5. °Pertemuan Pertama°
*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*
Meski masa lalu kita buruk, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki, jangan biarkan hatimu terjebak oleh masa lalu yang tidak akan membawamu kecuali pada penyesalan. -Haruntsaqif
🍁🍁🍁
Melati sudah berada di gedung rumah sakit milik papanya. Melati begitu kagum melihat papanya yang begitu baik, seorang dokter sekaligus direktur di rumah sakit ini, dia bahkan mau memberi fasilitas kepada beberapa pasien yang memang benar-benar tidak mampu membayar biaya rumah sakit, apalagi bagi mereka yang tidak memiliki kartu jaminan kesehatan.
"Melati, suatu saat nanti, rumah sakit ini akan menjadi milikmu."
Melati memandang papanya. Dia merasa tidak pantas mendapatkan ini semua, terlebih dia sama sekali tidak mengerti bagaimana cara mengurus rumah sakit sebesar ini. Jujur, Melati sama sekali tidak tertatik untuk bekerja seperti ini. Mengurus rumah sakit bukanlah hal yang gampang, apalagi baginya yang sama sekali tidak mengerti dengan urusan seperti ini.
"Maaf, pa. Tapi aku nggak bisa mengelolanya. Aku nggak tau sama sekali."
"Nanti papa akan mengajarimu, Melati."
Melati mendesah, bingung bagaimana menjelaskannya kepada Papanya. Jujur, Melati hanya ingin berada di rumah, jika sudah menikah nanti, dia hanya ingin suaminya saja yang bekerja, bukan karena Melati malas, tapi baginya wanita itu lebih baik diam di rumah, karena bagaimanapun, seorang wanita adalah perhiasan yang pantas untuk disembunyikan.
"Papa tau, kamu mungkin tidak berbakat di bidang ini. Itu sebabnya, papa sudah memilihkan calon suami untukmu. Dia seorang dokter di sini. Dia yang akan membantumu nanti."
Melati mengerutka keningnya, calon suami? Mendengarnya saha bahkan Melati nyatis tidak percaya.
"Calon suami?"
"Iya, Melati. Tenang saja, kamu tidak usah khawatir. Dia orang yang begitu baik, itu sebabnya papa berani memilihnya untuk kamu."
Menjadi seorang istri tentu sudah menjadi keinginan Melati. Apalagi melalui proses pernikahan tanpa mengenal kata pacaran. Melati tentu sangat mau, tapi ia takut, laki-laki itu malah justru tidak mau menerimanya. Melati tidak ingin kecewa lagi, mengingat beberapa minggu lalu, ia nyaris menikah dengan seorang laki-laki, tapi tiba-tiba itu semua harus dibatalkan karena agama sudah melarang hubungan mereka. Melati tahu, terlalu berharap kepada manusia begitu menyakitkan.
🍁🍁🍁
"Zyan, saya sudah mengenalmu begitu baik. Kali ini bolehkah saya meminta bantuan?"
"Bantuan?"
Kening Zyan mengerut, "apa?"
"Menikahlah dengan putri saya. Kamu tidak usah khawatir, dia baik dan cantik."
Zyan membulatkan kedua matanya kaget. Menikah? Kalimat itu terdengar sangat mengejutkan. Pasalnya, sedikitpun Zyan tidak pernah berfikir ingin menikah dalam waktu sedekat ini. Apalagi menikah dengan seorang anak dari direktur di rumah sakit tempat dia bertugas.
Zyan juga merasa begitu canggung, tidak mengerti bagaimana bisa direktur itu memintanya untuk menikahi putrinya?
"Tapi, Dokter. Saya tidak mengenalnya."
"Nanti kamu akan mengenalnya. Kamu tahu? Saya sangat bangga padanya. Dia tumbuh menjadi wanita shaliha berkat didikan ibu angkatnya. Saya hanya mau dia mendapatkan laki-laki yang baik, saya rasa kamu adalah laki-laki yang tepat untuk anak saya."
Ziyan hanya bergeming. Entah bagaimana rasanya sook gadis yang diceritakan pria di hadapannya begitu membuatnya penasaran. Seperti ada daya tarik sendiri yang muncul dari dalam hatinya, bahkan Zya juga tidak mengerti apa yang membuatnya tidak mampu melakuka penolak
"Bagaimana, kamu mau?"
"Baiklah."
Entah bagaimana kalimat itu tercetus begitu mulus dari mulut Ziyan, seolah tidak ada keraguan dalam keputusan yang dia ambil, bahkan ia sendiri sama sekali tidak mengerti. Zyan rasa barusan bukan dialah yang mengendalikan lidahnya saat bicara.
"Saya akan pegang ucapanmu."
Zyan mendesah resah. Mengingat janji itu pada Dokter Arif. Hari ini adalah hari pertemuannya dengan anak gadis dokter itu. Gara-gara kejadian di ruangan operasi tadi, membuat benaknya menjadi kacau balau.
Melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Membuat Ziyan berada dalam keraguan yang tidak kentara. Seorang ibu yang ingin memberikan hatinya kepada anak gadisnya. Kondisinya benar-benar sudah parah, selain penyakit gagal ginjal yang dideritanya, otaknya ikut banyak berpikir, mengingat anak gadisnya yang kini juga sakit-sakitan. Kerusakan hati yang dia derita juga membuatnya sudah terbaring sejak beberapa hari yang lalu. Zyan juga tidak tahu harus bagaimana, perempuan itu sempat memintanya untuk memberika hatinya kepada Naura, satu-satunya anak yang dia punya saat dia sudah meninggal nanti. Zyan mengerti, ini semua benar-benar bentuk kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Ketika Zyan melakukan operasi pencangkokan hati kepada Naura, permintaan ibu dari perempuan itu selalu saja menggema di telinganya.
"Tolong, Dokter Zyan. Saya menitipkan Naura kepada, Dokter. Tolong jaga anak saya, dia sudah tidak punya siapa-saiapa lagi."
Ziyan masih bergeming, tidak tahu harus menjawab bagaimana permintaan ibu dari pasiennya.
"Anggap ini permintaan seorang ibu untuk anaknya. Saya akan merasa aman kalau Naura ada bersama, Dokter."
"Baiklah."
Ziyan mendesis, bagaimana mungkin ia bisa berada dalam situasi seperti ini. Dia sudah terlanjur berjanji kepada Dokter Arif untuk menikahi putrinya, Zyan tidak tahu bagaimana nanti calon istrinya bisa menerima kehadiran Naura. Zyan tidak mau, kejadian ini akan berpengaruh kedepannya bagi rumah tangganya bersama wanita misterius itu.
Saat Zyan ingin keluar dari dalam ruangannya, Arif dan juga Melati sudah berada di depan ruangan Zyan, Arif baru saja ingin mendorong knop pintu, tapi ternyata pintu itu sudah terbuka terlebih dahulu.
Mata Zyan tertuju kepada Melati, wanita berkedurung lebar itu tampak menundukan kepalanya, lantas Zyan mengembalikan pandangannya kepadan Arif, seolah bertanya tentang sosok wanita yang ada di hadapannya.
"Dia Melati."
"Oh..." jawab Ziyan kikuk setengah mati. Jatungnya tiba-tiba saja berdetak tak karuan dan membuat tangannya ikut gemetar.
"Zyan." Zyan menjulurkan tanganya, berharap Melati mau menjabat tanganya. Tapi, Melati mundur, meminta maaf tidak bisa menyentuh tangan Zyan yang sama sekali belum menjadi mahromnya.
"Maaf, bukan mahrom."
"Maaf," dengan ragu Zyan kembali menarik tangannya. Ia menjadi salah tingkah, menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Sial, mengapa dia menjadi bodoh seperti ini. Mana mungkin gadis seperti Melati mau bersalaman begitu saja? Zyan merasa dirinya benar-benar sedang tidak beres.
Zyan mempersilakan mereka masuk ke dalam ruangannya. Membicarakan hal kemarin.
"Kamu sudah bicarakan pada orang tuamu kan, Zyan?"
"Sudah. Mereka menyerahkan semua keputusan pada saya."
Arif menganggukan kepala, kemudian menatap putrinya.
"Bagaimana dengamu, Melati. Kamu sudah bertemu dengan laki-laki ini, bukan? Apa keputusanmu berubah?"
'Bismillah...' Melati menarik nafas dalam-dalam.
"Aku serahin sama Zyan ayah, kalau dia emang mau nikah sama aku. Kapanpun aku siap."
Arif tersenyum, begitupun dengan Zyan. Seperti ada atmosfer lain yang menyelimuti hatinya rasanya pengakuan Melati begitu menyejukan hatinya.
Pertemuan pertama ini benar-benar sudah membuat hatinya bergetar. Sosok Melati begitu baik di matanya. Wanita itu tidak banyak bicara, dia lebih banyak diam dan tidak pernah mau menatap matanya lebih dari satu detik.
Zyan sangat yakin. Ibunya pasti akan sangat setuju dengan perempuan seperti Melati. Ziyan begitu berterimakasih kepada Allah, mau memberinya perempuan cantik seperti ini.
Apalagi, selama ini Zyan tidak pernah merasa tertarik dengan berbagai wanita yang dia kenal, hanya ini, ini kali pertamanya Zyan benar-benar jatuh hati kepada seorang gadis.
Mekihat Melati yang seperti ini, Zyan sangat yakin, kehadiran Naura pasti tidak akan membuat Melati cemburu. Zyan sangat yakin, Melati pasti akan bisa memaklumi kondisinya. Lagipula, Zyan hanya ditugaskan untuk menjaganya, itu artinya Zyan bisa menjadikannya teman atau saudara perempuan.
🍁🍁🍁
"Bagaimana pertemuan kamu dengan Ziyan, Mel?"
"Baik, Ma. Aku liat, dia laki-laki baik, sama seperti Dimas."
Sinta tersenyum, kemudian menggenggam tangan Melati.
"Maafkan mama, Melati. Seandainya mama nggak buang kamu waktu itu, pasti kamu dan Dimas bisa bersatu." Sinta menuduk, kesalahan di masa lalu masih saja membuatnya dihatui rasa bersalah pada dirinya sendiri, terlebih kepada Dimas dan Melati. Meski sekarang takdir sudah mempersatukannya dengan anak kandungnya, tetap saja Sinta merasa tidak pernah tenang. Apalagi setelah Dimas memutuskan pergi, seperti ada yang hilang dalam hidup Sinta. Serasa kehilangan sebelah matanya untuk melihat.
"Astagfirullah, Ma. Kenapa mama bilang gitu. Ini semua udah rencana Allah. Aku ketemu sama Dimas juga karena ke inginan Allah, begini jalannya. Mungkin, aku sama Dimas emang nggak berjodoh."
"Tapi tetap aja, Melati. Sekarang mama nyesel."
"Nggak ada gunanya menyesal berlarut-larut, ma. Apa yang udah terjadi akan tetap terjadi,"
Bibir Sinta kembali bergetar menahan tangis. Melati menjadi tidak tega saat menatap kedua mata mamanya yang terus berair. Bagaimanapun Melati tidak bisa bohong, melihat wanita itu menangis ikut membuat hatinya terasa pedih. Melati membawa mamanya ke dalam pelukan, mengusap punggungnya dengan pelan.
"Berhenti menangis di depan aku, Ma. Aku nggak sanggup liat mama nangis cuma karena nginget masa lalu mama yang buruk ."
Sinta lantas menghaous air matanya, berusaha menarik kedua ujung bibir untuk menciptakan lekungan.
"Iya sayang, mama janji, mama nggak akan nangis lagi. Maafin mama, ya."
"Aku udah ketemu sama mama, seharusnya kita lebih ngabisin waktu kita buat sama-sama bahagia, apalagi sekarang aku punya dua ibu yang sama-sama sayang sama aku."
Sinta mengusap pipi Melati yang putih.
"Iya, sayang. Kamu bener,"
Melati hanya tersenyum sebagai respons.
"Mama tau? Minggu depan, aku nikah sama Zyan."
"Ma syaa Allah, kamu serius, Mel?"
"Iya, ma," jawab Melati singkat. Sebenarnya dia tidak menyangka kalau Zyan akan menggmbil keputusan secepat ini. Tapi, bagi Melati, menikah adalah salah satu keinginan yang sangat dia dambakan. Apalagi bisa mendapatkan suami yang benar-benar baik. Meski Zyan dan Dimas berbeda, tapi menurut Melati keduanya sama-sama baik. Melati sangat berharap, semoga Allah benar-benar meridhoi mereka berdua, menjadikan pernikahannya dan Zyan sebagai ibadah sepanjang masa.
🍁🍁🍁
Bersambung
Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top