7.

Seorang penunggang kuda bertudung abu-abu melaju keluar dari perbatasan Pengging saat purnama telah bertakhta di puncak langit, memasuki wilayah Boko. Beberapa orang penjaga terlihat mengangguk saat sosok itu melewati gerbang perbatasan. Jubah abu-abunya berkibar di belakang tubuh berkemul dengan debu tipis yang membubung saat kaki-kaki kuda yang ditunggangi menghantam tanah. Sosok itu berhenti tepat di depan sebuah teratak tua di perbatasan hutan, sebelum memasuki kompleks keraton.

Seorang petakik telah menanti di sekitar teratak dan langsung mengambil alih kuda milik sosok bertudung dan membawanya pergi. Setelah memastikan suasana di bagian belakang pagar tinggi keraton terlihat sepi, sosok bertudung itu segera berlari cepat melintasi jarak antara taratak dan tembok keraton.

Dalam temaram cahaya bulan, sosok itu memanjat cekatan tanpa suara hingga akhirnya menghilang di balik tembok keraton. Dalam beberapa detik yang disaput hening, sosok itu akhirnya berhasil mencapai kaputren yang telah sepenuhnya sepi.

Jauh di balik kegelapan di luar tembok keraton, sepasang mata mengawasi sosok bertudung itu. Temaram rembulan menampilkan sekilas seringai sang penguntit, sebelum sosok itu berbalik dan menyatu di dalam kegelapan malam.

***

"Roro Jonggrang!"

Teriakan menggelegar itu sontak membuat gadis yang meringkuk di atas katil terbangun. Tubuhnya sontak gemetar ketakutan kala mengenali dengan baik pemilik suara itu.

Di samping tempat tidurnya seorang perempuan paruh baya yang tengah duduk bersimpuh dengan wajah pucat pasi, segera bangkit dan membantu Roro Jonggrang turun dari katil. "Gusti Putri jangan takut, Hamba akan melindungi Tuanku," bisik sang dayang menenangkan.

Tubuh gemetar Roro Jonggrang seketika menjadi lebih tenang. Sang putri menoleh sekilas pada biyung emban yang kini membawanya berjalan ke arah pintu, sosok wanita paruh baya yang selalu menemaninya sejak kepergian Ibunda Prasmewari Dalem. Tak terhitung berapa banyak pengorbanan yang telah dilakukan oleh perempuan itu untuknya. Baginya, sang dayang merupakan sosok pengganti ibu, sahabat, sekaligus pelindung di berbagai situasi yang telah mereka lalui. Ia begitu bersyukur telah memiliki Emban Gayatri sebagai dayang.

Bunyi ketukan di depan bilik terdengar lebih keras hingga membuyarkan lamunan Roro Jonggrang. Gayatri yang membantunya turun dari katil menuju pintu bilik lantas menarik palang pintu hingga daunnya terbuka. Setelah sama-sama menunduk memberi penghormatan, Gayatri lantas menyilakan sang raja untuk masuk ke dalam bilik putrinya.

Sesosok lelaki bertubuh besar tinggi, bahkan lebih besar dari tubuh lelaki pada umumnya, memasuki kamar bilik dengan langkah yang berdebum. Meski samar, Roro Jonggrang merasa jika ruangan bilik itu terasa sedikit berguncang. Wajah berkulit legamnya yang ditumbuhi kumis serta janggut tebal itu menunjukkan ekspresi tidak senang seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Kamu belum tidur, Nduk?" tanyanya dengan suara serak yang kasar. Mata besarnya menatap nyalang ke seluruh pelosok bilik seperti sedang mencari sesuatu.

Roro Jonggrang menggeleng, tetapi sedetik kemudian mengangguk gelagapan. "Ampun Ramanda Prabu, Hamba sedang tertidur saat Ramanda mengetuk pintu bilik," sahut Roro Jonggrang dengan pandangan tertunduk menekuri lantai.

Prabu Boko berjalan pelan mengitari kamar seumpama harimau yang sedang meninting mangsanya. Langkahnya kemudian terhenti tepat di depan katil yang alasnya terlihat berantakan. "Aku mendengar desas-desus jika kau sering keluar dari kaputren. Apa itu benar, Nduk?" Suara menggelegar sang prabu memenuhi ruangan bilik.

Roro Jonggrang mulai ketakutan. Gemetar kembali menyambanginya tubuh rampingnya. Perlahan tetapi pasti, ia mengetahui ke mana arah pembicaraan ayahandanya.

"Ti-tidak, Ramanda Prabu. Ha-hamba sakit seharian hingga tidak bisa bangun dari tilam," Roro Jonggrang berucap lirih.

"Cih. Kamu tidak sedang berbohong, 'kan, Nduk? Aku sangat membenci seorang pembohong." Prabu Boko berbalik seraya menatap Roro Jonggrang berang.

"Ha-hamba tidak berani berbohong, Ramanda Prabu ..." Roro Jonggrang menjatuhkan lututnya ke atas lantai, melepaskan diri dari rengkuhan biyung embannya.

"Lantas bagaimana kamu menjelaskan laporan salah seorang prajurit yang melihatmu berkuda melintasi perbatasan Boko dengan mengenakan jubah abdi istana?!" tanya sang prabu dengan suara meninggi.

Sang putri seolah ditampar dengan keras dan telak. Kepalanya yang tertunduk sontak terangkat, menatap tak percaya kepada sang ayah. Bagaimana mungkin pelarian yang telah ia rencanakan dan samaran yang ia lakukan serapi mungkin bisa diketahui oleh seorang prajurit. Tidak ada yang mengetahui penyelinapannya kecuali biyung embannya dan si pekatik. Apakah salah satu di antara mereka mengkhianatinya? Atau hal ini semata karena kejelian sang prabu?

Selagi sang putri memikirkan jawaban yang tepat untuk berkilah, tiba-tiba saja biyung emban yang semula bergeming di samping Roro Jonggrang, menjatuhkan lututnya di atas permukaan lantai bilik. "Hampura Ampun Gusti Prabu! Hamba menjadi saksi jika seharian tadi Gusti Putri tak beranjak dari bilik barang seinci pun. Demamnya tinggi sehingga Gusti Putri tak dapat beranjak turun dari katil. Hamba yang menangani segala keperluan dan pengobatannya."

Roro Jonggrang menoleh pada Gayatri dengan kening berkerut tak mengerti. Ia menggeleng pelan sebagai isyarat agar sang biyung emban segera menarik kata-katanya. Namun, wanita paruh baya itu malah mengabaikannya.

Suara derap langkah sang prabu berdentum pada lantai batu bilik, mendekati kedua wanita yang sedang duduk berlutut laiknya pesakitan. Langkah besar sang raksasa itu berhenti tepat di depan Gayatri. "Berani kau bersaksi untuk Roro Jonggrang? Apakah kau bersedia menerima hukuman jika yang dia sampaikan adalah kebohongan belaka?!" geram Prabu Boko.

Gayatri jatuh bersujud, bahu dan punggungnya gemetar hebat. Suara isak tangisnya terdengar dari balik tubuh yang tertelungkup. "Hampura Ampun Gusti Prabu, Hamba bersedia menanggung akibatnya jika kesaksian Ndoro Putri hanyalah kebohongan belaka ...."

"Biyung ...!" Roro Jonggrang bergumam lirih. Andai ia dapat menatap netra Gayatri saat itu, barangkali ia dapat mencegahnya berucap demikian. Namun, Gayatri seolah memang menghindari tatapannya. Lagi-lagi biyung emban itu ingin berkorban untuknya, sebuah pengorbanan yang bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya.

Roro Jonggrang tahu persis, melebihi siapa pun atas kebohongan yang dilakukannya. Ia sering menyelinap keluar dari keraton Boko yang serupa sangkar emas itu. Sejak mangkatnya Ibunda Prameswari Dalem, Roro Jonggrang selalu merasa kesepian. Tak seorang pun yang bersedia menjadi temannya mengingat sang ayah yang merupakan keturunan raksasa, berpenampilan menyeramkan dan berperangai buruk.

Roro Jonggrang muak dan sebagai salah satu bentuk protes dan pengalihan kesepiannya, gadis itu sering menyelinap keluar keraton. Bahkan, lebih jauh, ia menyelinap keluar dari Boko. Setidaknya, melihat keramaian dan berkunjung ke tempat-tempat asing membuatnya merasa lebih baik dan melupakan kemalangan hidupnya. Namun, ia tak dapat membayangkan jika kesenangan kecilnya itu harus terenggut.

"Ramanda ... perbuatan itu, Hambalah yang harus menanggungnya. Tidak ada hubungannya dengan Biyung Emban." Roro Jonggrang menyela cepat, tepat sebelum sang prabu hendak membuka mulutnya. Ia tahu bahwa yang ia lakukan menyalahi tata krama, tetapi hanya itu yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan Gayatri.

Prabu Boko membelalak. Tatapannya nyalangnya menghunus tajam pada sang putri yang berani mengangkat wajah dan membalas tatapannya. "Jadi kau mengakui kebohonganmu, Nduk?" Suara paraunya gemetar menahan gejolak amarah yang bisa menyembur kapan saja.

Roro Jonggrang menggeleng pelan, tetapi tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya sebagai pembelaan. Ia merasa terjebak oleh kata-katanya sendiri. Cepat atau lambat, sang prabu akan mengetahui kebohongannya.

Sedetik yang berlalu sangat lama itu rupanya juga menimbulkan keresahan serupa pada sang prabu. Lelaki bertubuh besar itu menurunkan sebelah lututnya, menyejajarkan pandangan dengan sang putri. Kemarahan masih menggurat pada wajah menyeramkan itu sehingga sontak membuat tubuh Roro Jonggrang menggigil. "Aku tidak menyukai pembohong, Jonggrang. Siapa pun yang melakukannya, aku pastikan akan mendapatkan ganjaran," desisnya penuh ancaman.

Sang prabu berdiri, sementara Roro Jonggrang jatuh bersujud sembari terisak. Gadis itu sama sekali tidak takut akan hukuman yang akan ditimpakan sang ayah padanya, bahkan ia lebih mengharapkannya ketimbang merasa kesepian di dalam keputren. Namun, pikirannya lantas tertuju pada dayang emban kepercayaannya yang masih bersujud dengan tangis tertahan. Ancaman sang prabu agaknya lebih ditujukan kepada Gayatri. Bagi Roro Jonggrang, ancaman kepada Gayatri akan berpengaruh besar kepadanya.

"Hampura Ampun Ramanda Prabu, Hamba khilaf dan pantas dihukum. Hamba juga yang meminta Biyung Gayatri untuk mengatakan kebohongan tersebut. Hamba mengancamnya hingga dia bersedia membohongi Ramanda Prabu. Semua ini kesalahan Hamba. Timpakanlah segenap kemarahan dan hukuman hanya kepada Hamba."

"Ndoro Putri, tidak! Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar." Di luar dugaan Roro Jonggrang, biyung emban bangkit dari sujudnya dan menghambur memeluk punggungnya. Dengan lembut wanita paruh baya itu menarik tubuh sang putri dari posisi bersujud, dan kesalahan terbesar Gayatri adalah saat ia membela Roro Jonggrang.

Prabu Boko yang melihat drama antara putri semata wayangnya dan sang pengasuh lantas menyeringai. "Jadi kalian bersekongkol untuk membohongiku?!" geramnya.

"Tidak, Ramanda Prabu!"

"Hampura Ampun Gusti Prabu, Hamba yang bersalah. Hamba patut dihukum." Gayatri meraung. Air mata terurai di kedua pipinya.

"Tidak, Biyung tidak bersalah."

Prabu Boko mengembuskan napas panjang. "Baiklah," sahut sang prabu dengan tatapan menerawang ke langit-langit kaputren. Ia sedang menimbang-nimbang hukuman yang sesuai bagi putrinya dan sang pengasuh. Sementara, Roro Jonggrang dan Gayatri saling berpegangan tangan, tertunduk dengan tangis mengalun lirih.

"Gayatri, aku akan menghukummu saat matahari terbit. Hukuman terbaik bagi seorang pembohong!"

"Tidak, Ramanda. Tidak!" Tangis Roro Jonggrang pecah lagi. Namun, tangis dan permohonannya sama sekali tak membuat hati sang ayah melunak.

"Dan, untukmu, putriku yang rupawan, kau juga akan mendapatkan hukuman setimpal atas kebohonganmu!" bentak sang prabu.

Setelahnya, Prabu Boko keluar dari kaputren dalam gerakan cepat dan langkah lebar, meninggalkan kedua wanita yang masih larut dalam tangis.

Roro Jonggrang tak pernah mengira jika penyelinapannya keluar keraton akan berakhir hari itu. Padahal, hari itu adalah hari pertamanya menyelinap keluar dari Boko. Pengging yang subur dan indah dengan orang-orang berperangai ramah dan penolong, sangat jauh berbeda dengan kegersangan dan kengerian di Boko. Sang prabu yang merupakan keturunan raksasalah yang telah membuat Boko kehilangan keindahan dan keramahannya. Cepat atau lambat, Roro Jonggrang pun akan mengalami hal yang sama.

Namun, ada hal yang jauh lebih menyusahkan pikirannya ketimbang kehilangan kesempatan untuk menyelinap lagi, yaitu kehilangan Gayatri. Roro Jonggrang sama sekali tak bisa menebak tindakan yang akan dilakukan sang prabu. Satu hal yang ia ketahui dengan pasti bahwa Prabu Boko tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Embusan angin yang menggerakkan lidah api di dalan lampu minyak segera menyadarkan Roro Jonggrang jika waktu yang mereka punya tidak banyak lagi. Ayam akan segera berkokok kala bulan lengser sepenuhnya dari puncak langit. Ia harus mengajak biyung embannya kabur. Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan sang pengasuh.

Dengan gerakan cepat, Roro Jonggrang menarik pergelangan tangan wanita paruh baya itu, bergerak ke arah jendela. Namun, langkahnya terhenti saat sang biyung emban menepis cengkeramannya dari pergelangan tangan. "Ndoro Putri, ini salah. Melarikan diri hanya akan menyulut kemarahan Gusti Prabu Boko," cegahnya saat salah satu tungkai sang putri telah bertengger pada bingkai jendela.

Roro Jonggrang menggeleng keras. "Tidak, Biyung. Ramanda memang tetap akan menghukum kita meski kita tak melarikan diri. Akan tetapi, ijinkan aku menyelamatkanmu, Biyung. Biarkan aku yang menanggung hukumannya."

Gayatri bergeming di tempatnya, meski Roro Jonggrang menarik sebelah pergelangan tangannya. "Tidak, Ndoro. Ndoro Putri telah saya anggap sebagai Putri hamba sendiri. Hamba tidak ingin Ndoro Putri dihukum. Hamba tidak ingin diselamatkan."

Roro Jonggrang mendengkus. "Jika Biyung menganggapku sebagai Putri Biyung sendiri, maka ijinkan aku untuk menyelamatkan Ibundaku sendiri. Kali ini saja, biyung," ucapnya lirih. Setitik air bening mengaliri pipi mulusnya. Ia bersikeras dengan pendiriannya dan Roro Jonggrang tahu jika Gayatri sangat mengenalinya sebagai gadis keras kepala.

Gayatri kembali tersedu sembari meraih sebelah tangan sang putri untuk kemudian menciumi punggung tangannya penuh kasih. Setelahnya, ia menatap sepasang netra cemerlang Roro Jonggrang yang disaput kesedihan. Dengan berat hati, Gayatri mengangguk, memasrahkan nyawanya ke tangan sang putri.

Di bawah temaram cahaya bulan, dua sosok berjubah abu-abu; Roro Jonggrang dan Gayatri mengendap-endap keluar dari kaputren, menyusuri bayang-bayang hitam deretan pohon Asoka menuju tembok pembatas di belakang keraton. Tanpa mereka sadari, sepasang mata jahat menyaksikan dengan senyum menyeringai.






Pontianak, 07 November 2020, dipublikasi tanggal 12 November 2020 pukul 23.47 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top