tiga puluh lima
* bonus u/ yang sudah setia menunggu *
ANDIN
Memberinya sedikit senyum, Andin diam-diam memindahkan tangan Roberto kembali ke pangkuan pria itu. "Sayangnya tidak ada. Saya tidak mempunyai bakat seni."
"Tidak mungkin, aku tidak percaya itu." Roberto menyipitkan matanya, memikirkannya, lalu bibirnya membentuk senyum nakal. "Bagaimana dengan fotomodel? Bisakah kau berpose?"
"Tidak juga," Andin terkikik ketika dirinya tiba-tiba teringat apa yang selalu dilakukan Damon padanya setiap kali mereka berbelanja. "Teman saya, Damon, selalu meminta saya untuk mencoba pakaian yang kami beli dan berpose."
"Kalau begitu aku yakin dia melihat bakatmu di sana." Mata hijau pria itu menari. "Apakah kau mempunyai waktu luang besok?"
Andin melirik Sebastian selama sepersekian detik sebelum menjawab, "Maaf, tapi jadwal saya tergantung pada bos saya."
"Maukah kau datang kesini dan berpose untukku? Aku akan menuangkan kecantikanmu ke dalam kanvas," janji Roberto sambil tersenyum. "Bagaimana pendapatmu?" tanya pria itu kepada Sebastian.
"Aku rasa aku harus mengatakan tidak," jawab Sebastian tanpa basa-basi.
"Oh, ayolah." Roberto menoleh ke Sebastian. "Bolehkah aku meminjam Andin selama beberapa jam besok?"
Sebastian mengangkat bahu dan kemudian meneguk anggur merahnya. "Itu benar-benar tergantung pada Miss Williams. Aku ada urusan di kota besok dan dia tidak harus ikut."
"Tuh kan, Andin," Roberto memberinya salah satu senyumnya yang mempesona yang tidak diragukan lagi telah merebut lusinan hati wanita, namun yang bisa dilihat Andin hanyalah seorang pemangsa yang membuatnya semakin takut. "Bosmu mengizinkannya."
"Tidak, saya benar-benar tidak bisa. Saya memiliki dokumen lain yang harus saya tangani dan saya tidak mungkin membiarkan bos saya pergi sendirian."
Roberto tertawa senang. "Baiklah. Mungkin lain kali." Pemuda itu menatap Andin dan matanya bersinar-sinar. "Aku menyukaimu, Darling. Dan sudah lama sejak seorang wanita mengatakan tidak padaku."
"Yah, saya minta maaf menjadi salah satu dari mereka yang mengatakan tidak. Tapi sungguh, apa yang membuat Anda ingin melukis?" Andin bertanya, bangkit saat mereka kembali ke ruang panjang untuk minum kopi. Anggur itu telah membuatnya agak pusing dan udara terasa pengap dan panas. Andin merasakan keinginan yang kuat untuk berbaring di bantal sofa dan memejamkan mata saking mengantuknya. Menerima kopi hitam, gadis itu menyesapnya dengan harapan kafein dari kopi itu akan membantunya tetap terjaga.
Setelah berbicara cukup lama tentang hobinya dalam melukis, Roberto bersikeras mengambil salah satu mahakaryanya untuk menunjukkan pada Andin apa yang telah gadis itu lewatkan dengan menolak tawarannya.
Begitu Roberto pergi, Andin duduk sendirian dengan Sebastian lagi dan akhirnya bisa kembali santai. Andin bersandar ke belakang sambil bersyukur, kelopak matanya terkulai menutup.
"Menikmati dirimu sendiri?" Sebastian bertanya dengan nada mengejek.
Memaksa matanya terbuka, Andin menatap bosnya dengan bingung. "Very much. Thank you," gumamnya.
"Apakah kau ingin aku pergi?" pria itu bertanya dengan judes.
Gadis itu menatap bingung. "Apa?"
"Kau telah memberi Roberto lampu hijau sepanjang malam. Tidak diragukan lagi dia mengharapkanmu untuk tinggal bermalam di sini ketika aku pergi," jawab pria itu dingin.
Pipi Andin memerah tatkala ia menyadari apa yang dikatakan Sebastian. Andin tidak percaya bahwa bosnya itu berpikir bahwa ia benar-benar merayu Roberto ketika semua yang Andin lakukan hanyalah bersikap ramah. Andin telah menolak tawarannya untuk menjadi model lukisannya, bukan? Jadi apa masalah Sebastian?!
"Apakah Anda gila? Saya hanya bersikap ramah dengannya. Anda mengatakan kepada saya-tidak," Andin menggelengkan kepalanya, matanya menyipit menuduh, "Anda memerintahkan saya untuk bersikap ramah sehingga dia akan menerima tawaran kita. Seriously, ada apa dengan Anda? Kenapa Anda terus menuduh saya seperti ini?"
Pintu terbuka sebelum Sebastian bisa menjawab dan Roberto kembali dengan lukisannya. Pemuda itu telah membuka kancing jaketnya dan dua kancing teratas kemejanya, dasi kupu-kupunya pun telah hilang entah kemana. "Bagaimana menurut kalian berdua?"
"Aku rasa kau punya bakat baik dalam melukis juga, Roberto," jawab Andin lancar dan jujur. Meskipun lukisan bebek yang berenang di sungai memiliki kesan amatir, lukisan itu sangat bagus. Jelas, tidak seperti apa yang dikatakannya, Roberto tidak hanya 'sekadar mengangkat kuas'. Roberto telah mengerahkan banyak upaya dalam membuat lukisan itu.
Begitu mereka mengobrol tentang lukisannya dan hasrat Roberto untuk menelusuri bakatnya lebih jauh, Sebastian perlahan-lahan mengarahkan topik itu ke bakatnya yang lain yang membuat Roberto terkenal: akting. Pembicaraan menjadi serius. Diam-diam, Andin menyelinap ke latar belakang, membiarkan bosnya memimpin diskusi. Sebastian bernegosiasi dengan alot, tetapi lancar, dan Andin merasa senang melihat bosnya bekerja. Sebastian tahu persis apa yang ia lakukan ketika ia bekerja, pikir Andin.
Sebastian dan Roberto tawar menawar tanpa lelah, masing-masing mencoba untuk mendapatkan penawaran terbaik, tetapi meskipun Sebastian sangat ingin Roberto menandatangani kontrak dengan Summers Entertainment, pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda kelemahan atau gertakan, melawan semua tuntutan dan penolakan Roberto sampai akhirnya mereka mencapai kesepakatan bersama.
"Aku akan memberikan kontraknya setelah selesai diketik," kata Sebastian sambil tersenyum, dan kedua pria itu berjabat tangan.
"Aku akan terbang ke D.C. untuk menandatanganinya," janji Roberto. Pemuda itu melirik Andin dengan pandangan menggoda. "Bagaimana kalau kita makan malam saat aku di sana, Darling?"
"Terima kasih," Andin tersenyum. "I would love to."
Sebastian tiba-tiba berdiri. "Aku rasa kita harus pergi sekarang. Ini pasti sudah hampir tengah malam, dan aku ada urusan besok pagi."
Terdapat kilatan ngambek di mata Roberto ketika pemuda itu berkata, "Bagaimana kalau kita berdiskusi lagi di sini setelah kau selesai dengan urusanmu besok? Kita bisa bersantai di tepi kolam renang dan Andin bisa berenang sembari kita mengobrol, lalu aku akan memiliki sesuatu yang seksi untuk dilihat saat aku berbicara."
"Aku yakin Andin akan menikmati itu," kata Sebastian dengan nada sinis sebelum gadis itu sempat mengatakan apa-apa. "Kita lihat saja bagaimana besok."
Roberto tampak bahagia, mulutnya yang lebar melengkung. "Baiklah," katanya. Roberto berjalan bersama mereka ke pintu, menghentikan Andin saat pemuda itu berdiri di samping untuk membiarkan Sebastian keluar. Ia berkata dengan lembut di telinga Andin, "Jujurlah padaku, Darling. Apakah kau miliknya?"
Pertanyaannya yang blak-blakan membuat Andin sangat memerah. "Tidak!" Suara gadis itu terdengar tajam.
"Baiklah," kata Roberto lagi, dengan kepuasan "Aku mendapat perasaan bahwa kau mungkin adalah miliknya."
Andin mengucapkan selamat malam dan bergabung dengan bosnya. Roberto melambai saat mobil bergerak menuruni jalan masuk, lalu gerbangnya dengan mulus berayun terbuka dan mobil mereka berbelok menuju ke jalan raya. Sebastian mengemudi dalam keheningan total, profil pria itu tidak terbaca di dalam mobil yang gelap. Anehnya Andin merasa gugup. Entah bagaimana dirinya telah mengharapkan beberapa komentar pedas. Tingkah Sebastian sepanjang malam sangat sulit untuk dibaca. Pria itu telah memintanya untuk bersikap ramah kepada Roberto, namun ia selalu tampak kesal setiap kali Roberto berbicara dengan gadis itu. Mungkinkah Sebastian cemburu? Tatkala pria itu kesal setiap kali Andin bersikap ramah pada pria lain. Hal ini membuat gadis ini marah karena pria itu tidak punya hak untuk cemburu. Terlepas dari apa yang dikatakan Roberto, Andin bukanlah milik siapa pun dan tentu saja dirinya bukan milik Sebastian.
Ketika mereka tiba di hotel, mata Andin berkedip agar terbiasa dengan cahaya terang. Keheningan singkat berlanjut saat mereka naik lift dan pria itu berjalan melewatinya ke kamarnya sendiri tanpa mengucapkan selamat malam. Dengan marah Andin masuk ke kamarnya dan langsung pergi ke kamar mandi. Mengunci pintu di sisi kamar pria itu, Andin menanggalkan pakaiannya dan mandi, lalu memakai gaun tidur pendek hitamnya. Setelah ia yakin bahwa dirinya sudah berpakaian lengkap, barulah ia membuka kunci pintu ke arah kamar pria itu.
Kamarnya sangat pengap sehingga gadis itu membuka jendela Prancis di kamarnya. Tertarik oleh udara sejuk dan jalan setapak yang kini diterangi lampu-lampu, Andin pindah ke balkon dan bersandar di pagar balkon, menghirup aroma malam yang segar, kepalanya masih berat setelah minum anggur. Ia menatap laut yang gelap, mengingat rakit berayun lembut di bawah bahunya saat Sebastian memaksanya untuk mengakui ketertarikannya pada pria itu. Andin menutup matanya, mengerang tanpa suara.
Apabila ia kembali ke Washington, ia harus berbicara dengan departemen personalia. Andin harus segera keluar. Ia tidak bisa menunggu dua setengah bulan lagi. Dirinya harus menjauh dari pria itu. Efek pria itu pada dirinya adalah bencana yang luar biasa. Jika ia berada di dekat bosnya suatu hari pria itu mungkin berhasil membujuknya untuk memiliki affair dengannya. Andin tidak lagi mempercayai kekuatannya sendiri bila berkaitan dengan pria itu. Sebelumnya ia amat yakin dirinya bisa menolak pria itu, tetapi itu adalah keyakinan yang sia-sia. Andin begitu tenggelam dalam pikirannya sendiri sehingga dirinya tidak mendengar gerakan di belakangnya sampai Sebastian hanya berada beberapa meter jauhnya.
Gadis itu berbalik dan menjadi kaku. Pria itu baru saja selesai mandi, rambut hitamnya masih basah. Sebastian mengenakan jubah mandi putih pendek, dan di bawahnya kakinya telanjang. Mata birunya yang tajam bergerak menyelidik. Andin bahkan tidak berpikir untuk memakai jubah mandi, karena dirinya berniat untuk langsung pergi tidur sebelum tergiur oleh udara malam yang sepoi. Renda tipis gaun tidurnya berkibar tertiup angin, memperlihatkan celah samping tipis yang membentang dari ujung gaun itu ke pinggulnya. Menggigil, karena tatapan pria itu ketimbang dinginnya angin, Andin berkata, "Sudah larut. Saya rasa saya akan langsung tidur."
Sebastian bergerak ke depannya diam-diam saat gadis itu beranjak untuk masuk ke dalam. Kegelapan matanya membuat gadis itu terpaku pada laki-laki itu seperti ngengat yang terpesona oleh api. Andin berjuang dalam pikirannya untuk melarikan diri dari pria itu, tetapi tubuhnya tersapu oleh sensasi yang telah ia tolak terlalu lama. Bagaikan derasnya bendungan yang jebol, banjir gairah menenggelamkan pikirannya. Kepura-puraannya di masa lalu, penghindaran, penolakan, lenyap saat pria itu menurunkan wajahnya ke arah gadis itu. "Kau tidak tahu bagaimana aku sudah menunggu sepanjang malam untuk dapat melakukan ini," kata Sebastian kasar sebelum mulutnya menutup bibir ranum gadis itu.
* * * * * * *
A/N: hari ini kerja gila2an sampai kagak ada waktu istirahat. kira2 bab selanjutnya * atau tidak? maap ya kalo pak bos orangnya rada brengsek, kalo awalnya baik terus baik sampai akhir mah kagak ada character development nya. harus ketemu seseorang yang membuatnya ingin jadi orang baik. setuju gak? jadi sabar2in dulu ya menghadapi pak bos, cerita ini happy end kok~~
bab 36 up besok malem
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top