mereka kemudian jadwal sibuk hingga makan malam. Dan parahnya, dirinya justru telah memperumit dengan mendesak Andin untuk mengakui ketertarikan gadis itu padanya. Sebastian menghukum dirinya sendiri dan mengutuk diri sendiri dalam hati. Itu pasti lamaran pernikahan terburuk yang pernah ada dalam sejarah dunia.
Andin keras kepala sekali tapi begitu juga Sebastian. Pria itu tidak ingin mengucapkan tiga kata itu karena itu bukanlah kebenaran. Ia tidak ingin berbohong. Cinta hanyalah kata yang sering digunakan orang untuk menyebut hal lain, agar terlihat lebih cantik dari hal yang sebenarnya. Saudaranya Thornton telah menderita karenanya dan begitu pula Sebastian sebelumnya. Saat di perguruan tinggi, ia yakin bahwa dirinya telah jatuh cinta pada seorang gadis ini, Aimee, tapi itu hanyalah fatamorgana. Kali kedua Aimee bertemu kakak Sebastian, Piers, gadis itu langsung melompat ke tempat tidur kakaknya, membuat Sebastian hancur dan patah hati. Ia tidak ingin mengalami itu lagi.
Sebastian berlutut di samping tempat tidurnya dan menyentuh pipi gadis itu dengan sangat ringan, takut membangunkannya. "I'm sorry," katanya sambil mencondongkan tubuh ke depan dan mendaratkan ciuman ringan di dahi gadis itu.
Sebastian memperhatikan Andin tidur selama satu jam sebelum lututnya mulai mati rasa. Pria itu berdiri dan berjalan kembali ke kamar mandi. Tepat sebelum ia menutup pintu, Sebastian memandang gadis itu sekali lagi lalu menghela nafas.
Dengan hanya tidur tidak lebih dari dua jam, Sebastian bangun bahkan sebelum alarm-nya berbunyi dan mematikannya. Mengenakan jubah mandi, laki-laki itu berjalan ke kamar mandi dan mandi, berusaha untuk membuat sesedikit mungkin suara agar tidak membangunkan Andin. Dalam benaknya, ia hanya bisa memikirkan Andin dan betapa lelah dan rapuhnya gadis itu semalam. Dua puluh menit kemudian, ia turun ke ruang makan. Tidak banyak orang di sana mengingat itu baru pukul tujuh lewat lima menit dan kebanyakan orang pergi ke sana untuk liburan dan bersantai sehingga mereka biasanya mulai memadati ruang makan sekitar pukul delapan atau sembilan. Segera setelah Sebastian selesai dengan sarapannya, ia memanggil seorang pelayan dan meminta pena dan selembar kertas. Sambil menikmati secangkir kopi hitam, ia menulis di aplikasi catatan di ponselnya apa yang ingin ia katakan pada gadis itu. Ia menghabiskan lima belas menit berikutnya menghapus dan menulis ulang catatan itu, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan pada Andin.
Setelah Sebastian puas dan telah membacanya kembali setidaknya tiga kali, ia mengambil pena dan mulai menulis.
Miss Williams,
Aku akan melakukan perjalanan ke tempat saudaraku. Kau terlihat sangat lelah, aku tidak ingin membangunkanmu. Aku yakin setelah apa yang terjadi tadi malam, aku adalah orang terakhir yang ingin kau lihat di pagi hari. Nikmati hari ini. Aku tidak akan kembali sampai malam.
Tian.
Sebastian memanggil staf hotel dan memesan beberapa set sarapan dari menu. Sebelum pelayan pergi, ia menyerahkan catatan itu padanya. "Kirim sendiri sarapannya. Sekitar pukul sembilan tiga puluh, kurasa dia sudah bangun jam segitu. Dan tolong pastikan ia mendapatkan catatan ini." Setelah memberikan instruksinya, Sebastian menyerahkan uang seratus Euro kepada staf hotel dan pergi.
Setelah membawa semua yang ia butuhkan, Sebastian langsung pergi ke tempat parkir dan segera menyetir ke tempat saudaranya. Ia menatap jalanan putih dan sinar matahari yang menyilaukan, tangannya memegang kemudi dengan erat. Mobil melaju ke depan, membelok di tikungan dengan kecepatan luar biasa. Sebastian sedang melewati jalanan pedesaan di antara pegunungan yang kasar, jalan yang curam dan sibuk.
Suasana pedesaan yang tenang. Pohon cemara menjadi peneduh gelap di sisi jalan. Deretan pohon terasa berlari di kedua sisi. Sebastian telah mengemudi selama setengah jam ketika langit mulai mendung dan hujan mulai turun. Gerimis pada awalnya, dan kemudian jadi hujan lebat yang memaksanya untuk memperlambat mobilnya hingga merangkak, wiper-nya bergerak ke kanan dan kiri dengan cepat untuk menyapu derasnya hujan dari pandangannya. Sebastian dapat melihat jauh ke depan bahwa langit berwarna hitam. Awan bertinta melayang rendah di atas cakrawala, meskipun di belakangnya ia masih bisa melihat langit biru laut yang tenang di kejauhan.
"Oh, great! Badai akan datang," pria itu mengutuk pelan.
Sebastian menurunkan kecepatannya beberapa saat kemudian, berjalan di sepanjang jalan sempit melalui dusun-dusun terpencil sampai mobil mulai menuruni jalan yang curam. Badai meningkat cepat, dan di jalan pedesaan yang sempit ini ia harus mengemudi dengan sangat hati-hati. Jalan-jalan melengkung tajam dan keadaan permukaannya meninggalkan banyak bercak yang tidak diinginkan. Mobil itu tersentak dan terpental di atas bekas roda dan permukaan yang kasar, suara badai di luar semakin keras. Petir memecah langit hitam dan kilat menyambar diikuti oleh suara guntur yang nyaring.
Sambil mengemudi dengan hati-hati, Sebastian akhirnya berhasil sampai ke tempat Piers sekitar satu jam kemudian.
Membuka sabuk pengamannya, ia membuka pintu mobil dan keluar. Hujan membasahi wajahnya dan membasahi kemejanya, bajunya menempel di tubuhnya begitu erat hingga setiap ototnya terlihat. Mengabaikan dingin dan hujan, ia berlari menuju gerbang dan menekan bel pintu. Tidak ada jawaban dan Sebastian menekannya dua kali lalu menunggu. Sekali lagi, tidak ada jawaban. Ia terus mengulangi lagi dan lagi, namun hasilnya tetap sama. Akhirnya Sebastian berjalan kembali ke mobilnya.
Begitu ia masuk ke dalam, ia menyalakan pemanas dan melepaskan kemejanya yang basah. Hal terakhir yang diinginkannya adalah masuk angin - atau lebih buruk lagi, pneumonia. Sebastian mengeluarkan ponselnya dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, ia memutar nomor Piers.
Sama seperti bel pintu itu, teleponnya tidak memberinya hasil yang ia inginkan. Sebaliknya memberitahunya bahwa nomor telepon yang ia hubungi salah. Kakaknya jelas telah mengganti nomor teleponnya tanpa memberitahunya, yang sejujurnya tidak bisa disalahkan mengingat hubungan buruk mereka atau betapa tegangnya hubungan itu. Tidak yakin apa yang bisa dilakukannya, ia memutuskan untuk menunggu. Mungkin segera setelah hujan reda, saudaranya akan pergi keluar. Jika ia ingat dengan benar, Piers sangat mencintai alam sehingga saudaranya itu selalu ingin mengabadikan keindahannya. Dari dulu saudaranya sering pergi keluar setelah hujan untuk melihat awan gelap tersapu dan matahari mulai muncul.
Sambil menunggu, Sebastian memutuskan untuk menelepon Declan, adik laki-lakinya yang harus menikahi cucu sahabat kakek mereka untuk memenuhi janji yang dibuat lima puluh tahun yang lalu. Itu konyol namun Declan telah melakukannya dan entah bagaimana dapat menemukan kebahagiaan dan cinta dalam pernikahannya.
(( A/N: baca 'marry to meet' )))
Declan menjawab pada nada pertama. "Seb?"
"Hai, Dex. Apa kabar?"
"Aku baik-baik saja. Aku baik. Apa kabar? Bagaimana keadaan di sana?"
Sebastian tidak pernah benar-benar menyadari betapa ia rindu mendengar suara adiknya sampai sekarang. "Aku baik juga. Kita semua baik-baik saja. Omong-omong, kau melewatkan ulang tahun Clara. Kau beruntung jika dia membiarkanmu hidup. "
"Oh, shit! Tolong katakan padanya aku sangat menyesal. Aku mungkin harus meneleponnya setelah ini, tetapi kupikir dia akan mengomeliku dan sekarang aku sedang menemani istriku untuk bertemu keluarganya yang menyebalkan, jadi lebih baik jika Clara tidak berteriak di telingaku."
"Jangan khawatir. Aku akan memberitahunya meskipun lebih baik kau setidaknya mengirim sms padanya. Clara mencintaimu, pada akhirnya kau akan dimaafkan."
"Diigarisbawahi dan ditulis tebal pada bagian 'akhirnya', Bro. Ini Clarabelle yang sedang kita bicarakan."
Sebastian tidak bisa menahan tawa. Adik perempuannya Clarabelle sedikit manja tetapi semua orang mencintainya. Meskipun ia khawatir apakah akan ada pria yang bisa menjinakkan adik perempuannya itu.
"Jadi, mengapa kau menelepon?" tanya Declan dengan rasa ingin tahu, jelas lebih tahu dari nada suara kakaknya bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.
"Mengapa? Aku tidak bisa meneleponmu hanya karena aku ingin? Hanya karena aku merindukanmu?" goda Sebastian, senyum terbentuk di bibirnya.
"Tentu saja kau bisa!" Declan tertawa. "Tapi aku punya perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih. Ayo sekarang, katakan padaku apa yang mengganggumu. Untuk apa gunanya saudara!"
Sebastian menengadah ke langit melalui kaca mobil dan melihat langit mulai cerah karena hujan sekarang tinggal gerimis kecil. "Aku ada di depan rumah Piers sekarang."
"Apa?!" Ada jeda sebelum suara Declan terdengar lagi melalui speaker phone. "Apakah kau telah menjadi pria yang lebih bijaksana dengan datang ke sana dan mencoba berbicara dengannya?"
"Hei, dia adalah kakak laki-laki. Apalagi dia yang meniduri pacarku, merenggutnya dariku, membuat hidupku sengsara, dan kemudian mencampakkan mantanku sebulan kemudian. Selayaknya, dia yang seharusnya datang kepadaku dan meminta maaf."
"Ya, ya, whatever. That's old news. Dengar, bahkan jika kau meniduri pacarku, mengambilnya dariku, membuat hidupku seperti neraka, dan kemudian membuangnya setelah kau bosan dengannya, aku akan tetap datang dan mencoba berbicara denganmu. Kau adalah saudara laki-lakiku, Brother, dan betapapun menyebalkannya kehilangan pacarku seperti itu, aku tidak akan pernah ingin kehilanganmu."
Hening sejenak ketika kedua pria itu membiarkan kata-kata Declan meresap. Kemudian Sebastian berkata dengan nada ringan, "Jadi, jika aku datang ke China lalu meniduri istrimu yang cantik, kau akan memaafkanku?"
"Hai! Siapa yang mengatakan sesuatu tentang istriku! Kau tidak akan pernah bisa menyentuh istriku atau aku akan mengulitimu hidup-hidup, Bro, aku bersumpah!"
Sebastian tertawa terbahak-bahak. "Kau baru saja mengatakan bahwa itu tidak apa apa."
"Tidak ketika istriku yang ada dalam skenario ini!" kata Declan membela diri.
"Baiklah, baiklah. Anyway I'm just making a point. Kau lihat," dia menelan dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kepala mobil. "Jika gadis itu penting untukmu, kau tidak akan bisa memaafkannya dengan mudah. Sial, kau bahkan tidak akan membiarkannya terjadi jika kau bisa mencegahnya. Sama halnya denganku, Dex. Aimee penting bagiku. Meski menyedihkan, kupikir aku mencintainya. Aku percaya dia adalah segalanya bagiku. Dan ketika Piers melakukan apa yang dia lakukan, aku tidak bisa memaafkannya. Aku telah bersumpah untuk tidak memaafkannya."
"Ya, aku mengerti maksudmu. Aku minta maaf. Kau benar. Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, itu adalah masa lalu. Apakah kau akan membiarkan satu peristiwa itu menguasaimu selama sisa hidupmu? Aku tahu tidak mudah untuk memaafkan tetapi alangkah baiknya untuk memperbaiki hubunganmu dengan Piers. Aku tahu seberapa dekat kalian berdua sebelum hal ini terjadi." Declan menghela nafas dan sepertinya ia mengalihkan teleponnya ke telinganya yang satunya sebelum melanjutkan, "Lihat, kau di sana sekarang, jadi lanjutkan dan bunyikan bel pintu itu."
Sebastian memutar bola matanya. "Aku sudah melakukannya. Setidaknya belasan kali."
"Oh, bisa jadi dia marah karena kau membunyikan bel pintu berkali-kali atau dia tidak sedang ada di rumah."
"Tapi itu masalahnya. Aku tidak tahu nomor telepon barunya. Aku mencoba menelepon nomor lamanya dan tidak berhasil."
"Aku punya nomor terbarunya. Dia dan aku berbicara minggu lalu. Aku akan mengirimkannya kepadamu. "
"Terima kasih, Dex."
"Anytime, Bro."
"Baiklah kalau begitu, lebih baik aku pergi." Sebastian akan mengakhiri panggilan ketika Declan memanggil namanya. "Ada apa?"
"Bukan hanya itu, kan?"
"Apa?" tanya Sebastian, terdengar bingung.
"Masalahmu. Hal-hal yang mengganggumu. Itu bukan hanya tentang kakak laki-laki kita tercinta, bukan? Katakan padaku."
Sebastian tidak yakin apa kekuatan psikis yang dimiliki Declan, tetapi saudaranya itu tepat sasaran. "Tidak," jawab pria itu jujur.
"Lalu apa hal lainnya?"
"Ini tentang seorang gadis."
"Ooh, ini terdengar menarik!" kata Declan senang.
"Yang tidak akan kubicarakan denganmu hari ini, Declan. Sampai ketemu lagi!"
"T-tunggu! Ayolah! Baiklah, aku akan melepaskanmu kali ini karena entah bagaimana kau telah pergi ke Sisilia dan berada di depan rumah Piers. Sampaikan salamku untuk Piers."
"Jangan lupa kirimkan nomornya padaku."
"Aku takkan lupa."
Beberapa detik setelah panggilan itu berakhir, Sebastian menerima nomor telepon Piers dari Declan namun sepertinya dewi keberuntungan tidak ada di pihaknya karena panggilannya langsung masuk ke voicemail. Setelah menunggu selama dua jam, ia akhirnya menyerah. Sambil menghela nafas, Sebastian menyalakan kembali mobil dan melaju ke jalan.
Saat ia mendekati tikungan panjang berikutnya, ia mendengar suara klakson kendaraan lain, meniup peringatan, dan dengan itu, sebuah truk datang di tikungan yang bersamaan disusul oleh sebuah sedan kuning tua.
Sebastian sudah mengerem, pikirannya dipenuhi dengan kesan bingung tentang wajah putih pengemudi truk dan kepalan tangan yang terguncang, saat ia berbelok dengan cepat dan mendesak, mendengar derak logam saat bagian samping mobilnya membuat kontak dengan balok beton yang tergeletak di jalan berumput di pinggir jalan. Sebastian berhenti beberapa meter lebih jauh, dan duduk sejenak menyadari bahwa dirinya gemetaran, jantungnya seperti palu yang berayun. Ia pernah nyaris celaka sebelumnya, tapi saat inilah yang paling dekat dengan bencana besar. Tangannya gemetar. Jika ia mengemudi dengan kecepatannya seperti biasa, ia tidak akan berhasil menghindar.
Ia melihat truk itu juga berhenti, dan pengemudi serta seorang pria lain berlari kembali ke arahnya. Mobil kuning itu, bagaimanapun, telah menghilang. Sebastian meyakinkan pengemudi truk yang cemas bahwa ia tidak terluka, dan bahwa kerusakan pada mobilnya amatlah sepele. Hanya kejengkelannya saja yang menjadi gangguan yang lebih buruk.
Pengemudi truk memaki pengemudi mobil sedan kuning yang hampir menyebabkan dirinya dan Sebastian bertabrakan. Pengemudi truk itu menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya saat ia bersiap untuk pergi.
Baru saat itulah Sebastian benar-benar menyadari betapa rapuhnya hidup ini, bagaimana dalam hitungan detik, seseorang dapat meninggalkan dunia ini. Pada saat itu, hanya ada dua orang di pikirannya. Ia perlu memperbaiki keadaan. Sebastian berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia harus memperbaiki hubungan dengan keduanya.
* * * * * * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top