6.

Selama berhari-hari, Dewandaru terperangkap di bilik itu sembari menanti kesembuhan luka-lukanya. Dia sama sekali tak mengingat tanggal, maupun hari. Namun, pemandangan halaman keraton dari jendela bilik yang indah dan asri selalu memberinya gambaran jelas mengenai pergantian, pagi, siang, sore dan malam.

Utari dan Sureswari bergantian menungguinya di bilik sambil hilir-mudik membawa nampan-nampan berisi makanan, buah-buahan, jamu dan obat-obatan herbal. Meski susah payah, Dewandaru selalu berusaha untuk menghabiskan obatnya, menelannya dengan getir. Rasa pahit obat-obatan itu kala menyentuh lidahnya sungguh bukan apa-apa jika dibandingkan dengan hidupnya sekarang.

Seumur hidup, Dewandaru selalu menghindari obat-obatan apalagi ramuan herbal dengan bau menusuk, meski dalam keadaan sakit parah sekali pun. Lagi pula, tidak ada yang peduli dan memperhatikannya jika ia sakit. Pengobatan terbaik yang ia lakukan hanyalah tidur. Beruntung, Dewandaru belum pernah terserang penyakit parah. Namun, sebagai Wirahandaka, ia memiliki keluarga yang akan menungguinya saat minum obat dan makan. Rasanya, menjadi Wirahandaka tak begitu buruk, kecuali pada bagian ia dihajar oleh Manggala. Setidaknya, Dewandaru dapat merasakan kemewahan dan kasih sayang dari sebuah keluarga.

Setelah kejadian itu, hubungannya dengan Manggala tidak bisa dikatakan telah membaik. Manggala memang tak menghajarnya lagi, tetapi kejadian malam itu senantiasa melekat dalam ingatan Dewandaru. Barangkali, di balik sosok keras dan wajah menyeramkan itu tersembunyi telaga kasih sayang maha luas terhadap Wirahandaka dan itu cukup membuat Dewandaru merasa sangat iri. Sesekali, pemuda itu mendapati Manggala mengamatinya dari ambang pintu atau bahkan menyelinap ke kamarnya hanya untuk menaikkan jarit yang menyelimuti tubuh putranya.

Pada hari ke tujuh, Dewandaru merasa tubuhnya telah pulih untuk bangkit dan menjelajahi seisi bilik dengan bosan. Ia juga merasa sudah cukup belajar untuk menyesuaikan diri sebagai Wirahandaka yang lupa ingatan. Pemandangan rerimbunan bunga Asoka dari balik jendela kamar pun rasanya tak lagi menarik. Ia ingin keluar dan menghirup udara segar.

Pagi-pagi buta, ketika Sureswari mengantarkan ramuan herbal untuknya, Dewandaru memohon agar dapat ditemani keluar dari bilik. Namun, gadis itu justru mengabarkan sesuatu yang lebih melegakan yaitu rencana kunjungan Bandung Bondowoso. Berita itu seumpama angin segar bagi Dewandaru. Meski ia tak mengenal Bandung Bondowoso, tetapi kedatangan pangeran Pengging itu akan menjadi alasan yang tepat untuk meninggalkan bilik yang telah ia tempati selama berhari-hari.

***

"Bagaimana kabarmu, Wirahandaka?" Bandung Bondowoso akhirnya muncul dari ambang pintu bilik yang setengah terbuka tepat saat matahari pada posisi sepenggalah.

Dewandaru mendengkus di depan jendela bilik yang terbuka lebar. Berjam-jam ia duduk diam di tempat itu hingga mengabaikan nasi putih dan ikan bakar yang telah tersaji pada meja di samping katil demi menanti kedatangan sang pangeran. Nasi dan lauk yang semula panas telah berubah dingin seiring berjalannya waktu. Selera makannya menguap karena antusiasme menanti kedatangan Bandung Bondowoso.

"Aku kira kau tidak akan datang," ucapnya sembari berdiri.

"Kau melewatkan makan siang hanya karena menantiku?" kening Bandung Bondowoso mengernyit saat melirik nasi putih yang tak tersentuh di atas meja.

"Aku sudah makan terlalu banyak selama masa pemulihan. Sekarang aku hanya ingin bersenang-senang."

"Bersenang-senang?" salah satu alis Bandung Bondowoso terangkat.

Dewandaru berdeham gelagapan. Sesaat ia lupa jika ia sedang berada di Pengging yang barangkali ratusan tahun tertinggal di belakang dalam segala hal. "Maksudku, aku ingin mencari udara segar," ralatnya. Dengan langkah tergesa, pemuda itu melewati Bandung Bondowoso keluar dari bilik.

Di belakangnya, suara kekehan sang pangeran Pengging terdengar mengiringi langkah setengah berlari Dewandaru saat menyusuri lorong wisma kepatihan tanpa peduli pada prajurit yang menyapa dan membungkuk hormat padanya. Begitu mencapai ambang pintu yang mengarah ke halaman di belakang pendopo, Dewandaru lantas merentangkan kedua lengannya, menghirup napas kebebasan dalam-dalam.

Kesakitan yang ditanggungnya akibat kemarahan Manggala telah sepenuhnya menguap, meski memar kehitaman masih tertinggal menjejak di tangan dan kakinya. Keluar dari bilik adalah hal sederhana yang paling ia dambakan sekarang.

"SEGAR SEKALI!" Dewandaru berteriak sembari melakukan perenggangan sederhana yang biasa ia lakukan untuk memulai hari dan pemanasan saat olah raga. Namun, lagi-lagi Dewandaru seolah lupa jika ia tidak sedang berada di Jogja.

Suara bisik-bisik samar dan kikikan terdengar mengusik telinga Dewandaru yang sedang melakukan gerakan pemanasan di bawah sebatang pohon Tanjung. Suara-suara itu semakin lama semakin kentara hingga menyebabkan Dewandaru menghentikan gerakannya dan menoleh ke sekitar dengan rasa ingin tahu.

Para prajurit dan dayang yang sedang menggunjing dan menertawakannya sontak terdiam dan kembali dengan aktivitasnya masing-masing. Dewandaru mendengkus, kemudian melanjutkan lagi gerakan pemanasan dengan lebih bersemangat. Kali ini, Dewandaru menggerakkan kedua tangannya ke udara tinggi-tinggi dengan delapan hitungan. Anehnya suara bisik-bisik dan kikikan kembali terdengar.

Dengan gerakan cepat, Dewandaru menoleh pada sekumpulan prajurit dan para dayang yang tertangkap basah tengah menggunjing dan menertawakannya. "Heh, kalian menertawakan apa?" Dewandaru memelototkan matanya untuk menakut-nakuti mereka.

Para prajurit dan dayang itu refleks menjatuhkan lutut mereka sembari menangkupkan kedua lengan di depan dada, ketakutan. "Ampuni kami, Gusti!" Wajah para abdi wisma itu terlihat kalut dan entah mengapa hal itu justru membuat salah satu sudut bibir Dewandaru tertarik ke atas.

"Untungnya aku sedang senang hari ini, jadi aku tidak akan mempermasalahkan apa yang kalian lakukan padaku," celotehnya sembari berlalu begitu saja meninggalkan para para abdi wisma yang sedang berlutut.

Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya yang bernaung di bawah bayang-bayang pepohonan. Dewandaru melanjutkan langkah menuju gerbang wisma.

Akan tetapi, sebelum mencapai paduraksa, Dewandaru harus melewati pendopo terlebih dahulu yang di luar sepengetahuannya menjadi tempat bersemayamnya Manggala siang itu. Bahkan dari kejauhan, tatapan Manggala begitu menyengat seumpama sinar matahari yang sedang bertakhta di langit. Hati Dewandaru terasa bagaikan disengat. Dewandaru segera saja mengalihkan pandang pada jalanan yang ia pijak menghindari momen saling bertatapan. Beruntung, Manggala sepertinya tak terlalu mengindahkan gelagatnya, terlebih ia memang sedang berbicara dengan seseorang saat itu.

"Dewandaru! Langkahmu cepat sekali. Tidak seperti seseorang yang baru pulih."

Dewandaru menoleh dan mendapati Bandung Bondowoso yang berlari di belakangnya. Serta-merta pemuda itu melambatkan langkah. Ia nyaris saja melupakan sahabat Wirahandaka yang merupakan kunci kebebasannya. "Bisakah kau membawaku keluar dari tempat ini?"

Bandung Bondowoso yang akhirnya dapat menyejajarkan langkah sontak menaikkan alis. "Kau memerintah seorang Pangeran sepertiku?" Namun, senyum geli kemudian terkembang pada bibirnya.

Dewandaru mendengkus sembari memijat satu pelipisnya. "Aku bahkan tidak dapat mengingatmu, jika kau tak menyebutkan namamu di hutan tempo hari."

"Benar. Kau tidak hanya melupakanku, tetapi juga melupakan tata krama bagaimana seharusnya berhadapan denganku." Bandung Bondowoso terkekeh.

Dewandaru mengernyit bingung. "Aku, apa? Aku tidak mengerti. Apa maksudmu?"

Mereka telah melewati paduraksa dan memberi salam sekilas kepada para penjaga saat langkah Bandung Bondowoso mendadak berhenti. Pemuda itu menatap Dewandaru dalam-dalam. "Kau sangat berbeda, Wirahandaka dan kau tidak mengingatku. Meski demikian, aku lebih senang kau bersikap dan memperlakukanku seperti ini."

"Eh, aku tidak mengerti," sahut Dewandaru dengan wajah bingung.

Namun, Bandung Bondowoso hanya terkekeh pelan kemudian mengambil tali kekang kuda dari tangan seorang  pekatik. "Kau sudah bisa menunggang kuda?" tanya sang pangeran mengalihkan pembicaraan.

Dewandaru refleks menggeleng, tetapi sedetik kemudian ia menyadari kesalahannya. "Tubuhku masih sakit," kilahnya sembari menampilkan ekspresi kesakitan yang dibuat-buat.

"Aku mengerti," ucap Bandung Bondowoso sembari memberi kode pada si petakik agar membawa kembali satu kuda lainnya ke istal. Setelah membungkuk hormat kepada sang pangeran, petakik itu lantas menyeret kuda lainnya kembali melewati paduraksa.

"Jadi, kita mau ke mana?" tanya Dewandaru setelah menaiki punggung kuda dan duduk di belakang belakang Bandung Bondowoso dengan canggung.

"Hari ini adalah hari pasaran Pwan, kebetulan aku libur latihan, jadi aku akan mengajakmu bersenang-senang," sahutnya antusias. Kuda hitam pun lantas dipacu oleh Bandung Bondowoso.

Derap langkahnya menggema pada hening padang ilalang di luar gerbang wisma kepatihan. Jantung Dewandaru pun berpacu kencang. Kecanggungannya seketika menguap berganti antusiasme yang meletup-letup. Meski ini bukanlah dunia seharusnya ia berada, tetapi kata 'bersenang-senang' memberikan efek kegirangan tersendiri bagi Dewandaru.

***

Bandung Bondowoso memacu kudanya terus melaju melintasi Padang ilalang yang terasa sangat jauh dan lama. Dewandaru nyaris mati kebosanan akibat pemandangan monoton yang tersaji di hadapan. Namun, perlahan-lahan padang ilalang itu berganti menjadi deretan pepohonan hijau yang tinggi menjulang. Suasana pun menjadi lebih teduh dan menyegarkan. Semakin lama jarak pepohonan semakin rapat dan pemandangan di sekitar menjadi lebih hijau.

Mereka akhirnya tiba pada sebuah gerbang kayu yang terletak di lebah sungai yang subur. Gerbang kayu itu adalah penanda keberadaan sebuah pasar. Berdasarkan siklus hari pasaran yang berlaku di Medang, hari itu merupakan hari bagi pasar Pwan.

Bandung Bondowoso menghentikan laju kudanya saat mereka tiba di depan sebuah bangunan kayu yang cukup besar, sebelum memasuki area lapak para pedagang. Bandung menitipkan kudanya di sana, lalu mengajak Dewandaru mengganti pakaian.

Bandung Bondowoso mengatakan jika yang mereka lakukan adalah sebuah misi penyamaran. Tak boleh ada yang mengenali jika mereka sebagai pangeran dari Kerajaan Pengging dan Dewandaru adalah putra salah satu Patih sekaligus penguasa Wanua.

Setelah l mengganti pakaian mereka dengan pakaian rakyat jelata dan meninggalkan atribut berharga di rumah kerabat Bandung Bondowoso, kedua pemuda itu lantas melangkah gontai memasuki area pasar.

"Wah!" Dewandaru berdecak begitu mereka melewati berderet-deret kios kayu yang saling berhadap-hadapan di sepanjang jalan pasar. Hari pasaran Pwan tidak seramai hari pasaran Kaliwuan karena pada hari itu orang-orang masih sibuk bekerja  di sawah atau kebun mereka.

"Kau juga melupakan pasar ini, ya?" komentar Bandung Bondowoso sembari tersenyum iba.

Dewandaru merasa tertohok, tetapi dia memilih untuk tetap bungkam guna menghindari keanehan respons Wirahandaka.   Bagaimanapun, ia telah memutuskan untuk berpura-pura menjadi pemuda bangsawan itu sembari mencari jalan kembali ke dunianya. Satu-satunya tanggapan yang dapat ia berikan adalah tertawa hambar.

Kios-kios kayu sederhana terhampar sepanjang jalan utama. Sebagian menggunakan meja untuk memamerkan dagangannya, sebagian lagi menyusun dagangan di atas hamparan tikar pandan. Barang yang diperdagangkan pun beraneka macam; mulai dari makanan, minuman, perabot, sandang, hingga aksesoris untuk perempuan. Di beberapa sudut pasar bahkan terdapat kandang hewan-hewan ternak seperti ayam, kambing dan domba untuk dijual. Meski jauh lebih sederhana, pasar di Medang itu sedikit banyak mengingatkan Dewandaru dengan pasar tradisional yang jarang ia kunjungi di dunianya.

"Kau ingin membeli sesuatu?" Bandung Bondowoso membuyarkan lamunannya.

"Aku tidak punya uang," sahut Dewandaru refleks.

"Uang?"

Sedetik kemudian, Dewandaru menyadari kesalahannya. Untuk mengalihkan keheranan Bandung Bondowoso, ia lantas menunjuk asal sebuah jepit rambut wanita dengan batu berwarna merah yang berada di atas meja dagangan terdekat dengan posisinya. "I-itu berapa harganya?" tanyanya gelagapan.

Bandung Bondowoso melongok ke arah telunjuk Dewandaru. Beberapa saat kemudian pemuda itu lantas terbahak. "Kau ingin memberikannya kepada seorang gadis? Sejak kapan kau mulai menyukai para gadis? Bukankah kau selalu sibuk dengan perjudian? Tetapi aku sangat bersyukur jika seandainya kau telah menemu---

"Itu untuk Sureswari," potong Dewandaru cepat. Asumsi Bandung Bondowoso benar-benar membuatnya nyaris tenang.

Jawabannya itu justru menimbulkan kernyit yang semakin dalam di antara kedua alis Bandung Bondowoso. "Bukankah Sureswari lebih menyukai bunga segar dibandingkan dengan jepit rambut seperti itu?" gumamnya dengan tatapan menerawang.

Dewandaru memukul pelipisnya pelan. Lagi-lagi ia melakukan kesalahan. Akan tetapi, ia tak dapat lagi menemukan alasan yang tepat untuk memuaskan keheranan Bandung Bondowoso. "Kau bisa membelikannya tidak?" decaknya berpura-pura terlihat kesal.

Bandung Bondowoso mengembuskan napas panjang, kemudian merogoh sesuatu dari balik sabuk yang melingkari pinggangnya. "Baik, aku akan membelinya," tukasnya. "Kisanak, berapa harga jepit rambut dengan permata berwarna merah ini?" Bandung Bondowoso bertanya pada pemilik lapak.

Lelaki kurus bercelana kain lusuh dengan ikat kepala asal yang melingkari keningnya itu tersenyum lebar. "Untuk Tuanku yang gagah, harganya 5 masa saja," sahutnya.

"Tidak bisakah aku mendapatkannya dengan harga 4 masa saja?" Bandung Bondowoso menawar.

Dalam hati Dewandaru tersenyum kecut. Menurutnya, tidak seharusnya seorang pangeran menawar harga jual yang ditawarkan para pedagang. Namun, sekelebat pikiran lain juga menyambangi benaknya, barangkali Bandung Bondowoso sedang berusaha menjiwai perannya sebagai rakyat jelata.

Seringai di wajah si pedagang menyurut. "Tidak bisa, Tuanku. Harga ini adalah harga paling murah yang dapat saya tawarkan. Saya sama sekali tidak mendapat untung," tuturnya dengan ekspresi yang dibuat-buat.

"Baiklah," sahut Bandung Bondowoso seraya mengeluarkan beberapa keping perak dari dalam kantung kulit di genggaman dan mengulurkannya pada si pedagang. "Tolong bungkuskan jepit rambut itu dan berikan pada Tuan Muda ini."

"Terima kasih, Tuan." Dengan gerakan cepat si pedagang mengemas barang yang diminta Bandung Bondowoso, mengingatnya dengan sebuah kain halus menyerupai pita. Kemudian, menyerahkannya kepada Dewandaru.

Dewandaru mengangguk kecil masih dengan ketakjuban terhadap segala sesuatu yang dilihatnya di pasar. Ia juga tak menyadari jika Bandung Bondowoso telah mendahuluinya beberapa langkah. Tepat saat Dewandaru bendak berbalik, seseorang berjubah abu-abu menubruk tubuhnya dari arah belakang hingga membuatnya terjatuh dan jepit rambut di dalam genggamannya terlempar entah ke mana.

"Sial!" Dewandaru mendesis.

Sosok berjubah dan bertudung itu menoleh sekilas kepadanya. Sepasang mata jernih nan besar yang sangat Dewandaru ingat menatapnya dengan keterkejutan yang sama, sebelum akhirnya menghilang di balik keramaian pasar.

"Hei, tunggu! Kau mau ke mana?!"








Pontianak, 06 November 2020, pukul 12:47 WIB. Dipublikasikan pada 10 November 2020 pukul 22:53 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top