sembilan
* untuk Llamaguest yang penasarannya sampai ubun-ubun & tobyaugust yang pingin jodohin London sama Damon supaya Damon lurus lagi *
SEBASTIAN
Band mulai bermain lagi. Hanya saja kali ini, lagunya bertempo lebih lambat yang cocok untuk slow dance. Andin baru saja kembali ke meja ketika ia melihat Sebastian dan London Star. Untungnya gadis itu memiliki Damon di sisinya sehingga situasi ini tidak canggung. Lagipula semuanya selalu lebih baik dengan seorang teman di sisinya dibandingkan menghadapi sesuatu seperti ini sendirian.
Mata London berbinar tatkala wanita itu beranjak bangkir dari kursinya. "Damon, aku suka lagu ini. Ayo berdansa denganku," ujarnya, mengaitkan lengannya ke Damon sembari menekankan payudaranya yang besar di lengan pria itu. "Kau tidak keberatan jika aku meminjamnya untuk berdansa kan, Andin?"
"Aku benar-benar tidak ingin meninggalkan cewekku sendirian," jawab Damon, berusaha melepaskan lengannya dari genggaman London dan gagal total karena wanita itu justru memeluknya lebih erat.
Sebelum Andin sempat mengatakan apa-apa, sebuah suara serak rendah telah menjawab atas namanya. "Andin tidak sendirian. Aku akan menemaninya." Pada detik berikutnya Andin dapat merasakan lengan Sebastian melingkari pinggangnya, membuat gadis itu hampir melompat di tempat.
Mata Damon tertuju pada Andin, menunggu gadis itu membuat keputusan. Akhirnya, Andin menjawab dengan sebuah anggukan. "Tidak apa-apa, Damon. Nikmati dansamu dengan London."
"Permintaanmu adalah perintah untukku, Andin Mia Bella," kata Damon seolah memberi tahu semua orang yang hadir bahwa dirinya hanya menerima tawaran London semata belaka hanya karena Andin yang menyuruhnya dan bukan karena kemauannya sendiri.
Sebastian meletakkan lengannya di lengan atas Andin dan membalikkan tubuh gadis itu agar berhadapan dengannya. "Shall we?"
"Shall we what?" tanya Andin menantang.
"Sudah jelas pasanganmu tengah pergi berdansa dengan pasanganku jadi mengapa kita tidak mengikuti mereka dan berdansa saja," gerutu Sebastian sedikit kesal karena Andin masih saja membalasnya dengan dingin.
"Jika ini hanya masalah kesopanan dan melakukan apa yang pantas-"
Sebastian menarik tubuh gadis itu lebih dekat - begitu dekat sehingga ujung payudara Andin hampir menyentuh bagian depan kemeja Sebastian. Hampir. Kemudian pria itu menundukkan kepalanya dan berbisik sangat dekat dan intim ke telinga gadis itu, "Aku sudah ingin berdansa denganmu sepanjang malam. Jika kau tidak ingin berdansa denganku, katakan saja. Aku tidak akan mengemis."
Panas menjalari wajah Andin seketika. Selama bertahun-tahun gadis itu bekerja dengan Sebastian, pria itu tidak pernah berada sedekat ini dengannya. Tapi bisa jadi semua ini semata-mata karena Andin belum pernah mengenakan gaun dengan warna mencolok maupun kepercayaan diri yang cocok yang dapat mengimbangi gaun merah itu.
"Fine. Mari kita berdansa kalau begitu." Andin mundur selangkah, mencoba melepaskan diri dari lengan Sebastian. Kemudian seolah-olah gadis itu tidak bisa menahan diri, ia menambahkan dengan sinis, "Apalagi karena Bapak sudah menginginkannya sepanjang malam."
Mata Sebastian berbinar seolah ia baru saja memenangkan sebuah lotre. Ia tidak melepaskan lengannya dari pinggang Andin melainkan membawa gadis itu bersamanya ke lantai dansa. Cara pria itu memeluk Andin begitu posesif seolah-olah Andin adalah miliknya dan hanya miliknya sorang.
Pikiran itu membuat gadis mungil itu bergidik dalam pelukan Sebastian.
* * * * * * *
ANDIN
Apakah ia baru saja menjadi tantangan bagi bosnya? Andin bertanya-tanya dalam hati. Itu satu-satunya hal yang bisa ia pikirkan untuk menjelaskan perilaku bosnya malam ini. Sebastian begitu posesif dan begitu dekat. Terlalu dekat dibandingkan dengan biasanya.
Perut Andin berasa seperti ada seribu kupu-kupu siap meledak saat pria itu mengayunkannya ke lantai dansa. Tanpa disadari, gerakan gadis itu berubah menjadi canggung dan kaku. Namun, sepertinya, tidak seperti Andin, Sebastian telah menyadari akan hal itu.
"Hentikan sekarang juga, Ann!" Sebastian menggeram di sebelah telinganya, ekspresinya menggelegar, dan tidak meninggalkan ruang untuk berdebat.
Andin sangat menyadari kedekatan antara tubuh mereka. Dia hampir terengah-engah ketika gadis itu kembali bertanya, "Hentikan apa? Dan seperti yang sudah saya katakan berulang kali, Pak, nama saya Andin. Saya orang Indonesia. Nama saya bukan Ann atau Anne atau Anna seperti yang Bapak sering gunakan untuk memanggil saya."
"Baiklah, Andin," ujar pria itu sembari melotot marah.
Andin mengerjapkan mata. Baru kali ini bosnya memanggilnya dengan benar. Selama ini ia mengira Sebastian tidak dapat mengucapkan namanya dengan benar. Namun seolah meniru cara Andin menyebutkan namanya, Sebastian mengucapkannya dengan benar bak orang dari negara asal ibu gadis itu.
"Berhenti menolakku. Aku baru saja melihat bagaimana kau berdansa dengan pria itu-"
"Damon?" tanya Andin, mencoba membantu.
"Dia. Siapalah namanya," katanya sangat marah. "Jadi berhentilah berpura-pura seolah-olah kau tidak bisa berdansa dengan benar!"
"Saya sudah terbiasa berdansa dengan Damon, Damon itu teman saya!" protes Andin lalu melirik ke sekelilingnya, berharap tidak ada pengunjung pesta yang memperhatikan pertengkaran kecil mereka. "Saya merasa nyaman berdansa dengannya."
Ada sedikit jeda sebelum Sebastian kembali berkata-kata, "Apakah kau berusaha mengatakan bahwa kau tidak nyaman denganku?"
"Bapak adalah bos saya," jawab Andin diplomatis. Gadis itu tidak ingin menyinggung perasaan sang bos, lagi pula, Andin masih membutuhkan Sebastian untuk memberikan surat rekomendasi agar ia dapat lebih mudah untuk menemukan pekerjaan berikutnya. Ia masih membutuhkan uang untuk membantunya membayar hutang ibunya dan kehilangan sumber pendapatannya akan sangat merepotkan.
"Ini bukan kantor!" bantah Sebastian.
"Tapi Bapak tetap saja bos saya," desak Andin. Kemarahan melintas di mata samudra biru Sebastian dan untuk sesaat Andin menahan napas.
Kemudian sebelum Andin menyadarinya, Sebastian telah merengkuh tubuh gadis itu, dan menyeret Andin ke arahnya. Lengan Sebastian otomatis meluncur ke punggung gadis itu, memeluknya erat-erat, dan mendekap tubuh gadis itu pada bagian depan tubuh Sebastian yang berotot. Lengan Andin tidak punya pilihan lain selain selain meluncur ke bahu pria itu dan kemudian melingkari leher Sebastian.
"Untuk sesaat, anggap aku ini orang lain. Seseorang selain bosmu," perintah Sebastian kasar. Suaranya sangat rendah dan sangat seksi. Payudara Andin menekan dengan panas dada pria itu dan perut gadis itu bergetar dengan kesadaran akan apa yang ditekannya. Tidak heran Sebastian Summers disebut-sebut sebagai playboy kejam di antara nama-nama panggilan lainnya. Tetap saja, Andin berjuang untuk mengendalikan diri dan mengangkat dagunya agar bertemu pandang dengan mata biru milik Sebastian.
"Bapak ingin saya menganggap Bapak sebagai siapa?"
"Pikirkan aku sebagai...," Sebastian berhenti dan menundukkan kepalanya untuk membisikkan kata berikutnya di telinga gadis itu. "...kekasihmu."
Andin menutup mulutnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebastian Summers memeluknya dalam pelukan yang hanya bisa ia impikan - sesuatu yang terbuat dari fantasi. Cara Sebastian membisikkan kata-kata ke telinga Andin seolah-olah pria itu tengah membuat janji akan apa yang terjadi nantinya setelah pesta usai dan mereka hanya berduaan. Tidak ada yang platonis sama sekali tentang cara Sebastian berdansa dengannya.
Tidak diragukan lagi, Sebastian menunjukkan tanda-tanda bahwa pria itu sedang bergairah. Andin sendiri dapat merasakan gairah Sebastian dan bagaimana tubuh pria itu mulai menegang. Namun bos Andin itu tampaknya sama sekali tidak peduli dan tetap mendekap Andin erat-erat melampaui batas kesopanan. Apakah pria itu mungkin sedang membayangkan bagaimana rasanya memindahkan "apa" yang saat ini berada di luar ke dalam tubuh gadis itu?
Dan seolah-olah sedang berpesta pora karena impian yang akhirnya terpenuhi, tubuh Andin berkhianat dan terus saja merespon ke mana pun Sebastian membawanya, berputar-putar di lantai dansa dengan gesekan fisik nan intim antara tubuh mereka yang hampir membawa keduanya ke ambang klimaks.
Andin tidak menyadari bahwa lagu itu sudah selesai sampai ia sadar mengapa Sebastian tidak lagi mengayunkan tubuhnya. Terpikir olehnya bahwa meskipun mereka saling terangsang, pria itu lebih sadar akan lingkungan di sekitar mereka daripada dirinya. Dan pikiran ini saja langsung mendinginkan tubuh Andin dan menghilangkan gairahnya. Senyum puas pria itu seolah memberi indikasi bahwa Andin telah berhasil ia taklukkan membuat tubuh gadis itu menegang seketika.
Mungkinkah ini rencana Sebastian selama ini untuk membuktikan bahwa pria itu bisa merayunya? Bahwa ia bisa dengan mudah mendapatkan wanita manapun yang ia inginkan? Apakah Sebastian mencoba menunjukkan betapa kuatnya daya tarik seksualnya dan keinginan playboy liarnya dengan wanita? Apakah Andin hanyalah satu lagi wanita untuk ditaklukkan? Untuk ia tiduri lalu tinggalkan?
Semua gairah dan hasrat seksual yang menggenang di perutnya mulai menguap dan gadis itu melepaskan lengannya dari leher Sebastian. Andin sudah siap untuk lari ketika lengan pria itu dengan erat dan posesif menguncinya di tempat.
Andin mendongak, tatapannya melewati rahang angkuh pria itu sebelum terpaku pada mata biru lautnya yang dalam. Di bawah kilatan cahaya, Sebastian tampak sangat berbahaya dan tampan pada saat yang bersamaan. Harga diri Andin mendorongnya untuk mengabaikan pemikiran apa pun tentang bosnya atau penampilannya yang rupawan. "Lagunya sudah selesai. Tarian ini sudah berakhir," kata gadis itu. Suaranya dingin dan tidak menunjukkan emosi apa pun.
"Band akan memainkan lagu lagi," ujar pria itu bersikeras, tidak membiarkan Andin pergi.
"Maybe," Andin mengangkat bahu dan melepaskan lengan pria itu darinya. "Tapi saya sudah selesai berdansa dengan Bapak."
Mata Sebastian membara dengan hasrat seolah-olah tarian itu telah memengaruhi pria itu lebih dari yang ia tunjukkan. "Jangan katakan padaku bahwa kau tidak menikmatinya, Miss Williams."
Panggilan itu bagaikan ember air terakhir untuk mendinginkan sekaligus membunuh setiap percikan hasrat yang tersisa dalam diri gadis itu. "Saya senang Bapak tampaknya menikmatinya, Mister Summers." Andin memasang senyum sopan yang selalu ia gunakan di kantor. Senyum profesional yang tidak menunjukkan emosi sedikitpun.
"Apakah kau menolak untuk mengakuinya hanya karena aku ini bosmu?" Pria itu memiringkan kepalanya.
"Karena Bapak adalah bos saya," Andin berkata sambil tersenyum, menjaga nada suaranya tetap ringan, "Saya rasa tidak pantas untuk kita berdua membahas hal ini."
Andin memaksa dirinya untuk mundur selangkah meskipun tiba-tiba tubuhnya merasa rentan dan enggan. Lengan Sebastian akhirnya melepaskan gadis itu dan jatuh ke samping tubuhnya.
"Selamat tinggal, Bos."
Kemudian gadis itu berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang. Ia terus berjalan dengan kepala terangkat tinggi bahkan ketika ia bisa merasakan mata Sebastian pada punggungnya dan mengawasi setiap gerak-geriknya.
* * * * * * *
A/N: dikejar gak habis ini menurut kalian, hayoo~ setiap bab akan didedikasikan untuk pembaca yang komennya menarik perhatian author :DD
bab 11 & 10 akan up malming 17/13 yak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top