Chapter 6. Bed and Breakfast
Saat usiaku empat atau lima tahun, Kal-el lahir.
Pada dasarnya, aku adalah anak kesepian yang sudah lama merindukan hadirnya seorang adik. Satu-satunya orang yang bisa kuajak bermain sebelum adik-adikku hadir, hanya mama.
Sebagai anak tunggal dengan suami yang kerjanya keluyuran, mama begitu protektif terhadapku. Aku diantar jemput ke playgroup dan TK, tidak diperbolehkan mengikuti antar jemput yang disediakan pihak sekolah, dan dibawa menemaninya ke mana-mana saat beliau masih sehat. Kawanku di kompleks tidak pernah bisa mengajakku bermain sepeda sore di taman tanpa pengawasan mama, itu membuatku seperti anak manja, dan tidak satu pun dari mereka sudi berlama-lama denganku. Apa bedanya buat mereka main bersama, kalau masih diawasi orangtua?
Kelahiran Kal-el membuatku luar biasa bahagia. Aku akan mendapatkan teman pertamaku, mungkin itu yang kupikirkan. Untuk itu aku menjaga dan menyayangi Kal-el, selalu mengalah pada semua keinginannya, memanjakannya. Apa pun yang kupilih dan dipilihnya, kuserahkan tanpa banyak berdebat. Sebab apa pun yang kumiliki tidak seberarti Kal-el bagiku. Karena kehadiran Kal-el, mama sedikit melonggarkan pengawasan terhadapku. Aku bebas bermain, dan ketika pulang, aku masih bisa bermain dengan adik semata wayangku.
Akan tetapi, bagaimana aku mengabulkan segala yang diinginkannya, justru membuat Kal-el tumbuh menjadi seorang anak yang kompetitif, terutama terhadapku. Dalam segala hal, dia selalu berusaha mengalahkanku. Jika aku menyerahkan sesuatu yang semula milikku untuk dia miliki dengan mudah, dia malah semakin tampak tidak menyukaiku.
Ada saat-saat dimana aku merasa lelah menghadapi sifatnya, tapi jika kuingat kembali bahwa kehadiran Kal sudah membunuh kesepianku, aku tidak tega meluapkan amarah.
Beberapa tahun kemudian, kami mendapat adik-adik baru yang lebih nyaman berada dalam perlindunganku dibanding Kal-el. Akibatnya, semakin kami tumbuh dewasa, jarak di antara kami terbentang semakin jauh. Jika aku boleh jujur, aku tidak terlalu menyukainya, tapi tidak membencinya.
Mengambil Moza bagi Kal-el mungkin sama dengan bagaimana dia selalu menginginkan mainanku saat kami masih kecil. Bedanya, kali ini aku tidak berhak marah, sebab Moza bukan siapa-siapa lagi bagiku. Aku hanya bertanya-tanya, sejak kapan mereka bersama? Mengapa Kal-el tidak memberi tahuku?
Jika dilihat dari riwayat hubungan kami, sebenarnya bukan merupakan hal yang mengherankan. Sehingga ketika kami selesai mengurus upacara kremasi Ayah pun, aku tidak berencana menanyakannya.
Aku akan berbahagia untuknya. Juga untuk Moza. Akan kuanggap tahun ini bukan tahun keberuntunganku, mungkin akan ada keberuntungan lain tahun depan. Yang jelas, aku memiliki urusan yang jauh lebih penting, yaitu mengurus adik-adikku yang lain.
Mengurus hal-hal memusingkan seperti yang terjadi pagi ini.
"Selamat pagi ...."
Hm? Aku menjilat bibir dalam keadaan setengah sadar. Siapa yang membangunkanku dengan kecupan? Sambil menjawab ucapan selamat pagi, aku menggosok dan perlahan membuka kedua mata. Betapa terkejutnya aku, ketika mendapati wajah Kefan menggantung beberapa senti di atas puncak hidungku.
"Kefan!" jeritku panik, tapi Kefan malah menghadiahiku satu kecupan lagi. Kali ini di pipi.
"Selamat pagi, Kak! Kakak mau sarapan?" tanyanya seraya tersenyum manis.
Aku masih gelagapan. Rasa manis bibir yang mengecupku tadi masih melekat, sementara Kefan dengan lincah melompat turun dari tempat tidur seolah tidak terjadi apa-apa. Dia melangkah riang keluar dari kamar, membiarkan pintu kamarku terbuka.
Cara membangunkan semacam itu memang kulakukan pada adik-adik lelakiku saat mereka masih kecil. Kami berkecupan bibir sebagai tanda sayang, yang justru tidak kulakukan pada Kanaya, sebab aku ingin dia tahu batasan antara pria dan wanita. Namun, semua itu berhenti setelah mereka agak dewasa, paling-paling sampai mereka lima tahun, sedangkan Kefan sudah hampir 11 tahun!
Aku harus memberi tahunya supaya berhenti jika dia melakukannya lagi. Akan tetapi, mungkin sebaiknya kutanyakan juga pada Kal atau Kenang, apakah si bungsu memperlakukan mereka berdua dengan cara yang sama.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, aku keluar kamar meski belum bisa sepenuhnya mengusir kantuk. Beberapa hari ini sungguh melelahkan, mungkin aku masih harus menebus tidur berjam-jam lagi.
Saat aku sampai di dapur, Kanaya dan Kenang sudah duduk menunggu, sedangkan Kefan tengah menuang susu ke dalam gelas.
Aku duduk di depan Kanaya yang sibuk dengan ponselnya. Mereka masih izin libur setelah kematian ayah. "Kenapa kalian nggak sarapan?" tanyaku, menjatuhkan tatapan pada gadis itu.
Dia menatapku, tapi tidak menjawab, malah kembali menunduk mengutak-atik ponsel.
"Kami pikir, Kak Ken yang akan bikin sarapan," Kenang yang menjawab.
"Oh!" celetukku. "Boleh. Mau makan apa?"
Kefan menyahut ceria. "Aku mau omurice!"
"Oke!" ucapku sambil mengelus puncak kepalanya. Rambutnya terasa halus menyapa kulit tanganku. "Aku pandai bikin omurice," seruku menirukan cara bicaranya yang riang menggemaskan. Tidak kupedulikan Kanaya yang memutar bola mata mendengar suara riang yang kubuat-buat.
"Aku ingat omurice bikinan Kak Ken! Ada cumi-cumi sosis, ada gambar kelinci di atas telur dadar!" Kefan kembali berceloteh gembira, kemudian meneguk susu sampai hampir setengah gelas.
"Itu omurice bikinan Kak Kenang, Kefaaan!" si kembar laki-laki menggodai adiknya, pura-pura menjewer telinga si bungsu dan membuatnya cemberut.
"Bukaaan!!!" jerit Kefan, sibuk mengibas telinganya sendiri.
Aku tersenyum melihat tingkah mereka berdua. Sambil mengeluarkan beberapa butir telur dari kulkas, aku bertanya. "Kalian berdua mau apa?"
Kenang tampak berpikir. Jarinya yang tidak mengaduk minuman dia topangkan ke dagunya. Secara otomatis, kualihkan perhatianku pada secangkir kopi hitam dengan krim nabati di depan pemuda itu.
"Kamu seharusnya nggak minum kopi." Aku memperingatkan.
"Gue sudah minum kopi sejak Kak Ken pergi. Kakak nggak bisa ngubah kebiasaan gue dalam sehari dua hari," katanya enteng.
Kanaya mencibir, masih menatap khidmat layar ponsel, tapi aku yakin cibiran meremehkan itu ditujukan buatku.
"Oke, kalau begitu mulai besok aku akan bikinin kamu susu coklat," kataku, memutuskan. Kenang tidak memprotes. "Kamu mau makan apa, Kenang?"
"Anything is fine," jawabnya. "Toh gue juga nggak biasa sarapan."
"Omurice nggak apa-apa?"
Kenang mengangguk acuh tak acuh. Sepertinya, menghadapi para pria jauh lebih mudah daripada mengatasi seorang gadis. Aku bahkan merasa canggung saat akan bertanya kepada Kanaya. Jika dia menaruh rasa hormat kepadaku, setidaknya dia bisa menyebutkan apa yang dia inginkan untuk sarapan, tanpa kuminta.
Akan tetapi, bahkan ketika aku sudah bertanya, "Kamu mau makan apa, Aya?" Kanaya tetap tidak menggubris.
Kedua saudara lelakinya yang lain tidak tampak ingin ikut campur. Aku mengulang kembali pertanyaanku, tapi gadis itu tetap diam seribu bahasa. Karena kesal dan tidak tahan diabaikan, aku menyahut ponsel dari tangannya. Kanaya menjerit melayangkan protes dengan geraman kasar.
"Kalau kamu nggak bisa membagi perhatianmu dengan orang lain di meja makan, lebih baik kamu nggak pegang ponsel sama sekali!" tegasku.
Tanpa kuduga, Kanaya dengan cepat merebut kembali ponselnya dari tanganku. Sebelum aku bisa melarangnya, dia sudah memasukkan benda itu ke dalam saku baju, dan menjauh dari meja makan tanpa mengucapkan apa-apa.
Aku tidak tahu sampai sejauh mana kesabaranku akan bertahan untuk menghadapi adikku yang satu ini. Matanya memelotot penuh kebencian padaku, seakan menantang.
"Kanaya!" hardikku. "Sikap macam apa itu? Aku masih kakakmu dan orang tertua di rumah ini. Kamu harus diajari sopan santun! Duduk lagi di sini. Sekarang!"
"Kemana aja Kakak selama ini, huh?" balasnya, membuat mulutku bungkam seketika. "Waktu kami sendirian saat mama meninggal, ayah pergi entah kemana, dan Kak Kal sibuk mengurus studi, Kakak di mana? Sekarang kami sudah dewasa. Kami nggak butuh itu lagi! Papa juga ninggalin banyak uang, kan? Kenapa kita nggak bagi aja uang itu, lalu kita hidup sendiri-sendiri!"
"Kanaya!" hanya itu yang mampu kuucapkan untuk mencegahnya mengatakan sesuatu yang lebih menyakitkan lagi.
"Gue nggak biasa sarapan! Gue mau keluar aja cari udara segar!"
Aku mencoba mengejar, tapi Kenang menahan pergelangan tanganku.
"Rebellious age," katanya. "Mungkin dia sebenarnya cuma jengkel karena Kakak tiba-tiba muncul. Lagi pula, dia cewek, lebih ekspresif. Bukan berarti gue suka ada orang yang tiba-tiba datang dan ngatur-ngatur kami. Biasanya kan kami selalu sendiri, bebas."
"Maksudmu?"
"Well ... Kakak tahu kan kalau ayah nggak tentu pulangnya? Kak Kal sudah lama pindah ke tempat baru sejak sponsorshipnya cukup untuk ngebiayain kuliah dan hidupnya. Yah ... selama ini kami memang hanya bertiga di rumah ini. Sekali-sekali aja ada bibi yang bersih-bersih rumah. Kayak yang gue bilang, nggak ada yang senang tiba-tiba diatur-atur!"
Mulutku baru saja membuka untuk menanggapi ucapan Kenang, tapi Kefan mendahuluiku. "Aku senang ada Kak Kenan!" katanya.
Mau tak mau, aku tersenyum kepadanya.
"Kalau ada Kak Kenan, aku nggak harus masak buat sarapan!" imbuhnya.
Aku terdiam. Mulutku membuka, tapi bukan untuk bicara. Aku justru kehilangan kata-kata.
"Gue nggak nyuruh lho," Kenang menyambar, sebelum aku sadar dari keterpakuanku mendengar kenyataan yang (bagiku) mengerikan.
Kefan, usianya baru 10, belum lagi genap 11 tahun. Aku saja—barusan—sudah bertekad tidak akan membiarkannya membuat susu panas sendiri saat melihat dia harus naik ke atas bangku demi menuang air dari termos! Ternyata ... selama ini dia menggoreng telur, bermain dengan pisau dapur, memasak air ... memanggang roti .... Apa lagi yang dia lakukan di dapur? Aku linglung.
"Kamu ngebiarin Kefan main api?" aku menggumam tidak jelas. Kulihat Kenang menelan ludah. "Kalau dia kena percikan telur goreng, kamu mau tanggung jawab? Kalau tangannya kena air panas dan cacat seumur hidup, kamu mau tanggung jawab?"
Alis Kenang menukik seketika, begitu kalimatku terselesaikan. "Kok gue!" pekiknya tidak terima. "Kak Kal-el dong yang mestinya kakak tanya. Bukan gue. Kakak dong, atau ayah yang mesti tanggung jawab! Bukan gue! Lagi pula, bukan cuma Kefan! Gue juga kadang masak air, kok! Kalau kakak begitu peduli siapa yang bikin sarapan setiap hari buat kami, ngapain dulu kakak pergi?!"
Aku hanya bisa tertegun mendengar Kenang meluapkan emosinya. Kubiarkan dia meninggalkan meja makan sebelum aku menyiapkan apa pun. Pagi itu, untuk pertama kalinya, ketika aku mendengar bahwa si bungsu lah yang memasak sarapan untuk kakak-kakaknya, terbit rasa kesalku pada Kal-el. Kenapa dia tidak mengurus mereka selama aku tidak ada?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top