1. °Kehadiran yang tidak diharapkan°
*بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم*
Katakanlah: 'Hai Hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu'. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(Az Zumar : 10).
🍁🍁🍁
Sinta sama sekali tidak menyangka bahwa anak yang terlahir dari rahimnya akan terlahir seperti ini, ketidak sempurnaan anggota tubuh benar-benat membuatnya begitu tidak terima. Ia sangat marah pada Allah, kenapa dia yang hidup dari keluarga terpandang harus dikarunia anak seperti ini, selama kehamilan Sinta tidak pernah absen untuk mengecek kehamilannya, dan semuanya baik-baik saja. Lantas kenapa sekarang anaknya harus memiliki sebelah telinga yang tidak utuh?
Sinta tidak tahu bagaimana nanti reaksi suaminya, Sinta tidak siap jika harus melihat kemarahan suaminya kala bertemu dengan bayi cacat ini.
"Aku nggak akan biarin kamu ada di hidupku. Aku nggak mau, gara-gara kamu suamiku malu, aku rasa seharusnya kamu tidak pantas tinggal bersamaku, karena nanti aku masih bisa memiliki anak lagi."
Sinta memandang bayi itu penuh kebencian. Sekarang dia tidak akan tinggal diam, menyingkirkan bayi itu adalah hal yang terpenting, setelah itu dia akan mencari bayi pengganti yang memiliki fisik yanh lebih sempurna. Sinta merasa beruntung suaminya masih belum bisa pulang dari luar kota, jadi satu hal yang sangat mudah baginya untuk menyembunyikan ini semua.
"Bu, saya takut kalau nanti tuan Arif tahu."
"Dia nggak akan tahu kalau kamu nggak kasih tahu, ingat Dadang, kamu hanya seorang sopir, jadi tugasmu hanya mengikutiku. Kalau tidak, aku akan memecatmu." Sinta memberikan bayinya kepada Dadang, meminta laki-laki itu untuk segera melenyapkannya.
Dadang tidak punya pilihan lain, sebenarnya Dadang tidak tega jika harus mengikuti kemauan majikanya itu, membuang seorang bayi tanpa dosa itu pasti akan membuat hidupnya dihatui rasa bersalah, tapi ini semua terpaksa dia lakukan, Dadang harap Allah mengerti tentang kesulitannya, jika Dadang kehilangan pekerjaannya, dia akan kehilangan anaknya, jika saja anaknya tidak sakit-sakitan dan membutuhkan biaya besar, Dadang tidak akan pernah mau melakukannya.
"Maafkan bapak ya, Nak. Bapak terpaksa tinggalin kamu di sini."
Bayi yang tidak tahu apa-apa itu hanya bisa memandang wajah Dadang dengan polos, bayi yang tidak mengerti apa-apa akan kehadirannya yang tidak diharapkan, membuat hati Dadang semakin terasa nyeri.
Dengan perasaan bersalah Dadang akhirnya benar-benar memutuskan untuk pergi, kembali ke dalam mobil dan mengikuti semua perintah majikannya itu.
"Sekarang, kita harus mencari bayi di panti asuhan. Aku yakin di sana pasti ada seorang bayi yang begitu sempurna."
"Seharusnya nyonya nggak lakuin ini, kasihan dia harus sendirian."
"Nanti juga pasti akan ada yang memungutnya. Yang jelas, aku mau kamu tetap jaga rahasia ini."
Mau tidak mau Dadang hanya memenuhi permintaan majikannya, meski dengan hati yang sama sekali begitu kontra dengan keputusan majikannya. Padahal dulu, saat majikannya mengandung, ia tampak sangat bahagia, tidak sabar menunggu kelahiran sang anak.
Sepanjang perjalanan Dadang hanya bisa mengikuti instruksi dari Sinta, sampai akhirnya mereka benar-benar sudah sampai di panti asuhan, Sinta sama sekali tidak menunjukan wajah sedih atapun bersalah, dia bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
🍁🍁🍁
"
Ibu, mereka jahat, Melati malu, kenapa Melati nggak punya telinga sebagus telinga mereka, kenapa sebelah telinga Melati jelek." Melati memangis dipangkuan ibunya, sering kali dia menangis dengan masalah yang terus berulang, membuat Runi sama sekali tidak tega. Runi tahu, ini memang berat bagi Malati, mereka selalu saja merendahkan anaknya itu.
"Yasudah, sekarang Melati mau nggak ibu pakaikan jilbab ini?"
"Buat apa, bu? Apa buat nutupin telinga Melati yang jelek?"
Rumi tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.
"Bukan sayang, nggak seperti itu. Sekarang umur Melati sudah berapa?"
Melati menghitung jatinya dengan terampil, lalu menunjukan kelima jarinya dengan bahagia.
"Lima tahun, ibu."
"Nah, sebentar lagi Melatikan mau masuk sekolah, Melati tahu nggak, kenapa ibu pake jilbab?"
"Biar rambut ibu nggak keliatan."
Runi tersenyum mendegat jawaban anaknya itu, Runi duduk di atas sofa sambil memangku Melati.
"Iya, sayang benar. Tapi ada yang lebih penting dari itu."
"Apa, Bu?"
"Sebentar lagi, Melati pasti bakal masuk sekolah, Melati bakal ketemu sama anak laki-laki. Jadi, mereka itu nggak boleh lihat rambut Melati, karena rambut itu adalah aurat kita sebagai perempuan."
"Kalau Melati nggak mau pake jilbab, ibu marah ya?"
"Bukan hanya ibu yang marah, tapi Allah juga, sayang. Allah marah karena kita sebagai manusia telah mengingkari perintahnya."
"Melati nggak pernah ketemu sama Allah, terus gimana Allah mau marah sama Melati?"
Runi kembali tersenyum menatap anaknya, ia mengusap kepala Melati dengan lembut.
"Gini ya sayang, misalnya Melati pergi sama ayah, terus diam-diam Melati beli es krim yang banyak, pas ibu nelpon Melati, menurut Melati, ibu marah nggak?"
"Iya," jawab Melati polos.
"Kenapa Melati bisa tahu ibu marah? Kan Melati nggak liat ibu."
"Ya Melati tahu, karena Melati udah nggak patuh sama ibu."
"Nah jawabannya sama, sayang. Allah juga pasti bakal marah kalau kita nggak patuh sama dia. Sebenarnya bukan Allah yang butuh kita, tapi kita yang butuh Allah, kita bisa hidup, makan, tidur dan bangun juga karena Allah."
"Emangnya, Allah itu ada di mana sih, Bu?"
"Sayang, Allah itu dekat dengan kita. Allah itu selalu ada di hati setiap orang yang saleh, termasuk di hati kamu, Sayang. Jadi, Allah selalu ada bersama Melati, di mana pun Melati berada."
"Allah itu kayak ibu dong, deket sama Melati dan selalu ada di samping Melati."
Runi tersenyum kembali, rasa ingin tahu anaknya begitu tinggi, kadang pertanyaan putrinya itu nyaris membuatnya kebingungan harus menjawab bagaimana.
"Allah nggak sama seperti apapun, sayang. Nggak sama seperti ibu, ayah atapun Melati. Allah juga nggak sama seperti gunung, pohon, bunga, sungai, laut, bintang, bulan, matahari atau apapun yang udah pernah Melati lihat."
"Oh, gitu ya, Bu. Iya deh, Melati mau pake jilbab, biar sama kayak ibu."
"Sebentar, ibu ambilkan kerudung buat Melati."
Melati hanya mengangguk polos, lalu Runi meletakan Melati di atas sofa, dia berjalan mendekati lemari dan mengambil kain berwarna hitam.
"Ibu, kok warnanya jelek?"
"Dipakai aja ya sayang, nanti kalau kamu bawel terus mau ibu gelitik hmm?"
Melati diam saja sambil menatap Ibunya yang subuk memakaiakan kerudung kepadanya. Kadang, Melati tertawa sendiri saat merasa geli ketika ibunya menyentuh pipinya dengan gemas.
"Ayah kapan pulang, ibu. Melati kan kangen ayah."
"Sebentar lagi ayah juga pasti pulang, sayang."
"Tapi di luar lagi hujan, Ibu. Gimana kalau ayah kehujanan, terus ayah sakit."
Melati begitu mengawatirkan sang ayah, matanya tertuju menghadap ke luar jendela, melihat hujan yang turun secara tidak beraturan, angin lencang membuar airnya mengarah ke sana kemari, apalagi pohon-pohon di luaran sana, yang bergoyang-goyang kencang seakan angin ingin membuatnya enyah dari tempat itu.
"Dari pada Melati menghawatirkan yang tidak-tidak, lebih baik kita doain ayah, supaya Allah selalu melindungi, ayah."
Melati mengangguk, ia benar-benar sangat menghawatirkan sang ayah, Melati begitu takut jika ayahnya tidak akan pernah pulang lagi.
"Ibu, gimana kalau nanti Melati nggak ketemu ayah lagi?"
"Kenapa Melati bilang begitu?"
"Soalnya tadi malam Melati mimpi buruk, Melati lihat ayah pergi ninggalin kita, Bu. Ayah nggak jadi pulang ke sini."
"Sayang, kalau Melati mimpi buruk, Melati harus ingat sama Allah, karena mimpi buruk itu datangnya dari setan, jadi Melati nggak usah ngerasa sedih, ayah pasti tidak akan meninggalkan kita, apalagi ayah kan sayang sama Melati."
"Tapi Melati takut, ibu. Melati nggak mau kalau ayah beneran pergi."
"Yaudah, gini aja. Gimana kalau kita telpon ayah? Melati mau nggak?"
Melati menganggukan kepalanya gemas, dia benar-benar sudah merindukan ayahnya itu. Karena selama ini Melati paling dekat dengan ayahnya, dia tidak pernah ditinggalkan selama ini.
Melati masih ingat, gimana saat ayahnya diam-diam mengizinkannya untuk membeli es krim, Melati sangat senang karena makanan dingin itu berhasil menyentuh lidahnya, apalagi rasa manis yang begitu Melati sukai, ayahnya tidak seperti ibunya yang begitu cerewet, padahal ia hanya ingin mencicipi sekali saja.
Saat Runi menghubungi suaminya, sama sekali tidak ada jawaban, membuat Runi sedikit cemas, di tambah dengan rengekan Melati tadi, yang sepertinya merasakan sesuatu telah terjadi pada ayahnya. Tapi, Runi tidak mau menduga-duga terlebih dahalu, karena prasangka buruk itu adalah satu hal yang tidak baik.
"Ibu, ayo. Kenapa lama banget," Melati merengek, perasaan anak kecil itu semakin tidak tenang, wajahnya tampak gelisah.
"Sebentar ya sayang, mungkin ayah nggak denger handphonenya bunyi, mending sekarang melati tidur, ibu temani."
Runi mengangkat tubuh anak perempuannya itu ke atas tempat tidur, membaringkan gadis itu di sana sambil mengusap kepalanya, memperlakukannya dengan begitu baik sehingga membuatnya merasa cukup nyaman.
Saat Melati benar-benar sudah tertidur, tiba-tiba saja Runi mendapatkan kabar yang tidak mengenakan, kabar yang benar-benar membuatnya sangat terkejut, ternyata kecemasan anaknya itu memang ada sebabnya, kegelihasan anak kecil itu memang sebuah pertanda yang amat buruk.
Runi baru saja mendapat kabar dari pihak kepolisian bahawa suaminya mengalami kecelakaan tunggal yang berhasil merenggut nyawanya.
Runi menatap Melati yang sedang tertidur, tidak tahu bagaimana dia harus menjelaskan kepada anaknya nanti.
Runi ingin menangis, tetapi suaminya itu selalu berpesan bahwa setiap cobaan yang datang adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya.
"Aku sangat mencintaimu, Mas. Terimakasih sudah menyayangiku dan Melati begitu tulus."
"Runi, kamu tidak boleh mencintaiku dengan berlebihan, karena aku hanyalah manusia yang tidak abadi, ingat sayang, Allah sangat cemburu jika hambanya mencintai sesuatu hal melebihi cintanmu kepada-Nya."
"Kenapa kamu bicara begitu, Mas?"
"Karena aku tidak selamanya bisa menemanimu, Sayang. Aku tidak mau kamu begitu terluka saat aku tidak lagi bersamamu."
"Mas, jangan bicara begitu."
Runi semakin tidak nyaman dengan pembicaraan suaminya, rasanya sanggat janggal ketika membahas hal yang mengerikan bagi Runi.
"Kamu harus siap, Runi. Kamu ataupun aku kelak akan diumumkan namanya di masjid, menyampaikan kabar duka, dan aku ingin menemuinya dalam keadaan yang baik."
"Aku tidak siap."
"Tidak siap bagaimana? Memangnya kamu bisa menghentikan malaikat saat ingin mencabut nyawamu?"
"Bukan itu, Mas. Aku tidak siap mendengar namamu disebut. Aku mohon, jangan bicarakan ini lagi."
Runi memegang kedua tangan Ilham, lantas memeluk suaminya dengan erat, dia benar-benar tidak sanggup jika harus kehilangan sosok lelaki yang selalu membimbingnya itu.
Runi menangis kala mengingat beberapa fragmen singkat itu, ternyata semua ucapan suaminya benar-benar memiliki makna. Setiap manusia baik, selalu Allah panggil di waktu yang tidak pernah terduga, Runi bingung bagaimana harus menjalankan hidupnya kedepan, ia masih sangat membutuhkan Ilham untuk terus membimbingnya.
"In syaa Allah, aku ikhlas, Mas..."
Meski berat, Runi harus menerimanya, siap tidak siap Runi harus mengikhlaskan Ilham.
🍁🍁🍁
"Ibu, kenapa ayah diam aja?"
Melati yang tidak tahu hanya bisa melihat jasad ayahnya dengan bingung, semua orang menangis termasuk ibunya sendiri.
"Ayah nggak biasanya diamin Melati, Ibu. Apa Melati nakal ya?"
Pada akhirnya pertanyaan polos itu keluar dari mulutnya, membuat hati Runi semakin tak kuasa menahan tangis, dia hanya manusia biasa tidak bisa begitu kuat untuk menahan kesedihan. Apalagi pertanyaan yang terus bertubi keluar dari mulut Melati, membuat Runi semakin tidak tega saat memandang wajah putri kecilnya.
"Ibu, ayo bilang, apa Melati nakal? Kalau iya Melati janji nggak bakal nakal lagi, Melati janji bakal bangun lebih pagi buat bisa shalat bareng sama ayah, Melati janji bakal nurut sama ayah, tapi bilang sama ayah jangan diamin Melati, bu."
Melati sudah menggelugut di atas pangkuan ibunya. Sementara itu Runi sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ikut sama tante ya sayang."
Hilda mengambil Melati dari pangkuan Runi, dia mengerti kakaknya itu masih terlalu terkejut dengan kabar duka ini.
"Melati nggak mau..."
Teriakan Melati semakin nyaring terdengar, tapi tubuh mungil itu sama sekali tidak bisa melakukan perlawanan saat tubuhnya diangkat, yang bisa Melati lakukan hanya hanya menangis.
"Tante kenapa bawa Melati ke sini, Melati mau ketemu ayah, tante."
"Melati sama tante dulu, ya sayang..." Hilda berusaha untuk menenangkan Melati, karena kondisi di luar tibak baik untuknya jika terus-terusan berada di sana.
"Melati mau dengerin tante, nggak?"
"Apa?" tanya Melati sambil terisak.
"Melati nggak nakal kok, ayah juga nggak marah sama Melati."
"Kalau ayah nggak marah, kenapa ayah nggak mau ngomong sama Melati."
"Itu karena ayah, lagi ketemu sama Allah di surga, sayang."
"Kenapa ayah nggak ajak Melati, Melati kan mau ketemu juga sama Allah."
"Melati mau ketemu Allah sama Ayah?"
Melati menganggukan kepalanya polos, lalu menghapus sisa air matanya yang masih tinggal di pipi.
"Surga itu adalah tempat orang-orang yang baik, orang-orang yang taat sama Allah, jadi kalau Melati mau ketemu sama Allah di surga, Melati harus jadi anak yang baik, Melati harus rajin salat dan patuh sama perintah Allah."
Hilda mengusap pipi Melati pelan, lalu tersenyum menatap anak kecil itu.
"Oh gitu, ya tante. Yaudah, nanti kalau Melati salat, Melati minta sama Allah supaya ayah jemput Melati."
"Sekarang, Melati nggak boleh nangis lagi, ya."
"Iya tante, Melati mau berdoa aja sama Allah, supaya Melati, Ibu sama Ayah bisa ke surga sama-sama."
Hilda hanya bisa tersenyum tipis, anak kecil seperti melati selalu menganggap apa yang dia harapkan bisa langsung terujud, seperti ingin membeli mainan, semuanya bisa didapatkan kapanpun dia mau.
Jujur, Hilda begitu sedih melihat Melati, setahu Hilda, Melati begitu dekat dengan ayahnya baginya Ayah adalah laki-laki paling hebat, laki-laki yang selalu bisa menggendongnya paling tinggi, laki-laki yang bisa memanjakannya saat sakit, ketika Melati tidak mau makan, Ayahnya selalu menawarkan masakan yang menurut Melati enak, meski tidak seenak masakan Ibunya.
Hilda juga tahu, Melati paling manja ketika bersama ayahnya itu, meski Melati bukan anak kandung Ilham dan Runi, tapi mereka begitu menyayangi Melati.
"Melati lagi makan? Pake apa?"
"Pake sayur bayam sama telur puyuh dong, tante."
"Wah, enak banget tuh. Tante boleh minta nggak?"
"Nggak boleh, ini khusus ayah masakin buat Melati."
Melati merentangkan tangannya, bersikap menguasai hidangan yang ada.
"Ih masakan ayah nggak enak, enakan masakan ibu loh." kata Hilda mengompori, Melati tidak terima dengan apa yang dikatakan tantenya itu, dia memandang ayahnya ke samping, memasang wajah manja agar sang ayah mau memarahi tantenya itu.
"Mau ngadu kamu?"
Seenaknya Hilda menarik rambut Melati yang dikucir dua, Melati merengek mulai mengeluarkan jurus yang membuat Hilda ketakukan.
"Yah, jangan nangis dong. Maafin ya, iya masakan ayahnya Melati enak kok." pada akhirnya, Hilda harus mengalah, percuma saja dia berdebat dengan anak kecil yang mengesalkan baginya.
Sementra itu, Ilham dan Runi hanya bisa tersenyum gemas, Melati paling suka makan sayur buatan ayahnya.
🍁🍁🍁
Bersambung
Jazakillahu khairan khatsiiran ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top