tiga puluh empat
* u/ efranlena yang join jalur vip *
ANDIN
Andin menutup pintunya, mencari-cari di dompetnya untuk memastikan dia menyimpan kuncinya, mencoba menghentikan rasa sakit di perutnya ketika Sebastian meraih lengannya dan dia merasakan kekuatan jari-jari yang menggenggamnya. Mereka berjalan dalam diam dan setelah dia bisa memastikan bahwa detak jantungnya stabil dan dia tidak lagi kehabisan napas, Andin mengungkitnya lagi, "Kau bilang kau membawaku ke Sisilia untuk membantumu membujuknya untuk bergabung dengan kita."
Dekat telinganya, Sebastian berkata dengan lembut, "Aku ingin mengontraknya, bukan mencekiknya, Love."
Andin merasakan sensasi kegembiraan dan bahaya yang membingungkan, telinganya bergemuruh. Entah bagaimana ia berjalan di sepanjang koridor di samping Sebastian sampai ke lift, mencoba memaksa napasnya untuk kembali ke ritme normal. Di lift ia berdiri satu kaki dari pria itu, matanya menunduk. Mereka berjalan melewati serambi menuju tempat parkir mobil dalam diam. Sebastian membuka pintu mobil dan gadis itu dengan cepat meluncur ke kursi penumpang sebelum pria itu menyentuh untuk membantunya. Saat Sebastian mengambil tempat duduknya sendiri, Andin duduk cukup jauh untuk memastikan tangan pria itu tidak menyentuh pahanya saat Sebastian bergerak.
"Jadi, apakah Anda sudah menelepon kakak Anda?" gadis itu bertanya dengan cepat tatkala Sebastian mengemudi keluar dari tempat parkir hotel, kemudian menyadari bahwa pria itu memiliki tujuh saudara laki-laki, jadi buru-buru ia menambahkan, "Um, yang tinggal di sini di Italia."
Mata biru itu bergerak ke samping ke arah Andin sejenak sebelum laki-laki itu menjawab dengan singkat "Tidak." Ada kerutan samar di wajahnya. "Tapi saudara-saudaraku yang lain menelepon."
"Oh, biarkan saya menebak. Kakak tertua Anda, Thornton?"
Selama sepersekian detik, Andin dapat melihat mata Sebastian melebar dan garis-garis di dahinya menjadi jelas seolah-olah pria itu telah menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada dalam pikirannya. "Apakah dia meneleponmu untuk menanyakanku?"
"Tidak." Andin menggelengkan kepalanya dan mata pria itu menatapnya sejenak sebelum kembali fokus pada jalan. "Tapi dia adalah satu-satunya yang berbisnis dengan Anda saat ini. Dengan rencana ekspansi dan yang lainnya. Dia datang ke kantor beberapa kali jadi kupikir dialah yang mencari Anda untuk berdiskusi."
"Sebenarnya Thornton memang berbicara denganku di telepon tetapi untuk topik yang sangat berbeda."
"Oh."
"Maxon yang menelepon dulu sebelum dia memberikan telepon itu kepada Tony." Sebastian menarik napas dalam-dalam lalu melepaskannya sambil mendesah. "Piers mengalami kecelakaan."
"Apa?! Sudahkah Anda meneleponnya? Bagaimana keadaannya? Mungkin Anda bisa pergi menemuinya setelah urusan dengan Roberto selesai," usul Andin. Mata gadis itu menggelap dipenuhi dengan kekhawatiran. "Anda harus melihatnya terutama karena Anda sedang berada di sekitar sini."
"Aku tahu," katanya, terdengar agak defensif. Pria itu mengetukkan jarinya di kemudi dan bergumam, "Aku berjanji akan kembali pada hari Sabtu jadi-"
"Tentu saja, kakak Anda lebih penting daripada London Starr," kata Andin menuduh. "Atau Elsa Turner." Gadis itu menambahkan nama wanita yang dikaitkan dengan Sebastian akhir-akhir ini karena mereka ditangkap oleh paparazzi tatkala berciuman di luar gedung opera. Alarm lain berdering di benaknya, mengingatkannya bahwa pria itu adalah pengaruh buruk dan ia tidak boleh membiarkan pria itu menciumnya lagi.
Andin menarik napas dalam-dalam dan menenangkan dirinya sebelum badai karena ia akan melewati batas dengan mengatakan kepada Sebastian betapa pentingnya bagi pria itu untuk mengunjungi saudaranya. "Dengar, saya tahu ini bukan urusan saya, tetapi kurasa Anda tidak paham, Sir. Anda memiliki banyak saudara sehingga Anda mungkin tidak menyadari betapa pentingnya memberikan kasih sayang Anda kepada mereka. Orang cenderung ceroboh dengan hal ini kemudian menyesalinya ketika sesuatu terjadi. Saya mungkin tidak memiliki saudara, tetapi jika saya memilikinya, saya akan sangat menyayangi dan mempedulikan mereka."
"Kau pikir aku tidak tahu?" Pria itu berkata dengan nada kasar dan ketika ia melirik Andin dengan mata birunya yang bergemuruh, gadis itu merasa jantungnya hampir berhenti melihat tatapan mata yang menusuk dan menyakitkan. "Aku sedang memikirkan cara untuk mengatur ulang plan-ku karena jika Piers terluka, aku lebih memilih untuk tinggal di sini sampai dia sembuh. Tapi aku bukan orang yang tidak bertanggung jawab, yang lupa bahwa aku memiliki bisnis untuk dijalankan. Terlalu banyak orang yang bergantung pada perusahaan kita dan aku tidak akan membiarkan kepercayaan mereka pada kita sia-sia."
"I apologize, Sir," Andin menawarkan permintaan maaf tetapi pria itu tampaknya telah memutuskan bahwa tindakan terbaik adalah mengabaikan gadis itu.
Mereka berbelok ke jalan masuk vila Roberto Capaldi sekitar sepuluh menit kemudian, melalui gerbang yang dijalankan secara elektronik yang dikendalikan dari rumah, ban mobil berderak di atas kerikil keperakan sampai mereka berhenti di depan rumah. Terisolasi di balik tembok tinggi, di daerah yang tenang dan eksklusif di Sisilia, vila Roberto terletak di antara taman-taman indah yang terlihat oleh cahaya lembut dari teras yang membentang di sepanjang bagian depan gedung. Sederet pohon cemara membuat bayangan membujur di satu sisi. Rumput dan semak-semak gelap menempati bagian utama taman. Langit menggelap ungu lembut seperti buah plum. Bintang-bintang menembusnya secara berkala, kadang-kadang memudar saat cahaya dari pesawat yang melintas menerangi kegelapan.
Dari jauh mereka bisa mendengar hempasan sedih ombak air laut. Roberto sangat berbeda malam ini. Pria itu memilih untuk mengenakan pakaian malam formal, kemeja putihnya berenda, jas beludru hitam halus membuatnya lebih kurus dan menekankan warna rambut pirang putihnya. Ia tampak lebih tua, tidak kurang ajar, lebih tampan, dan saat matanya menyapu ke arah Andin, tidak salah lagi ada kekaguman muncul di tatapan mata laki-laki itu.
Roberto menundukkan kepalanya untuk mencium tangan Andin, membuat gadis itu terkejut, dan laki-laki itu tersenyum lebar menyadari akibat tindakannya. "Halo, Darling."
Andin melirik bosnya dengan gugup. Ada gerakan sopan di mulutnya yang keras, semacam senyum pura pura, tapi tidak ada kehangatan di mata birunya. Roberto membawa mereka ke sebuah ruangan yang panjangnya tiga puluh kaki dengan lantai balok kayu berkilau yang memantulkan mangkuk bunga musim semi yang harum. Mereka menerangi ruangan dengan keindahan, skema warna putih dan hijau yang sejuk terbawa di setiap objek, jok kulit putih lembut, gorden hijau sepanjang lantai, kap lampu dan bantal.
"Ini sangat indah," komentar gadis itu, mengagumi beberapa gajah giok hijau dingin yang berdiri di sepanjang perapian batu.
Roberto berjalan ke sebuah meja. "Kau mau minum apa?"
"Air putih saja," katanya. "Terima kasih."
"Maksudku, kau mau minum apa?" tanya laki-laki itu lagi.
"Gin and tonic, please," jawab Andin. Satu-satunya minuman yang lumayan aman.
"Whiskey," jawab Sebastian singkat. Pria itu duduk di sudut sofa panjang, lengan bajunya yang gelap bersandar di sofa kulit.
Roberto bergabung dengan mereka, memberi gelas mereka. "Silakan duduk, Andin," katanya, matanya tak henti menatap ke arah gadis itu.
Andin ragu-ragu duduk di sofa, di ujung lain dari sofa yang diduduki Sebastian, menyadari tatapan yang bosnya itu berikan padanya, cara matanya yang tajam bergerak di atas tubuh Andin dan terpaku pada kaki ramping gadis itu. Menyilangkan kakinya dengan gugup, Andin mulai menyesap minumannya.
Roberto kembali ke mereka dengan gelas di tangannya dan duduk di antara Andin dan Sebastian, celana beludru Roberto berada terlalu dekat dengan kaki Andin yang membuat gadis itu merasa kurang nyaman. Roberto menaikkan gelasnya dan tersenyum pada Andin. "Cheers!"
Dengan gugup Andin melihat lukisan-lukisan yang tergantung di dinding putih di sekitar mereka. "Nampaknya Anda sangat menyukai seni."
"Ya, itu benar," jawab Roberto santai. "Aku mengoleksinya untuk hiburan pribadi. Aku sangat suka yang ini," pria itu menunjuk lukisan seorang wanita yang setengah telanjang. Payudaranya hanya setengah tertutup oleh bahan tipis sementara sisanya terbuka, termasuk area pribadinya.
"Dan tentu saja, sesuatu yang vulgar seperti ini dianggap pantas untuk digantung di dinding ruang tamu," kata Sebastian agak ketus.
Dari balik sofa, Andin menatap bosnya dengan marah. Sebastian akan merusak setiap kesempatan untuk mendapatkan Roberto jika Sebastian terus menyerangnya seperti itu. Mata Sebastian bertemu dengan tatapan menuduh Andin dan pria itu tersenyum masam.
"Bukan itu alasanku membelinya," kata Roberto, sedikit tersinggung. "Aku suka mereka dan kebetulan ruangan lain sudah penuh."
Andin mendengar bosnya menggumamkan sesuatu tentang betapa canggungnya jika Roberto mengundang keponakannya untuk New Year dengan lukisan seperti itu. Untungnya Roberto sepertinya terlalu sibuk dengan ucapannya sendiri untuk mendengar komentar Sebastian.
Sebastian menelan sisa minumannya dan berdiri. "Apakah kau keberatan jika aku pergi ke kamar kecil, Roberto? Aku tidak akan lama."
"Do help yourself," Roberto langsung mengundang dengan ramah. "Kau boleh meminjam kamar kecil di kamarku."
"Tidak perlu. Aku akan menggunakan yang paling dekat di ruangan sebelah," kata Sebastian, bergerak melintasi ruangan dan berjalan melewati pintu.
"Shame," kata Roberto, merendahkan suaranya, berbalik menghadap Andin. "Aku lebih suka kalau dia menggunakan yang ada di kamarku. Setidaknya itu akan memakan waktu lima belas menit untuk jalan ke sana. Aku bisa melakukannya tanpa dia untuk sementara waktu."
Meskipun Andin merasa sangat gugup, ia tetap menjaga senyumnya. Ia merasa nyaman mengetahui bahwa Sebastian ada di ruangan sebelahnya - kalau-kalau Roberto akan memulai sesuatu atau bertingkah aneh.
"Sudah berapa lama kau bekerja untuk Sebastian?" tanya Roberto sambil mengambil gelas kosong Andin dan mengambilkan minuman lagi untuk gadis itu.
"Sekitar empat tahun. Hampir lima," jawabnya lalu menggumamkan terima kasih saat pria itu menyerahkan gelasnya.
Mereka berbicara tentang industri hiburan, dan kemudian dunia film secara umum, sampai Andin berkesempatan untuk bertanya secara natural, "Saya mendengar bahwa Anda bertengkar dengan Lincoln."
Roberto memberinya senyum pengertian dan menggoda. "Ya, itu benar meskipun mungkin tidak seburuk yang dibicarakan orang-orang."
"Kebanyakan seperti itu," kata Andin setuju dengannya. Orang-orang cenderung sangat hiperbola dan menambahkan lebih banyak bumbu untuk membuat segalanya lebih dramatis. "Jadi apa masalahnya dengan dia?"
"Dia tahu aku ingin banyak hal diubah dan ketika tiba waktunya untuk memperbarui kontrak, dia mengabaikan semua keinginanku. Karena kami telah bekerjasama selama sepuluh tahun, aku memutuskan untuk mendengarkannya dan mendiskusikan berbagai hal. Tapi dia mempersulitku." Mata biru yang cerdas itu tersenyum padanya. "Meskipun aku cukup yakin kau telah mendengar semua detailnya, Darling, atau Sebastian tidak akan berada di sini."
Andin mengakui hal itu dengan tawanya. "Sebastian selalu berpikir bahwa kau sangat berbakat dan dia percaya bahwa kita dapat membantumu dengan kondisimu saat ini." Andin mulai menguraikan gagasan Sebastian tentang masa depan Roberto kepadanya dan Roberto mendengarkan, mengamati wajah gadis itu dengan cermat, kadang-kadang mengajukan pertanyaan yang cepat dan cerdas.
Segera Andin menyadari bahwa Roberto menyadari betul his worth. Keangkuhannya yang kurang ajar didasarkan pada pemujaan oleh khalayak selama bertahun-tahun, dan Roberto tidak akan menjadi orang yang mudah untuk diajak bekerja sama kecuali jika seseorang benar-benar dapat memahami pemuda itu. Di balik penampilan luar yang mengilap itu, Roberto sangat cerdas, seorang pemuda yang tangguh dan jujur, yang percaya pada dirinya sendiri dan memahami kemampuannya sendiri. Kesombongan seksual yang Roberto iklankan lebih untuk konsumsi publik daripada kecenderungannya sendiri. Tidak diragukan lagi, para penggemar telah mengejarnya selama bertahun-tahun. Ia tahu dirinya memiliki bakat ketika ia dengan blak-blakan mengatakan kepada Andin dengan sebuah seringai bahwa kesuksesannya dalam musiklah yang membuatnya sukses dan bukan hanya penampilannya semata.
"Tapi Anda benar-benar tampan," kata Andin sambil berpikir, menatap Roberto dengan mata seorang gadis remaja. Bagi para wanita muda, pemuda itu pasti terlihat menarik, seorang pahlawan iconoclastic yang kasar tanpa hambatan atau batasan. Sebastian memiliki daya tarik yang sama dengan para wanita yang jatuh cinta padanya. Mereka berdua memancarkan daya tarik seks dan daya pikat anti-pahlawan.
(( A/N maksud Andin di sini kalau hero kan biasanya pemuda baik-baik, dkk tapi kedua cowok ini sebaliknya tapi ada daya tariknya )))
Roberto tersenyum lebar pada Andin, mencondongkan tubuh untuk menelusuri kelembutan bibir Andin yang terbuka dengan satu jari. "Dan kau juga, Sayang."
Di belakang bahu Roberto, Andin bertemu mata Sebastian yang menyipit dan dalam. Mengabaikan mata biru tajam pria itu, Andin dengan cepat berkata, "Dan jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang detail kontrak atau menegosiasikan beberapa persyaratan, bos saya akan terbuka untuk mendiskusikannya."
Beberapa saat kemudian, pengurus rumah tangga Roberto datang dan mengumumkan makan malam sudah siap. Mereka pindah ke ruang makan, Sebastian berjalan beberapa meter di depan Roberto dan Andin, yang herannya tengah bergandengan tangan. Jujur, kecepatan Roberto untuk mengambil tangan Andin telah membuat gadis itu terkejut.
Makanannya luar biasa, dimasak dengan tepat dan disajikan dengan ahli. Lilin yang berkelap-kelip diletakkan sekitar meja yang cukup besar untuk membuat mereka duduk terpisah dengan nyaman. Andin mengalami kesulitan dalam membujuk Roberto bahwa dirinya tidak bisa mengatasi jumlah anggur yang kerap diberikan laki-laki itu padanya. Setiap kali Andin mengalihkan pandangan dari gelasnya, pria itu mengisinya kembali. Roberto adalah tuan rumah yang riang dan menghibur, menolak membicarakan bisnis pada saat mereka makan, dan malah berbicara tentang keindahan Italia, lukisan, mobil, dan hobi.
"Aku sangat ingin pandai melukis lho. Aku mencoba tetapi kukira bakat artistikku hanya untuk menyanyi dan akting." Roberto mengangkat satu bahunya lalu meletakkan tangannya di atas paha lembut Andin, menyebabkan gadis itu menegang seketika. "Bagaimana denganmu, Darling? Di manakah letak bakat senimu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top