dua puluh tujuh




ANDIN

Pada hari Senin, Andin kembali dari makan siang sedikit lebih lama dari biasanya. Dirinya dan Damon ada janji makan siang dan mereka pergi ke suatu tempat yang agak jauh dari kantornya. Andin mengira bosnya masih berada di luar dan terkejut saat memasuki kantor dan melihat bayangan di sekat kaca antara ruangannya dan Sebastian. Andin berjalan melintasi dan membuka pintu hanya untuk menemukan pria itu tidak sendirian. Berdiri dekat di samping pria itu dengan lengan kurus melingkari leher Sebastian seolah-olah dirinya baru saja menarik diri dari ciuman penuh gairah yang mereka lakukan tidak lain adalah London Starr. Entah bagaimana London berhasil menyeret Sebastian kembali ke tempat tidurnya atau sebaliknya.

Andin menelan sedikit rasa pahit yang ia rasakan di lidahnya dan menyapa mereka.

"Halo, Ann Deen! Aku baru saja menandatangani kontrakku. Sepertinya aku tidak bisa melepaskan diri dari Sebastian," kata London, menoleh ke arah Sebastian ketika gadis itu mengucapkan kalimat terakhir. "Your magnet is positively vigorous, Sebastian."

Andin tersenyum sopan dan menelan semua kekesalannya. "Saya senang bisa meyakinkanmu untuk tetap bersama kami, London," kata gadis itu, mengabaikan tatapan sinis Sebastian. "Saya pikir Anda akan datang nanti malam."

"Aku berhasil membujuk Sebastian untuk membelikanku makan siang," kata London, menarik turun sweternya yang minim. Jeans yang wanita itu kenakan terlalu ketat, tetapi tubuhnya yang ramping memiliki gaya sensual yang agresif saat ia berjalan ke pintu. "Sampai jumpa, Sebastian," kata London, melambai saat ia beranjak keluar dari pintu.

Sebastian bersandar ke mejanya, menatap sekretarisnya dengan rasa ingin tahu. "Sangat disayangkan bahwa tidak semua talenta (aktor/model) kita dapat ditangani semudah London."

"Tapi kau berhasil menangani sebagian besar dari mereka," jawab Andin tajam.

Pria itu memyerigai masam. "Apakah itu sarkasme yang aku dengar, Miss Williams?" Di bawah bulu matanya yang tebal dan gelap, mata pria itu tampak mengamati Andin dengan serius. "Apakah kau menikmati makan siangmu?"

"Ya, Sir. Terima kasih. Saya minta maaf karena kembali agak terlambat."

Sebastian melambaikan tangannya dengan acuh tak acuh. "Jangan khawatir."

"Apakah ada sesuatu yang perlu saya tangani segera, Sir?" Dengan gugup Andin membasahi bibirnya. Mendongak, ia melihat mata Sebastian yang menyipit dan tajam itu tertuju padanya.

Tangan Sebastian mengambil sebuah map dan mengalihkan pandangannya kemudian mulai membaca isinya. "Jam berapa penerbangannya besok?" Pria itu bertanya tentang perjalanan dadakan ke Eropa yang harus mereka lakukan besok. Sebastian telah memberitahu Andin pagi ini dan gadis itu menghabiskan sepanjang pagi hingga sore untuk mengaturnya.

"Jam delapan pagi, Sir," kata Andin.

"Aku akan menjemputmu pukul enam tiga puluh kalau begitu," katanya. "Bagaimana dengan akomodasinya?"

"Saya telah mengatur semuanya," jawab Andin sopan.

Mata biru tua itu mengejeknya. "Tentu saja kau sudah. Kau seefisien biasanya, Miss Williams."

"Apakah ada hal lain yang ingin Bapak ketahui, Sir?" Gadis itu menahan lidahnya mengatakan sesuatu yang sarkastik, marah dengan ekspresi dan nada pria itu.

"Tidak. Kau boleh pergi," jawab Sebastian tanpa meliriknya.

* * * * * * *

Setelah sinar matahari dan hujan di Washington D.C, Trapani, Sisilia tampak begitu tidak nyata dan indah - seperti kartu pos berwarna. Jalan-jalan ditumbuhi pohon palem yang daunnya hijau dan berkilau, hotel-hotel putih bersih dan berkilauan di bawah sinar matahari, deretan rumah berlapis-lapis yang dikuas lembut dengan warna-warna pastel, di seluruh kota langit biru cerah membuatnya lebih terlihat seperti film daripada apa pun yang bisa diingat Andin.

Mereka berkendara dari bandara dengan mobil sewaan yang telah dipesannya dari Roma. Sebastian tahu rute dengan baik dari kunjungan sebelumnya, tangannya yang panjang mengemudi, profilnya yang keras diabstraksikan dalam pikirannya.

"Kakak Bapak tinggal di sini, bukan?" tanya Andin. Anehnya, ia merasa sedikit kesal dengan ketidakpedulian pria itu akan kehadirannya di sampingnya di dalam mobil.

Pria itu menoleh, rambut hitamnya menyentuh kerah kemeja cokelat tua yang dikenakannya. "Ya. Piers, kakak laki-lakiku yang kedua," jawabnya dengan sedikit anggukan. Mata biru yang tajam itu mengamatinya, mengamati gaun ungu polos yang dikenakannya. Semburat samar muncul di wajah Andin, dan bibir pria itu tiba-tiba melengkung mengejek. "Dia tinggal sekitar dua jam perjalanan dari sini di sebuah pondok indah di samping sungai," tambahnya. "Jauh dari keramaian." Gadis itu memperhatikan bagaimana suaranya mengandung nada ironi yang aneh.

"Apakah dia tinggal sendiri?"

"Ya. Dia menikmati kesendiriannya."

"Apakah dia tidak kesepian atau merindukan keluarganya?"

"Dia seorang seniman," kata Sebastian, seolah itu menjelaskan segalanya.

"Seniman seperti apa?" tanya Andin penasaran.

Meskipun Andin tahu sebagian besar saudara Sebastian dan bisnis mereka - lagipula, mereka memiliki semua yang tercantum nama 'Summers', gadis itu belum pernah mendengar nama Piers Summers disebutkan. Ia merasa agak aneh bagaimana Edward dan Helena Summers memiliki delapan cucu dan telah membagi setiap industri bisnis untuk mereka masing masing, namun masih ada satu yang dilupakan. Thornton Summers memiliki perusahaan perangkat lunak multimiliarder Summers Tech Inc., Declan Summers mengelola lini hotel, Sebastian memiliki Summers Entertainment, Clara memiliki Summers Publishing House, dan ada tiga saudara lagi di industri penerbangan, medis atau perawatan kesehatan, dan F&B industri. Seharusnya ada satu industri yang bisa mereka berikan kepada Piers, atau jika tidak ada, maka setidaknya mereka bisa mendukung Piers untuk membangun bisnisnya sendiri.

"Seorang pelukis." Pria itu mengangkat bahu, kembali memperhatikan lalu lintas di sekitar mereka. "Dia melukis panorama, gunung atau danau. Kadang-kadang dia membuat potret juga, tetapi tidak memiliki bakat nyata untuk itu. Namun, hasil lukisannya terjual lumayan baik."

Sekarang Andin bahkan lebih tertarik. "Cukup untuk hidup?"

Pria itu mengejutkannya dengan tertawa. "Aku sangat meragukannya. Dia tidak sebagus itu. Dia mengirimkannya ke pedagang seni di Roma yang kemudian menjualnya kepada turis kaya. Ini adalah tambahan yang menyenangkan untuk pendapatannya, tetapi sekedar begitu saja."

Andin bertanya-tanya apakah pria itu diam-diam mendukung saudaranya secara finansial, dan membayangkan bahwa Sebastian pasti melakukannya. Tentu saja ia memiliki penghasilan yang cukup. Perusahaan itu sebagian besar dikuasainya, dan meskipun ia hidup dengan baik, ia pasti sangat kaya, pikir gadis itu. Tidak pernah terpikir olehnya untuk tertarik pada latar belakangnya. Bahwa keluarga pria itu memiliki beberapa perusahaan itu telah memberinya latar belakang finansial yang aman, yang menjelaskan sikap percaya diri Sebastian yang sangat arogan.

"Apakah Bapak sering bertemu saudara Bapak?" tanya gadis itu, saat pria itu memutar mobil ke jalan melengkung yang mengarah ke hotel mereka.

"Piers bukan tipe orang yang suka bergaul," kata Sebastian singkat.

Jawaban itu membuat Andin bertanya-tanya apa artinya di balik kata-kata Sebastian itu. Membuka sabuk pengamannya, gadis itu kemudian membuka pintu mobil. Sebastian datang dan membantunya turun, tangannya memegang siku gadis itu. Sekelompok turis berjalan melewati mereka, tertawa, suasana santai mereka mengingatkan alasan mereka berada di sini dan Andin menatap mereka dengan iri. Dua wanita turis itu mengenakan gaun matahari pendek dan topi jerami lebar, kulit mereka kecokelatan.

Sebastian melirik mereka, lalu menatap Andin dengan masam. "Berharap kau ada di sini liburan, ya?" tanyanya.

"Cuacanya sangat bagus," desah gadis itu. "Tempat ini pasti luar biasa untuk bulan madu."

Tangan Sebastian mengencang di sekitar sikunya dan Andin protes dalam diam. Bibirnya terbuka meringis. Kemudian seolah-olah tidak menyadarinya, pria itu melepaskan tangan Andin dan berbalik untuk menyapa penjaga pintu hotel yang bergegas menyambut mereka.

Kamar mereka bersebelahan di lantai pertama, menghadap ke laut, masing-masing dengan jendela Perancis yang mengarah ke balkon bersama. Seorang bell boy mengawal mereka, berjalan di belakang mereka sembari membawa barang bawaan Andin dan Sebastian. Sementara bell boy menunjukkan kamar pada Sebastian, Andin membuka jendela Perancis di kamarnya sendiri dan pergi ke balkon untuk menatap jalan setapak putih, melalui dedaunan halus pohon palem, ke tempat air biru pantai. Tampak tubuh-tubuh setengah telanjang berbaring di bawah payung pantai di bawah naungan sejuk yang melindungi mereka dari sinar matahari langsung. Beberapa orang sedang berenang. Satu atau dua orang berlayar dengan perahu kecil, layar putihnya berkibar tertiup angin sepoi-sepoi. Andin dapat mendengar gemerincing kabel tiang yang berputar. Terdengar langkah kaki di belakangnya yang membawa perhatiannya kembali ke sekelilingnya. Andin berbalik dan bertemu dengan mata biru tajam Sebastian. Ia terkejut melihat bahwa pria itu sudah berganti baju memakai celana pendek berwarna krem ​​​​dan T-shirt hitam polos.

"Bapak telah ganti baju," kata gadis itu dengan jelas dan merasa bodoh.

Alis pria itu terangkat sinis. "So I have," ejeknya. Mata birunya meluncur ke bawah. "Aku sarankan kau melakukan hal yang sama. Kau terlihat terlalu rapi dalam gaun bisnis itu. Aku kira kau membawa gaun yang lebih kasual."

"Aku memang membawa jeans dan blus," aku gadis itu. "Aku tidak menyangka Sisilia begitu hangat."

"Pergi dan kenakanlah," perintah pria itu singkat sambil berjalan menuju balkon.

Kesal dengan nada suaranya, gadis itu berbalik dan berjalan pergi. Ia berhenti ketika mendengar pria itu berbicara dengan lembut, "Apakah kau sadar bahwa kita berbagi kamar mandi? Aku dapat melihat bahwa kau kehilangan sentuhanmu, Miss Williams. Biasanya kau berhasil mendapatkan kamar di lantai yang berbeda. Namun di sinilah kita sekarang, dengan kamar berdampingan."

Andin sejujurnya tidak mengira pria itu akan menyadarinya. "Pemesanannya dadakan," kata Andin kesal. "Aku terpaksa harus mengambil apa pun yang mereka tawarkan."

"Aku tahu betapa menjengkelkannya ini bagimu," kata pria itu dengan nada yang menahan geli. Sebelum gadis itu sempat membalas, ia menambahkan, "Aku baru saja menelepon Roberto Capaldi dan dia mengundang kita ke rumahnya untuk makan malam. Karena kita memiliki waktu bebas sampai pukul tujuh, sebaiknya kita makan siang di lantai bawah dan kemudian melihat-lihat kota."

Andin ragu-ragu, sedikit khawatir dengan prospek menghabiskan begitu lama waktu berduaan dengan bosnya dalam suasana yang hangat dan suram ini. Pria itu mengawasinya, mata birunya menatap tajam, setengah tersembunyi oleh kelopak matanya. "Jangan bilang kau takut sendirian denganku, Miss Williams," katanya dengan suara lembut. "Apa pun yang terjadi malam itu adalah masa lalu."

Merasa kesal dengan ucapan Sebastian, Andin mengepalkan tangannya di sisi badannya untuk menahan diri agar tidak maju selangkah dan menampar wajah sombong itu. "Jangan konyol. Aku tidak takut padamu," kata Andin kaku.

"Oh, benarkah?" Bibirnya melengkung membentuk senyum nakal. "Tindakan lebih nyata daripada kata-kata belaka. Jadi bagaimana kalau kau pergi dan ganti baju," kata pria itu ringan.

Andin kembali ke kamarnya, berhenti sejenak untuk melihat jendela Prancis yang terbuka dengan pertimbangan, sementara Sebastian berdiri di luar sana di balkon untuk menutup dan menguncinya.

* * * * * * *

A/N : sudah pergi bareng, berbagi kamar mandi pula. rasanya bakal terjadi sesuatu hohohoho tenang, seperti janji a di awal, akan ada * kalau ada adegan2 yang agak berani.

please buat emak2 yang protes di japri bilang 'kalo bikin cerita itu yang mendidik anak bangsa', ini buku fiksi yak, dan genre nya romance juga dan di deskripsi udah ditulis akan ada adegan2 dewasa dan penggunaan kata2 makian. lagipula ini bukan buku pelajaran kok, bu, jadi gak harus baca juga kalo gak mau. tapi stop kirimin protes yang gak jelas ya, tinggal tutup aja kalo gak suka kan bisa tuh, gak perlu ngetik panjang2 pula. sekian, matur nuwun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top