CHAPTER 3
Meja makan yang biasanya kosong, kini terisi oleh sepiring roti lapis, segelas susu, segelas kopi, dan semangkuk sereal. Gilbert mengedarkan pandangan, bermaksud untuk mencari ayahnya untuk menanyakan tentang menu sarapan yang kali ini beda dari biasanya. Namun, sosok James tidak ada di sana, jadi Gilbert mulai mengembuskan napas keras sebelum menarik kursi untuk duduk.
Meja makan itu ditempatkan di satu ruangan yang sama dengan dapur, pintu belakang rumahnya juga berada tak jauh dari meja makan. Pintu kayu itu tertutup dan kunci selotnya masih terpasang, menandakan bahwa James tidak sedang berada di taman belakang rumah. Selain itu, wastafel dan meja dapur pun bersih seolah-olah tidak tersentuh. Memang seisi rumahnya terasa lebih hening ketimbang semalam. Gilbert curiga ayahnya pergi lebih awal. Namun, keberadaan segelas kopi hangat membuat lelaki itu berpikir mungkin James sedang berada di suatu tempat di rumah tersebut.
Setelah melihat sejenak ke arah ruang tengah yang bisa terlihat dari meja makan, Gilbert mulai melahap sereal. Susu putih dingin dan sereal yang telah lembek itu tidak terlalu enak, tetapi cukup mengenyangkan untuknya yang tidak terlalu memiliki nafsu makan. Sembari menyendokkan sereal ke mulutnya, benak Gilbert mulai menunjukkan ingatan semalam. Mimpinya yang berhasil membuat lelaki itu terbangun, tetapi juga diliputi rasa rindu.
"Pasti karena bukunya," gumam Gilbert di sela kunyahannya.
Tanpa ia sadari, James datang dan duduk di seberangnya. Lelaki yang pakaiannya terlihat rapi dan formal itu memeperhatikan putranya, lalu tersenyum kecil.
"Buku apa?" tanya James seraya menyesap kopinya.
Gilbert menggeleng, kemudian menyuap sesendok sereal ke mulut. Mata cokelatnya memperhatikan dekorasi dinding di dapur. Hal itu menyebabkan James tidak terlalu penasaran lagi soal gumaman anaknya dan mulai mengganti topik pembicaraan.
"Ayah akan pulang telat hari ini, jadi kau makan malam saja di rumah Bibi Jean."
Suara sendok yang diletakan di dalam mangkuk terdengar, bersamaan dengan Gilbert mendengkus. Perkataan yang setiap pagi ayahnya lontarkan itu sudah seperti asupan sehari-hari, sebab kepala keluarga di rumah mereka memang selalu kerja lembur. Gilbert bahkan bisa menghitung dengan jari kapan saja mereka berdua melakukan makan malam bersama, lengkap dengan masakan buatan sang ayah. Walau dalam hati kecilnya ia memang selalu menginginkan makan malam bersama keluarganya, Gilbert tidak bisa melarang James untuk lembur.
"Aku akan makan di rumah saja. Tidak enak kalau menumpang makan di rumah Bibi terus," pungkas Gilbert sambil mengambil segelas susu dingin.
James mengangguk pelan, matanya mulai melirik ke sepiring roti lapis. "Kalau begitu kau beli saja makanan di luar, tapi jangan mie instan. Ayah akan menambahkan uang saku untuk beli makan malam."
"Thanks," kata Gilbert sebelum meneguk habis susunya.
Setelah itu, ia berdiri dari kursinya, mengambil mangkuk dan gelas kotor, lalu mencucinya di wastafel. Sembari mencuci, pikiran Gilbert lagi-lagi membayangkan isi buku harian. Rasa penasaran itu masih menggelayutinya, seolah-olah ada dorongan dari dalam hatinya untuk segera membaca lagi buku tersebut. Akan tetapi, ia tahu saat ini bukan waktu yang tepat, sebab ia harus segera pergi ke sekolah.
Gilbert yang baru saja menyelesaikan kegiatan mencuci piring langsung bergegas ke kamarnya untuk mengambil tas. Sejenak ia perhatikan buku harian bersampul hitam di atas meja belajarnya, kemudian memutar tubuh dan meninggalkan kamar. Ia berjanji sepulang sekolah nanti, ia akan kembali membaca buku harian tersebut.
~o0o~
Selama jam pelajaran berlangsung, Gilbert hanya memandangi langit kelabu dari jendela kelasnya. Kebetulan mejanya berada di dekat jendela dan setidaknya berada di tengah di barisannya. Awan abu-abu itu membuat Gilbert merasa merindukan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak tahu kenangan yang mana. Sesekali lelaki itu mengembuskan napas, suasana hatinya yang kacau itu benar-benar cukup menganggu harinya. Apalagi setelah membaca isi buku harian misterius, makin terasa hampa pula hatinya. Seolah-olah memang isi buku harian itu pernah terjadi.
Mata Gilbert terpejam, sedangkan salah satu tangannya memegang pena kuat-kuat. Di benaknya ia mulai mencoba menggali kembali kenangan saat ia berada di ibu kota, mengira bahwa ada momen yang mungkin saja lelaki itu lewatkan. Namun, tetap saja hasilnya sama. Kenangan saat di ibu kota itu hanya berisi aktivitasnya mengunjungi klinik, bertemu dokter, menebus resep obat, makan, dan pulang ke kota Luxi. Tidak ada sedikit pun memori tentang kejadian bagai kisah novel seperti yang dituliskan buku hariannya.
Tatkala Gilbert membuka matanya, ia melihat guru bahasa asing tengah merapikan buku-bukunya sebelum pergi meninggalkan kelas. Saat itu juga bel berbunyi tanda bahwa jam sekolah telah usai. Bagai mendapat energi kembali, para murid kelas bergegas merapikan meja mereka. Akan tetapi, Gilbert justru bergeming.
"Gil!" seru Alan yang duduk di belakangnya seraya menepuk pundak Gilbert. "Ada game horor baru. Mau bermain bersama kami?"
Gilbert yang terkejut karena tepukan Alan lekas menoleh sejenak. Kening lelaki itu mengerut. "Kami?"
"Aku dan Bonnie." Alan memasukkan semua bukunya ke dalam tas, lalu berdiri.
Alih-alih menjawab, Gilbert malah merapikan mejanya. Setelah semua barangnya sudah masuk ke tas, lelaki itu berjalan lebih dulu menuju pintu keluar. Hal itu tentu saja membuat Alan kebingungan. Jadi, ia segera berlari menyusul temannya yang kini sudah berjalan menyusuri koridor.
"Gilbert!" panggil Alan. Setelah jarak mereka sudah dekat, Alan segera merangkul temannya itu. "Kata Bonnie kau sendirian di rumah, jadi ikut kami saja main game horor."
Gilbert melihat Alan dari ujung matanya, tak ada ekspresi apa pun yang terpancar di sana. "Kau main game sekaligus livestream?"
"Yeah, karena ini game baru."
"Aku tidak ikut."
"Eh, kenapa?"
Gilbert menghentikan langkahnya, lalu mendengkus. "Alan, tahun depan kita akan menghadapi ujian nasional dan tes masuk universitas. Seharusnya kau belajar."
Mendengar ucapan Gilbert, lantas Alan tertawa. Lelaki berambut hitam itu melepaskan rangkulannya. "Gil, masih tahun depan. Sekarang kita senang-senang dulu, ayolah."
"Tahun depan itu tinggal 2 bulan lagi," ujar Gilbert.
"Kaku sekali," celetuk Bonnie yang kini tengah bersedekap di belakang mereka. "Begini saja, deh. Anggap saja main game ini hadiah kesembuhanmu. Setuju?"
Gilbert mengembuskan napas keras disertai balasan dengan nada malas. "Aku belum sembuh total."
"Ah, yang benar?" goda Bonnie.
Gadis itu segera menggaet lengan kiri Gilbert, lalu mengajaknya berlari menuju pintu utama bangunan. Tentu saja disusul Alan yang senang karena akhirnya ia tidak harus memainkan game horror berdua saja dengan Bonnie. Sebab jika gadis itu sudah menarik Gilbert, temannya itu tak akan bisa menolak.
Ketiganya kini telah tiba di depan pintu utama. Akan tetapi, baru saja melangkah keluar, Gilbert melepaskan tangannya dari tangan Bonnie dan berlari ke dekat pohon. Di sana, ia berjongkok, kemudian mengeluarkan snack kucing dari tas. Kucing bercorak calico itu mengeong pelan sebelum memakan snack krim yang diberikan Gilbert.
"Kau mirip Paimon," gumam Gilbert tanpa ia sadari.
Kucing itu mengeong sekali lagi dan matanya menatap Gilbert. Saat itu, ia pikir snack kucingnya telah habis. Namun, setelah dilihat, snack tersebut masih ada. Gilbert kembali menawarkan makanan itu pada kucing, tetapi kucingnya justru memilih berkedip dan berlari ke luar sekolah.
Melihat bahwa Gilbert ditinggalkan begitu saja, lelaki itu hanya mengembuskan napasnya keras. Sementara Alan juga Bonnie menghampirinya seraya menepuk pundak Gilbert seolah-olah tengah menenangkannya.
"Itu hanya kucing, Gil," ujar Alan.
"Aku tahu itu," sahut Gilbert sambil melipat bagian bungkus snack dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
"Aw, jangan sedih begitu, Sepupu. Mari kita bersenang-senang main game. Oh, sekalian mampir dulu ke minimarket. Kita perlu banyak makanan!" seru Bonnie disertai cengiran secerah matahari.
Sekali lagi Gilbert mendengkus sebelum pasrah ikut Alan dan Bonnie menuju minimarket.
~o0o~
Minimarket itu berada di dekat stasiun, sengaja dipilih karena mereka bisa langsung masuk ke dalam stasiun. Meski memang agak sepi pengunjung karena jam kantor belum usai, di sana Gilbert melihat hampir semua pengunjungnya adalah murid sekolah. Beberapa di antara mereka juga memakai seragam yang sama dengan Gilbert.
Mengikuti usulan Bonnie yang ingin membeli bahan masak dan makanan ringan, Alan mengekorinya sembari membawa keranjang belanja. Lelaki itu juga memasukkan tiga mie instan cup dan tiga sosis sapi, walaupun ujung-ujungnya kena omelan karena Bonnie bersikeras ingin membuatkan masakan alih-alih memakan makanan instan.
Di sisi lain minimarket, Gilbert sedang memperhatikan etalase yang diisi oleh onogiri berbagai rasa. Pikirannya kembali mengingat tentang onigiri bentuk kucing yang sekarang ia tahu kalau makanan itu tertera dalam buku harian. Gilbert masih ingat jelas tulisan tersebut. Di hari pertemuan pertamanya dan Kin yang jika menurut buku harian, si perempuan menawarkan tiga onigiri berbentuk kucing dengan tiga rasa berbeda. Di buku harian itu juga tertulis jelas bahwa katanya Gilbert sangat menyukai onigiri buatan Kin.
Tatkala tangannya hendak mengambil onigiri isi tuna dari etalase, tangannya bersentuhan dengan tangan orang lain yang juga menginginkan onigiri tuna. Si pemilik tangan itu, gadis dengan seragam yang sama seperti yang dikenakan Bonnie. Rambutnya hitam diikat satu dan matanya berwarna biru. Gilbert mengenalnya, sebab gadis itu salah satu teman sekelasnya.
"Eh ... kalau kau mau ambil saja," ujar Gilbert yang mengalah. Tangan lelaki itu kini mengambil satu onigiri rasa salmon.
Karena merasa sudah mengambil onigiri yang diinginkannya, Gilbert hendak berjalan menghampiri Alan dan Bonnie yang sibuk memilih minuman. Namun, gadis tadi memanggilnya kembali. Gerak-geriknya juga terlihat seperti salah tingkah, sedangkan tatapannya tidak menatap langsung Gilbert.
"Gil, emm ... kalau kau ... mau onigirinya silakan saja," kata gadis itu dengan nada malu-malu.
"Oh, tidak usah. Aku sedang ingin makan rasa salmon." Gilbert mengangkat tangannya setinggi pipi untuk menunjukkan onigiri salmon. "Itu untukmu saja, Kina."
Gilbert memutar tubuh dan melangkah pergi. Lelaki itu tidak menyadari bahwa pipi gadis yang bernama Kina mulai merona. Ia juga terlihat menahan diri untuk tidak berteriak kegirangan. Sebisa mungkin dirinya terlihat tenang, barulah setelahnya cepat-cepat mengambil dua onigiri dengan varian rasa tuna dan salmon.
~o0o~
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote atau komentar, ya~
24 Agustus 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top