Chapter 12. Ex-Girlfriend


Aku mengitari rak buku dengan gusar. Agak menyesal karena seharusnya paling enggak tadi aku brosing-brosing dulu, atau malah cukup men-download e-book. Sekarang, aku berada di tengah kerumunan ibu-ibu muda yang memperhatikanku sambil cekakak-cekikik. Apa anehnya aku berada di sini? Kenapa mereka tidak mencoba menanyaiku, bisa saja aku sedang mencari buku untuk istriku, bukan? Negara ini memang darurat membantu dan kelebihan waktu buat bergunjing.

Akhirnya kuputuskan untuk berlagak cuek, meneliti satu per satu buku yang memuat berbagai tanda kehamilan pada usia dini. Meski Kanaya bersikeras dia hanya masuk angin, aku tetap curiga dia mengalami kehamilan.

Maksudku, kemasukan angin apa dia sampai pingsan begitu? Lagi pula, dia habis makan banyak sekali makanan lewat mulut mungilnya lima menit sebelum pingsan. Kalau hanya masuk angin, bukankah seharusnya dia kehilangan selera makan karena mual, kembung, atau semacamnya? Ketika aku bertanya apakah dia sedang datang bulan—bisa saja dia pingsan karena darah rendah, kekurangan darah, atau apa—dia bilang tidak dengan pipi merona merah, seakan tidak sepantasnya aku bertanya hal seperti itu pada seorang gadis. Kemudian aku ingat, dia bilang dia tidak membeli pembalut bulan ini. Itu berarti dia memang tidak sedang datang bulan. Kenyataan itu malah membuat nyaliku mengecil.

Dia menolak berbicara terus terang dan malah mengusirku keluar dari kamar, menganggapku melanggar batas teritori pribadinya. Memangnya, siapa yang dengan susah payah menggendongnya ke kamar dalam keadaan pingsan? Dan sejak kapan kamarnya menjadi keep out area? Ketika aku meladeninya beradu argumen dan beralasan bahwa aku punya hak masuk kamar siapa pun dalam rumah ini, misalnya untuk mengecek kebersihan kamar tiga hari sekali, dengan lebih galak dia mengusirku. Dia bilang, aku baru boleh masuk ke sana tiga hari kemudian.

Aku tahu aku bersalah karena sudah memaksanya berterus-terang, tapi lama-lama aku benar-benar pusing tujuh keliling menghadapi anak perempuan baru akil balig. Tujuh keliling bahkan terdengar kurang bombastis untuk kasus ini.

Aku sudah memberi tahu Kal-el mengenai kecurigaanku. Dia menelepon larut malam untuk memastikan bahwa aku tidak salah mengiriminya pesan. Maksudku ... jikapun aku salah mengirim pesan, apakah dia tidak melihat isu yang lebih penting, bahwa adik perempuan kami kemungkinan berbadan dua?

Kal-el tidak ingin cepat mengambil keputusan, atau dengan kata lain, dia menyebutku terlalu cepat menarik kesimpulan. Setahunya, Kanaya tidak banyak bergaul dengan anak laki-laki dan lebih sering bermain dengan sahabat-sahabat perempuannya. Buatku sendiri, praduga tidak bersalah itu melegakan, tapi sekaligus mengkhawatirkan.

Jika Kanaya memang hamil, kami harus segera bicara dengannya, sebelum dia mengambil keputusan yang akan kami sesali.

"Ya udah, minta dia tes urin," ucap Kal-el, seolah yang sedang hamil itu aku, bukan Kanaya. Saat aku mengeluh, dia menambahi, "tapi mungkin dia nggak akan suka disuruh-suruh gitu. Pasti dia meledak, she's the hardest among three. Seandainya Mama masih ada ...."

Aku mendesah panjaaang saat dia berandai-andai.

Seandainya Mama masih ada, aku tidak akan pergi ke mana pun hanya untuk melampiaskan kekesalanku terhadap ayah dan mungkin Kanaya tidak harus tumbuh menjadi gadis yang sulit ditaklukkan. Lagi pula kalau kupikir-pikir, misalnya dia sampai hamil, cowok macam apa yang berhasil menaklukkannya?

"Apa kamu nggak akan pulang buat nyoba bicara sama dia?" aku melanjutkan bertanya semalam, tidak membiarkan senyap terlalu lama menyelimuti perbincangan kami.

"Gue?" Kal-el membisu sejenak. "Gue nggak tahu, sepertinya bukan keputusan bijaksana kalau gue yang bicara dengannya."

"Tapi dia lebih mendengarkanmu daripada aku, Kal," sergahku. "Kamu yang masih selalu ada di sisi mereka. Di sisi Kanaya."

Kal-el terkekeh di ujung lain. "Lo nggak pernah tahu sih betapa marahnya mereka bertiga waktu gue keluar dari rumah. Gue sampai harus menyusul Kanaya ke Bandung karena dia memprotes keputusan yang gue ambil dan Kenang hampir terjerumus bisnis jual beli narkoba karena tergiur pengin dapat uang cepat, supaya bisa buru-buru travelling keliling dunia."

"Apa?!"

"Cuma hampir. Dia sendiri tidak tahu dalam posisi apa dia saat itu. Diminta mengantarkan paket ke beberapa tempat tanpa nama dengan imbalan tinggi. Sewaktu aku bertanya apa kamu bisa memastikan isi paketnya bukan barang terlarang, dia baru sadar dan menjauhi peluang karir yang entah didapatnya dari mana."

"Kamu nggak menanyainya lebih lanjut mengenai itu?"

"Enggaklah. Buat apa? Yang penting Kenang sudah tidak terlibat, kan?"

Aku tidak menyangka Kenang mengalaminya. Aku tahu dia cukup kritis dan bermulut pedas, tapi dia lebih banyak diam. Dibanding yang lain, aku tidak melihat banyak masalah dengannya setelah kepulanganku selain rambut dan pierching. Hampir terlibat perdagangan narkoba? Sontak, semalam aku tidak bisa tidur. Pikiranku beralih-alih dari Kanaya ke Kenang. Kenang ke Kanaya. Apakah Kenang menggunakan narkoba? Dia sering mengurung diri di kamar. Apakah Kanaya hamil? Dia bilang bulan ini tidak membeli pembalut, malah kudapati membeli 5 macam alat pengetes kehamilan dan semalam dia tahu-tahu pingsan.

Kenapa aku merasa, urusan-urusan ini tidak akan berlalu dengan mudah, ya? Terlebih, Kal-el sepertinya sungguh-sungguh enggan membantu. Sewaktu dia tidak menjawab pertanyaanku dulu, kupikir dia hanya malas bicara, tapi ternyata dia benar-benar tidak antusias. Sejak kedatanganku kembali, dia selalu sibuk dan menyerahkan semua hal padaku. Caranya bercerita perihal adik-adik selama aku absen terkesan tidak peduli, seakan dia tengah menyerahkan tanggung jawab penuh dari bahunya ke bahuku.

Huft ... semoga aku hanya berprasangka buruk karena terlalu banyak pikiran. Eng ... Eng ... Hm! Buku ini sepertinya cukup membantu, 'How to Make Sure your Daughter is Pregnant', aku berpikir sejenak, apa sebegitu seringnya kasus remaja hamil di luar nikah sampai ada seseorang yang menulis buku seperti in—

"Kenan?"

Aku mendongak melewati puncak rak, mendelik menatap Moza yang membelalak mendapatiku tengah berada di deretan buku Ibu Hamil dan Menyusui. Semula, aku berniat diam-diam meletakkan kembali buku yang sudah kupilih, tapi sewaktu ingat perempuan ini cepat atau lambat pasti akan tahu dari Kal-el, aku membiarkannya.

"Siapa yang hamil?" tanyanya.

"Siapa tahu aku," selorohku.

Moza menutup ujung hidung dan bibir mungilnya, tertawa manis. Itu kebiasaannya sejak dulu kalau tertawa dan biasanya cewek-cewek yang kukencani memiliki cara tertawa yang sama. Sambil berjalan ke kasir, kami sepakat untuk makan siang berdua di café dekat toko buku. Aku membuka segel buku, mulai membaca sekilas sambil mengobrol.

"So ..., bagaimana dengan tunanganmu di Jepang?" Mata Moza beralih dari permukaan makanannya ke wajahku. "Kal bilang kamu sudah bertunangan."

"Oh—" Sejak kapan Kal tahu aku sudah bertunangan? Aku bahkan tidak pernah menceritakannya pada ayah yang sering mengirimiku kabar. "Kami sudah putus."

"Jadi kamu selalu ninggalin jejak di tempat terakhir yang kamu tinggalkan, ya?" Moza menggigit bibir bawahnya. Kelihatannya dia sedang berhati-hati, takut aku tersinggung.

Aku tersenyum miring menanggapi asumsinya. Karena aku bukan seorang pria yang senang membuat wanita kecewa, aku hanya menggerakkan bahu sambil melempar lelucon. "Namanya juga kucing jantan, hobi menandai."

Sialnya, Moza tidak tertawa bersamaku. Dia malah mengernyit, menatapku seakan aku tidak bisa dipahami. Aku menelan ludah, cepat-cepat memikirkan topik lain untuk mengalihkan perhatian.

"Jadi kapan kalian akan melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius?" Aku menusuk singkong keju dan menyuapkannya ke mulut. "Kalian sudah jalan berapa lama? Setahun? Dua tahun?"

Moza menghirup tea latte, tapi matanya tidak lepas dariku. "Beberapa tahun," dia menjawab, kemudian mulai minum. "Adikmu orang yang sangat, sangat, sangat kuat pendirian."

"Mungkin sangatnya masih kurang dua atau tiga kali lagi," candaku, kami berdua cekikikan. "Jadi kalian belum ada rencana untuk menikah, atau bagaimana?"

"Adikmu melamarku," Moza memperlihatkan cincin bermata zamrud di jari manis tangan kirinya, "dan aku menerimanya."

Saat dia mengabarkan berita itu, embusan angin yang bertiup di seputar kami memang terasa berhenti beberapa saat. Hal terakhir yang kupikir akan terjadi saat aku pulang adalah adikku memacari mantan pacarku. Hal terakhir. Itu berarti sama dengan tidak pernah terlintas di benakku dan sekarang mereka justru sudah berencana menikah.

Yang kucoba tekankan adalah ... bahwa Kal-el sangat, sangat, sangat tampan, dia bisa mendapatkan sepuluh gadis cantik lain sekaligus kalau dia mau, tapi dia memilih seseorang yang pernah kucintai.

Bukannya aku mengangap Moza sama dengan kereta-keretaan, atau mobil-mobilan, yang selalu kuikhlaskan untuk Kal dulu. Ini hanya kebiasaan. Aku punya kebiasaan merelakan milikku untuk adik-adikku. Aku pernah mengambil sesuatu yang sangat berarti bagi mereka—yaitu diriku sendiri—dan tidak ingin mereka menderita sekali lagi. Maka dari itu, mungkin aku lebih baik menganggap Moza seperti stik controller PS yang kulungsurkan kepada Kal, karena stik itu lebih asyik dipakai, dan ... yah ... dia menginginkannya.

"Aku nggak pernah tahu kamu akan kembali," Moza mengubah nada bicaranya, dari yang semula riang, menjadi serius. "Kal-el melamarku beberapa hari sebelum kamu tiba-tiba kembali ke Indonesia. Aku hanya berpikir ... kamu tidak lagi punya rencana untuk pulang. If I knew, Ken, maybe I ... You know I haven't stopped loving—you."

Dua belah bibirku yang terkatup membelah perlahan dengan sendirinya, mataku terpaku pada bola mata bulat Moza yang laksana pemindai, mengamati—bukan—menikmati wajahku yang membeku karena ucapannya.

"It's not a confession," katanya, mengimbuhi.

Aku berusaha mengangguk, tapi leherku kaku.

"Aku nggak akan membatalkan pertunanganku dengannya, jangan khawatir," Moza tersenyum manis, yang justru tampak mengerikan di mataku. "Maksudku Kal-el sangat memujaku dan dia tidak terlalu sulit untuk dicintai, terlebih ketika kamu nggak ada."

Aku masih meraba arah pembicaraannya.

Moza menyambung. "Dia memang tidak terlalu mirip denganmu, tapi aku melihat dirimu di dirinya dari beberapa sudut. Tapi Kenan ... seharusnya kamu tahu, sejak kamu pergi, dia tidak pernah berhenti berusaha menjadikanku miliknya."

Entah mengapa, aku tidak heran sama sekali. Yang kuherankan justru mengapa perkataan Moza terdengar punya tendensi untuk memojokkan Kal-el di depanku.

" Oh way before that ...," katanya. "Saat kita bersama pun ... aku tidak pernah mengatakannya karena tidak ingin kalian berdua meributkanku. Kupikir sebaiknya sekarang kamu perlu tahu bahwa dia sering diam-diam mengirimiku pesan, atau menelepon, atau—"

"Itu tidak mengherankan bagiku, Moz," aku memotong kalimatnya.

Bola mata Moza bergerak-gerak, sementara aku mulai tidak duduk senyaman sebelumnya. Kuletakkan garpu dan kuhabiskan sisa minuman di gelas.

"Sudah menjadi kebiasaan Kal untuk selalu menginginkan apa yang kumiliki," beri tahuku. "Tapi kuharap kalian berdua tidak perlu khawatir juga, karena aku tidak memiliki kebiasaan yang sama dengannya. Aku tidak senang menginginkan apa yang sudah dimiliki orang lain, apalagi orang lain itu adikku. Jadi, kalau kalian bersama ... aku hanya bisa memintamu supaya mencintainya dengan sungguh-sungguh. Anggap saja aku nggak ada, kalau itu bisa membuatmu mencintainya dengan lebih mudah. Love him properly."

"But I love you, Kenan," sergah Moza. "Adikmu sudah menipuku bertahun-tahun dan aku baru saja menyadarinya. Kalau bukan karena dia dengan sengaja menutup akses hubungan kita, mungkin kita tidak ... Don't you want to do something to—"

"Dulu, kita sudah putus, Moz," aku mengingatkannya sembari beranjak dari duduk. Sebelum Moza mengakhiri atau melanjutkan kalimat yang sudah kupotong, kuletakkan beberapa puluh ribu di meja untuk membayar makananku. "Kita tidak punya topik untuk dibicarakan lagi. Kamu akan mencintainya atau meninggalkannya. It's not negotiable, and it's got nothing to do with me."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top