27

Halooo!

Ada orang?

Yukk ramein yukk! Vee kangen nih. Xixixi.

Ok deh, happy reading. Tipo langsung koreksi ya.

***

Beberapa anggota Bhayangkara akhirnya di sebar ke segenap kotaraja Tarik. Pencarian Keiko dimulai.

Terselip di antara mereka bekel Gajah Mada. Penampilannya tampak tidak mencolok. Gajah Mada tak memberitahu siapapun kalau dia ikut mencari gadis itu. Bahkan, Gajah Mada lupa memberi laporan pada ratu Tribhuwaneswari. Setelah rapat dadakan dengan pasukannya selesai, Gajah Mada tanpa sadar langsung bergerak mendahului.

Gajah Mada menyusup di sela-sela kebun buah milik penduduk. Buah-buahan itu kelihatannya sudah siap panen. Tatap tajam bak paksi cataka*nya terpaku pada pohon mangga yang buahnya menggantung apik serta presisi.

Mangga ranum itu mengingatkannya pada si gadis tukang bikin rusuh. Si gadis cerewet yang selalu membuatnya terjebak dalam masalah. Juga gadis yang membuatnya setiap hari naik darah.

Gadis itu, Adira namanya. Gajah Mada ingat, terakhir kali saat dia bertemu Adira, gadis itu terasa berbeda. Dan itu karenanya.

Kata-kata Adira yang penuh luka kembali terngiang di telinga Gajah Mada.

"Angin dan lo itu sama-sama dekat, tapi gak pernah bisa tergapai apalagi tergenggam . Karena gak mungkinkan buat genggam angin?"

"Gue janji gak bakalan gangguin lo lagi sekarang. Yang gue gak bisa janji itu ngelupain lo, Gajah kurang gizi. Nanti, kalau lo udah gak capek, izinin gue buat temenan sama lo ya?"

Bahkan, bibir Adira yang tertarik pelan itu masih terpatri jelas di ingatan. Berulang terus seperti kaset rusak.

"Kenapa kamu pergi, Adira?" Tanyanya pelan. "Seharusnya kamu tak usah mempedulikanku. Aku ini lelaki brengsek yang hanya bisa membuatmu menangis."

Sudah tiga hari bekel itu melangkah mengikuti instingnya. Namun hingga kini masih belum menemukan titik terang. Keiko entah berada dimanalah.

"Salahku," cowok itu menunduk. Sungguh, bukan ini maunya. Ia tidak pernah berharap gadis itu pergi. Tidak pernah. Gajah Mada tidak tahu apa yang ia rasakan. Mendadak ia membenci dirinya sendiri karena tak bisa bersikap biasa jika berhubungan dengan seorang wanita. Lebih-lebih Adira.

"Adira. Tolong ajari aku bagaimana caranya memahami wanita. Aku bodoh jadinya kalau sudah begini," monolog dalam hati itu masih bersambung. Gajah Mada masih cukup waras untuk tidak bicara sendiri di tengah kesunyian kebun. Toh malas juga sih mengeluarkan suara. Enakkan ngomong dalam hati. Rahasianya terjamin comfortable 100%.

"Meoww!"

Bujubusrak!

Seekor kucing yang tiba-tiba muncul dari kerimbunan semak bikin Gajah Mada jantungan. Ya, gimana. Orang lagi asik ngegalau kok. Malah diganggu kucing. Jahat. Kucing tak berperasaan.

Memang benar kata pujangga yang dulunya mantan prajurit tapi dia gak lulus. Soalnya waktu lagi simulasi perang dia malah sibuk sendiri buat puisi. Dia bilang, jangan terlalu larut dengan kesedihan (read), GALAU. Karena itu membuat kepekaanmu terhadap sekitar berkurang drastis, kawan.

***

"Keiko sudah ditemukan?"

Jayanegara sedang menerima kehadiran salah satu Bhayangkara di ruangannya. Setiap waktu, Bhayangkara rutin memberi laporan tentang perkembangan pencarian Keiko.

"Ampun Tuanku. Hingga kini keberadaan Keiko masih abu-abu. Kami belum bisa memberi kepastian dimana gadis itu sekarang," Lapor Gajah Enggon ringkas.

Laporan Gajah Enggon yang apa adanya itu membuat binar-binar harap di wajah Jayanegara sirna, berganti kecewa yang tak bisa disembunyikan. Kenapa Bhayangkara berubah jadi kura-kura begini, sih?

Biasanya, Bhayangkara itu gerak cepat kalau menemukan sesuatu. Lah ini, sudah lewat tiga hari, masa Keiko belum ketemu juga?

"Kalian ini bagaimana?" Sentak Jayanegara. "Sudah lewat tiga hari, mengapa kalian tidak bisa melacaknya? Ada apa?"

"Ampun, Gusti Prabu. Keadaannya tidak sesederhana itu. Apa Gusti Prabu pikir, kami tidak berusaha mencarinya?" Sedetik setelah kalimat itu terlontar, Gajah Enggon langsung mengutuki mulutnya yang nyeplos tanpa filter.

"Aduh, Enggon. Kau menyulut api."

Pantas saja kakinya sering ditendang Mahisa Kinkin saat sedang berkumpul membahas misi rahasia. Rupanya ini toh.

Besok-besok, Gajah Enggon berjanji akan berusaha menyaring kata-kata sebelum diucapkannya melalui lisan. Atau, perlukah ia les prifat merangkai kata dengan Prapanca sang pujangga? Supaya lebih enak didengar begitu, lho. Lebih puitis.

"Maksudmu apa, hah?" Betul kan. Apinya nyala. Pemadamnyapun entah ada di mana.

"Begini sajalah, tuanku," Gajah Enggon mencoba meredakan kemarahan Sang Raja. Enggon sadar, akhir-akhir ini Gusti Prabu jadi orang yang teramat sensitif. Senggol dikit murka.

"Ringkasnya, untuk saat ini pencarian gadis itu masih belum menemukan titik terang. Nanti, jika gadis itu terlacak jejaknya, kami pastikan, Tuanku Jayanegara lah yang pertama kami beritahu."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Gajah Enggon ngacir duluan meninggalkan ruangan. Satu yang dia lupa, menghormat dulu sebelum kabur. Gajah Enggon yakin, Kakang Gajah akan membunuhnya kalau dia ada di sini.

Dan Gajah Enggon bersyukur tak melihat Gajah Mada di manapun.

Satu fakta lagi yang Enggon lupa, Gajah Mada sama sekali tidak pernah muncul di sudut keraton Wilwatikta manapun setelah rapat dadakan tiga hari yang lalu.

***

Gajah Mada terus melangkah. Instingnya entah mengapa menuntun langkah kudanya memasuki sebuah padukuhan di luar batas kotaraja Tarik sebelah barat. Gajah Mada beberapa kali melewati padukuhan itu saat mengawal perjalanan kerabat istana.

Penanda bertuliskan padukuhan Mojo Sari menyambut Gajah Mada saat masuk ke dalamnya. Keramaian khas pedesaan membentuk suasana tersendiri.

Beberapa gadis desa berbisik-bisik kala Gajah Mada melintas di hadapan mereka. Seorang di antaranya, bahkan hampir menjatuhkan keranjang cuciannya.

"Apakah itu pangeran berkuda yang hendak melamarku?" Pikir gadis itu sambil senyum-senyum.

"Hendak ke mana, kang?" Gadis lain menyapa malu-malu.

Gajah Mada melewati mereka begitu saja. Melempar tatapan sekilas pada mereka. Tanpa senyum, seperti biasa.

Gadis-gadis itu menjerit kecil. "Lihat, lihat! Dia menengok!"

"Dia menatapkuu! Aduh biuuung!" Klaim temannya, wajahnya bersemu.

Pandangan Gajah Mada terus menyisir seluruh desa. Barangkali, yang dicarinya ada di sini. Menyelip di antara keramaian desa, mungkin?

Namun nihil. Yang nampak justru beberapa anak kecil yang sedang asyik mengejar capung.

Dan, gadis lagi.

Anak kecil lagi.

Orang tua.

Gadis.

Anak kecil.

Gadis.

Ah, sudahlah.

"Kalau jalan itu waspada, Kisanak!"

Gajah Mada terhenyak. Kekang kudanya spontan ditarik. Kuda itu berhenti.

Seorang pedagang, kelihatannya begitu, karena ada beberapa orang berkerumun dan sedang melakukan transaksi dengannya, memunculkan raut sebal terhadap Gajah Mada. "Hampir saja kudamu itu menghancurkan ukiran-ukiranku. Semberono sekali kau Kisanak!"

Pedagang itu mencak-mencak. Tangannya membenahi letak barang dagangannya yang berantakkan terserempet kuda.

Gajah Mada memandang lelaki itu sebentar. "Maaf, paman. Saya tidak sengaja," katanya berusaha seramah mungkin. Namun tetap saja datar. Senyum tipis di sudut bibirnya yang sedikit mencairkan kebekuan.

Pedagang itu mendengus. Tapi toh iya mengangguk juga, meski itu sama sekali tak membuat raut kesalnya luntur.

"Paman, apakah paman pernah melihat seorang gadis asing lewat di tempat ini?" Tanya Gajah Mada. Pertanyaan yang sama yang sebelumnya telah iya lontarkan ke beberapa orang padukuhan.

"Gadis asing? Gadis asing bagaimana? Ada banyak gadis di sini," tanggap pedagang itu acuh. Membungkus ukirannya lalu diserahkan ke pembeli yang sudah menunggu. Jelas, Gajah Mada tak terlalu diperhatikan olehnya.

"Gadis yang penampilannya aneh. Matanya biru."

"Haish. Sabar, sedang kucarikan ini. Ukiran apa tadi? Burung rajawali? Coba saja si Gemi itu masih ada. Pasti aku tak akan kerepotan begimi," gerutunya disela-sela kegiatan mencari ukiran yang diminta. "Eh apa yang kau katakan? Gadis bermata biru? Mana ada gadis yang matanya biru. Ukiran biru, baru aku punya."

Gajah Mada mendesis sebal. Menanyai orang tak fokus ini sama saja buang-buang waktu.

"Sudahlah, lupakan saja. Sekali lagi aku minta maaf!" Gajah Mada menepuk punggung kudanya. Melaju menghindari kerumunan yang mengular.

***

Jayanegara duduk termenung di tepi kolam di tengah taman. Lamunannya terbang melayang ke mana-mana.

Tangannya mencabut setangkai Seruni. Dipandanginya Seruni itu, kemudian dikecupnya dengan penuh penghayatan.

"Oh, Sing, kembang Seruniku. Apakah kau tahu, di sini kusedang sibuk merindumu?" Desah Jayanegara. Harum Seruni itu seakan menghadirkan Keiko di taman ini. Dengan berbagai tingkah ajaibnya. Keributan-keributan kecil yang selalu Jayanegara nantikan setiap berinteraksi dengannya.

Omelan-omelan kesalnya waktu diganggu, ekspresi lucunya saat di rayu, wajah malu-malunya ketika dikecup, aduh. Jayanegara teramat rindu.

Sudah seharian ini Kalagemet kembali uring-uringan. Mendamprat siapa saja yang dijumpainya di sepanjang koridor. Menegur juru masak yang tanpa sengaja memasukkan Lengkuas ke dalam oseng-oseng sampai tergigit olehnya, menimbulkan rasa yang begitu aneh di indra pengecapnya.

Yah, sebetulnya, juru masak tak sepenuhnya salah. Jayanegara saja yang kurang berhati-hati memilih. Yang tadinya ingin menyendok tempe, malah Lengkuasnya yang termakan.

Kalian tahu, masalah sekecil itu berdampak besar di kondisi Jayanegara yang seperti sekarang. Luapan kerinduannya pada Keiko, gelegak emosinya pada Bhayangkara, sudah tak bisa ditahan-tahan lagi.

"Cepatlah kembali, langit biruku. Agar aku bisa membahagiakanmu lagi," Jayanegara berbisik lembut pada kelopak Seruni di genggamannya.

"Kau tahu, Sing? Aku sudah menciptakan puisi baru untukmu," kata Jayanegara lagi. Bibirnya tersenyum-senyum sendiri membayangkan reaksi Keiko nanti.

"Caramu menanggapiku itu berbeda, Sing. Dan aku suka itu. Lucu. Sangat lucu. Sialnya itu menjadi candu."

"Gusti Prabu?"

Seorang gadis menyapanya ragu dari balik tanaman Mawar. Takut jika iya bakalan didamprat juga.

Jayanegara berbalik. Seruni itu masih dalam dekapannya. "Kau, Rukmini. Siapa yang menyuruhmu ke mari?" Tanya Jayanegara kurang berkenan.

Gadis bernama Rukmini itu menyembah. "Ampun, Tuanku. Hamba ke mari atas keinginan hamba sendiri. Hamba pikir, Tuanku memerlukan teman."

"Begitu?"

Rukmini menganggukkan kepalanya.

Tanpa diminta, Rukmini mendekat. Sikapnya amat manja.

Jayanegara semakin tidak senang. Wanita-wanita yang biasanya dapat menghibur, kini mulai menghambar.

Satu-satunya penghibur Raja saat ini adalah Keiko. Si langit birunya. Rembulannya, bintang timurnya, mainannya, segalanya.

"Rukmini!" Jayanegara memanggil.

Rukmini menolehkan kepalanya anggun. "Hamba, Gusti Prabu?"

"Bisakah kau pergi? Aku sedang tidak ingin diganggu."

Keterkejutan yang samar terlukis di wajah gadis itu. Tidak biasanya Sang Prabu menolak keberadaan wanita di dekatnya. Bukankah Prabu Jayanegara paling tidak betah sendirian?

"Tunggu apa lagi? Enyahlah kau! Cepat!" Perintah Jayanegara final.

Sambil menunduk, Rukmini beringsut mundur. Jayanegara mengikuti kepergian gadis itu sampai hilang dari pandangan.

Setelahnya, perhatian Jayanegara kembali kepada kembang Seruni di genggamannya. Jayanegara tenggelam dalam lamunan.

Bukan cuma Rukmini yang menandai keanehan Jayanegara. Tersembunyi di kerimbunan Cempaka, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat mengintip. Adik-adik Jayanegara itu menyimpan keheranan yang sama.

"Ada apa dengan kanda Prabu, yunda?" Dyah Wiyat membisiki sang kakak.

Gitarja mengangkat bahu. "Entahlah, dinda."

"Kanda Prabu itu, sikapnya aneh sekali, yunda. Macam orang yang sedikit hilang kewarasannya," ceplos Dyah Wiyat blak-blakkan.

"Hus. Jangan bicara begitu, dinda. Tidak baik. Nanti kalau kanda dengar, bagaimana?" Tegur Gitarja.

Gitarja lantas menyambung, "lagipula menurutku, kanda Prabu malah terlihat lebih baik. Tidak bermain-main lagi dengan wanita ataupun bersenang-senang seperti kebiasaannya dulu."

Dyah Wiyat langsung membatin, "lebih baiknya sih iya. Tapi jangan gila juga, berbicara sendiri dengan kembang Seruni. Huh, ada-ada saja."

"Mari kita kembali ke kaputren. Tidak baik mengintip kanda Prabu sembunyi-sembunyi begini."

Sejurus dari itu, Gitarja beranjak dari tempat persembunyian dengan hati-hati. Dyah Wiyat di belakangnya, sibuk menggerutu tidak puas.

***

Empat hari lagi berlalu. Pencarian Keiko belum terhenti. Jayanegara makin kacau mendengar laporan yang begitu-begitu saja dari para Bhayangkara. Mahapatih Aryatadah jadi harus bekerja ekstra keras mem backup raja yang sering hilang fokus.

Sementara itu di luar kotaraja Tarik, Gajah Mada belum menyerah. Kudanya terus bergerak, mencari petunjuk sekecil mungkin tentang keberadaan Keiko.

Gajah Mada merasa sangat bersalah. Oleh karena itu dia harus menemukan Adira, bagaimanapun caranya. Sejauh apapun jaraknya. Adira harus ditemukan.

Memasuki kelebatan hutan Pring Sewu, Gajah Mada tak bisa lagi menggunakan kuda. Dibiarkanya kuda putih itu lepas. Memuaskan lapar dan dahaganya di  pinggir sungai.

Pring Sewu dikala malam terasa angker. Gemerisik daun dan derit bambu cukup membuat tubuh merinding.

Namun, hal itu tak mengusik Gajah Mada. Cowok berperawakan kekar itu cuek aja melangkah menerobos pohon-pohon.

Seekor ular merayap diam-diam. Bersiap menyergap katak. Tapi kemudian mata ular itu mengerling Gajah Mada dari kegelapan. Sudah lama ular itu tidak menyuntikkan bisanya pada manusia. Si ular gemas.

Si ular menjulurkan kepalanya dan mendesis-desis. Manusia ini targetnya.

Gemerisik mencurigakan di dalam semak menyalakan kewaspadaan. Insting Gajah Mada memberi sinyal. Cowok itu berlagak tidak peduli, namun pandangannya tajam memutar ke semua arah. Manik kelamnya berhasil menangkap bayangan yang bergerak-gerak di gerumbul semak.

Dengan gerakan secepat kilat, ular itu membuka mulutnya saat Gajah Mada melintas amat dekat di sampingnya. Desis ular itu menyentak Gajah Mada. Gajah Mada sigap melompat, menghindari sergapan bisa mematikan si ular.

Ular itu mengejar. Kepalanya bergerak, lidahnya menjulur mengerikan. Bisa menetes-netes dari taringnya yang tajam menyerupai jarum suntik.

Gajah Mada, tentu tak mau menjadi santapan cuma-cuma. Tubuhnya meliuk-liuk lentur, tidak mau kalah dengan kelenturan ular.

Pergulatan itu berakhir secara aneh. Si ular, entah melihat sesuatu apa di diri Gajah Mada yang membuatnya berhenti. Kepalanya tak lagi menjulur, mulutnya mengatup, tubuhnya perlahan melata menjauh dan kembali melingkar di sarangnya dengan meninggalkan jejak berupa desis lirih.

Gajah Mada membelalak heran. Sikap ular itu sungguh aneh.

Gajah Mada tentu tahu ular itu. Jenis ular Kobra yang jarang melepas mangsanya begitu saja.

Tak mau ambil pusing, Gajah Mada meletakkan batang kayu yang tidak jadi digunakan untuk mengusir si ular, dan melangkah pergi. Menerabas Pring Sewu yang semakin rapat.

Suara-suara di kejauhan menarik perhatiannya.

"Hiyaaa!"

Bayangan yang berkelebat-kelebat cepat. Orang yang bersorak-sorak. Gajah Mada menandainya sebagai sebuah pertarungan.

Priya itu penasaran. Menyelinap tanpa menimbulkan suara, Gajah Mada berhasil mendekati area pertarungan. Dirinya tersembunyi dengan baik di balik pohon besar.

Gajah Mada hitung, ada sekitar enam orang di tempat ini. Dua sedang bertarung, sisanya berteriak-teriak memberi semangat.

Sejauh pengamatannya, dua orang itu masih seimbang. Tapi lawan lelaki bertampang beringas itu belum tertangkap olehnya.

"Aaah!"

Tubuh lelaki itu terhuyung, kemudian jatuh bedebam.

Orang-orang yang sepertinya anak buah lelaki itu bergegas mendekatinya, namun cepat-cepat diusir oleh si lelaki.

"Kaget, ya? Lanjut gak nih?"

Desir tajam menggerataki Gajah Mada. Suara itu. Benarkah?

Gajah Mada menggeser posisi, berusaha mencari jarak pandang yang pas.

"Kau salah telah meminta ini, gadis gila. Sekarang, terimalah!" Si lelaki menggeram marah, memulai lagi serangannya yang dengan mudah dipatahkan.

Gajah Mada berdebar-debar. Sekarang dia tahu, lawan si lelaki adalah seorang gadis. Berani sekali gadis itu.

Si lelaki terjengkang untuk kedua kalinya. Dengan cepat lelaki itu bangkit. Kuda-kuda dipasang. Si gadispun begitu.

Mereka melakukan perbincangan yang tak dipahami oleh Gajah Mada. Gua elo, pusaka sakti, dan entahlah. Suara gadis itu saja yang menjadi titik konsentrasinya.

Saat gadis itu berteriak, "anjir!" Gajah Mada ikut terlonjak. Tidak salah lagi. Gadis itu, gadis itu. Anjir itu, siapa lagi yang pernah mengucapkannya selain dia?

Kata-kata aneh itu, siapa lagi yang sering mengatakannya selain gadis itu?

Adira?

Perasaan Gajah Mada buncah. Buncah oleh sesuatu tak bernama yang dia sendiri tak tahu apa itu.

Senang?

Takut?

Sedih?

Marah?

Entahlah.

Slap slap. Berleret sinar merah membuat matanya membelalak. Adira berhasil menghindarinya. Dan sinar merah itu kini mengarah ke tempat persembunyiannya. Gajah Mada meloncat menghindar, tepat saat sinar itu menyentuh pohon meninbulkan ledakan keras.

Gajah Mada terdorong oleh tenaga dasyat itu. Sebelum terjatuh, Gajah Mada cepat menguasai keseimbangan tubuhnya. Hawa panas membakar cukup meninggalkan jejak hangus di pakaiannya.

Di tempat persembunyiannya yang baru, Gajah Mada kembali menonton jalannya pertarungan. Sinar merah memecah menjadi banyak. Adira terdesak. Gadis itu tak dapat menemukan celah melepas serangan.

Meski demikian, Gajah Mada dibuat kagum dengan caranya melawan. Tidak disangkanya, Adira si pengacau itu bisa membela diri.

"Sepertinya aku telah salah menilaimu, Adira," Gajah Mada berkata untuk dirinya sendiri.

Duarrr! Sebuah batu hancur berkeping-keping dihantam ajian itu. Halilintar pemusnah, ajian yang dimiliki oleh pemimpin kelompok Tengkorak Hitam, Lembu Ireng. Kelompok perampok yang banyak menimbulkan keresahan masyarakat.

Ketegangan Gajah Mada memuncak mana kala dilihatnya Adira tumbang. Rintih kesakitan Adira membangkitkan kemarahannya.

Lembu Ireng telah melukai gadis itu. Lembu Ireng menyakitinya. Tangan Gajah Mada mengepal.

Adira keras kepala, Gajah Mada tahu itu. Adira dengan tenaganya yang tersisa masih mencoba bertahan. Titik fital Lembu Ireng ditendangnya.

Hal itu mengakibatkan Lembu Ireng semakin beringas. Gajah Mada tak sanggup menahan untuk terus menyaksikan saat Lembu Ireng dan kroco-kroconya bertindak kurang ajar.

Dengan wajah yang teramat beku, Gajah Mada keluar.

Tangannya yang besar bergerak trengginas. Sebagai prajurit pasukkan khusus Bhayangkara, Gajah Mada dilatih untuk melakukan penyergapan dadakan. Dalam waktu singkat, tubuh Lembu Ireng dan anggotanya berjatuhan ke tanah. Pukulan keras yang dilontarkan Gajah Mada menyisakan lebam mengerikan di tubuh mereka. Kelompok Tengkorak Hitambtelah lumpuh.

Masih dengan wajah tanpa ekspresi, Gajah Mada melempar tubuh mereka satu persatu.

Setelahnya, Gajah Mada beralih kepada Adira. Gadis itu pucat. Kesakitan tampak jelas di wajahnya yang putih. Matanya terpejam rapat.

Ketakutan tiba-tiba saja menyergap Gajah Mada. Ketakutan bercampur kemarahan. Manik kelamnya yang kini berwarna merah melempar tatapan penuh murka pada tubuh-tubuh yang teronggok dekat serpihan batu.

Tangannya bergetar mengangkat tubuh Adira. Membawanya pergi dari tempat itu.

"Aku gagal melindungimu," Gajah Mada berbisik lirih.

"Maafkan aku, Adira. Maafkan aku."

Gajah Mada merasa gagal. Iya telah gagal melindungi Adira. Iya lah yang menyebabkan Adira sakit lagi.

Gajah Mada marah, marah pada dirinya sendiri. Rasa tak bernama itu menggedor-gedor hatinya yang beku.

Rasa ingin melindungi, rasa ingin memiliki, rasa ingin... Gajah Mada memukul keras kepalanya sendiri. "Cukup! Jangan melantur, Mada!"

***

Paksi Cataka: (Jawa), burung Elang.

Gimana setelah kalian baca part ini?

Kangen gak sama cerita ini?

Vee juga kangen kok sama kalian semua. Sorry for being late ya, gaes.

Actually, Vee pengen updatenya kemaren, karena kemaren tuh spesial buat Vee. Eeeeh, tiba-tiba wp eror. Kesel dong Vee jadinya.

Yaudah deh, Vee updatenya sekarang aja.

Happy new year for all of you, guys. Semoga 2021 jadi tahun yang lebih baik untuk kita, dan mimpi-minpi kita yang belum tercapai di 2020 bisa diraih di 2021. Aamiiin.

Btw, kalian udah baca project terbaru kolaborasi Vee dengan tiga penulis, belum? Judulnya Batavi Love. Historical fiction juga. Buat yang belum baca, cus langsung ke akun the_srikandies. Ok? Vee tunggu kalian di sana.

Ok, as usual, don't forget to vote, comment, and share.

See you on the next chapter.

Love love love.

Vee.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top