4
Dewandaru hanya bisa pasrah, tertunduk dengan wajah lesi, saat Bandung Bondowoso menarik kuda yang ia tunggangi keluar dari hutan belantara. Perjalanan menerobos rimba tak lagi menjadi hal yang paling menakutkan baginya saat itu. Membayangkan akan dibawa ke suatu tempat asing di Pengging oleh seorang Bandung Bondowoso yang mengaku sebagai sahabat, rasanya jauh lebih mengerikan. Namun, Dewandaru hanya bisa pasrah, seperti hewan ternak yang tengah digiring menuju rumah jagal. Dalam hal ini, pemuda itu memang belum bisa melakukan apa-apa.
Entah berapa lama mereka menunggang kuda, Dewandaru tak mengingatnya. Yang jelas, langit di atas kepalanya menggelap dan matahari telah tergelincir turun saat rombongan Bandung Bondowoso melewati paduraksa, sebuah gerbang batu dengan atap penutup.
Dewandaru mendongak takjub saat melewati gerbang yang menaungi kepalanya. Kekaguman itu kembali bertambah-tambah saat pandangannya menangkap sederetan bangunan keraton beratap wuwungan dengan arsitektur khas Jawa berdiri kokoh di balik paduraksa. Para prajurit bertombak serta dayang-dayang dengan kemban jarik hilir mudik di halaman keraton, membuat Dewandaru merasa dirinya seolah-olah sedang berada dalam film-film kolosal Indonesia jaman dulu yang pernah tanpa sengaja ia tonton.
Kuda-kuda yang ditumpangi rombangan Bandung Bondowoso berhenti tepat di depan sebuah pendopo yang cukup luas di bagian depan keraton. Pemuda gagah bertubuh kekar dengan kulit kecokelatan itu melompat turun dari kudanya terlebih dahulu menyongsong beberapa orang berwajah cemas yang menanti di depan pendopo.
Para pekatik segera menyambut rombongan itu untuk kemudian membawa kuda-kuda ke istal. Dewandaru mau tidak mau harus turun dengan wajah ditekuk, tak berani menatap wajah-wajah asing yang menyorotnya khawatir.
"Gusti Wirahandaka, kamu ke mana saja, Le? Ibunda mengkhawatirkanmu!" Seorang wanita paruh baya berkain jarit berlari melintasi pendopo kemudian menghambur memeluk tubuh Dewandaru begitu keras sambil terisak.
Wirahandaka? Siapa Wirahandaka?
Tubuh Dewandaru menegang kaku di atas pijakan. Rahangnya mengeras dan tampangnya seperti orang kebingungan. Saat kedua lengannya berhasil bergerak, pemuda itu serta-merta mencoba membebaskan diri dari rengkuhan. Akan tetapi, perempuan paruh baya itu tak menyerah untuk tetap merangkulnya.
"Hei, Wirahandaka, mengapa reaksimu seperti itu terhadap Ibundamu sendiri?" Bandung Bondowoso menegurnya dengan raut tak senang.
"Ibunda?" Dewandaru semakin tidak mengerti. Perempuan itu jelas-jelas bukan ibunya, tetapi semua orang seolah menganggap demikian.
Dengan gerakan panik, Dewandaru lantas mendorong perempuan itu hingga tubuhnya terhuyung, kemudian melangkah mundur. Ia menggeleng. "Siapa kalian? Aku sama sekali tidak mengenal kalian!"
"Wirahandaka, jaga sopan santunmu!" Bandung Bondowoso menggeram. Dengan gerakan cepat ia menahan tubuh perempuan paruh baya yang terhuyung ini.
"Apa yang terjadi padamu, Le? Ini Ibundamu, Le. Kamu tidak ingat?" Tangis perempuan paruh baya itu semakin menjadi-jadi. Selendang sutera tipis yang menyilang di pundaknya ia jadikan pengusap air mata.
Demi melihat reaksi kedua orang asing itu, pelipis Dewandaru mendadak berdenyut nyeri. Pemuda itu lagi-lagi melangkah mundur sembari memijat pelipisnya. Dewandaru merasa muak dengan drama yang berada di hadapannya. "Apa-apaan ini! Aku benar-benar tidak mengenal kalian!"
Tubuh Dewandaru yang terus bergerak mundur hingga mendadak menabrak seseorang yang berada di belakangnya. Ia refleks berbalik dan mendapati sesosok lelaki bertubuh besar sedang berdiri berkacak pinggang. Lelaki itu melotot, kumis tebal hitamnya yang melintang di bawah hidung bergerak-gerak seiring dengan tarikan dan embusan napas pada lubang hidungnya. Rambut panjangnya yang sebagian berkibar, sementara sebagian lainnya disanggul bulat bertengger di atas kepala, menambah kengerian penampilannya.
"Ssi .... siapa kau?!" Dewandaru memekik gelagapan. Sepasang tungkainya yang melemah berjalan mundur, kembali ke arah si perempuan paruh baya hingga tersandung sebongkah batu. Pemuda itu jatuh terduduk dengan bokongnya menghantam tanah berbatu terlebih dahulu.
"Kamu tidak apa-apa, Le?" Perempuan paruh baya yang menangis tersedu segera menghampirinya.
"Dasar bocah tak tahu diuntung! Kamu melupakan Ramandamu sendiri, hah?!" Pria dengan kumis tebal melintang itu merangsek maju ke arahnya. Barangkali hendak mengganjar Dewandaru, tetapi Bandung Bondowoso dan beberapa orang prajurit bergerak lebih sigap dan menahan kedua lengannya.
"Kang Mas, jangan terlalu keras pada Wirahandaka. Kasihani dia, Kang Mas. Dia anak kita satu-satunya." Perempuan paruh baya yang berlutut di samping Dewandaru memeluknya dengan tubuh gemetar. Perilaku perempuan itu sedikit membuat hati Dewandaru menghangat sehingga lagi memberontak seperti sebelumnya. Meski Dewandaru tidak tahu siapa Wirahandaka dan apa yang telah ia lakukan hingga diperlakukan seperti itu, kasih sayang adalah kekuatan besar yang mampu menembus apa pun.
"Di Ajeng, kau terlalu memanjakannya. Lihat apa yang telah dilakukannya di Poh Pitu hari ini. Dia berjudi, kemudian karena kekalahannya dia mencuri ayam milik Rama Waluyo. Setelah segenap kekacauan yang diperbuatnya, anak tak tahu diri ini malah melarikan diri ke hutan dan sekarang dia pulang dengan pura-pura hilang akal. Aku malu Di Ajeng. Aku malu!" Lelaki berkumis tebal itu memukul dadanya frustrasi hingga Bandung Bondowoso kembali menahan kedua lengannya.
Saat lelaki yang merupakan penguasa beberapa Wanua di Pengging itu mulai tenang, Dewandaru malah kembali menantang pandangannya.
"Aku tidak melakukannya! Aku bukan Wirahandaka!" teriaknya.
"Apa katamu?!" Raka i Manggala muntab.
"Tenang, Paman Patih ...." Bandung Bondowoso mencengkeram pergelangan tangan sang paman agar lelaki itu tak menyerang Dewandaru.
"Hampura Gusti, hamba mohon jangan terlalu membelanya. Dia harus belajar menjadi seorang pemuda yang bertanggung jawab. Berhenti bermain-main dan belajar dengan serius seperti Gusti Pangeran." Manggala mendengkus kesal.
Bandung Bondowoso yang setia berdiri di sisinya turut mengembuskan napas panjang. "Tenang, Paman. Aku akan bertanggung jawab atas Wirahandaka dan aku berjanji kejadian seperti tadi tidak akan terulang lagi."
Dewandaru berdecih. Sesungguhnya ia teramat muak dengan drama yang mainkan oleh orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal. Orang-orang itu menganggapnya gila, padahal mereka tidak saling mengenal. Pemuda itu lantas bangkit sembari menepis perempuan paruh baya yang mencoba membantunya berdiri. Langkahnya tertatih melewati lelaki bertubuh besar dan Bandung Bondowoso menuju paduraksa.
"Wirahandaka, berhenti! Kau pikir kau mau ke mana?!" Suara menggelegar Manggala sontak menahan langkahnya melalui kengerian tak kasat mata.
Dewandaru menoleh dengan gerakan cepat dan tiba-tiba hingga membuat orang-orang itu terkesiap sebagai respon. Wajahnya memerah diliputi amarah. Satu per satu ditatapnya orang-orang asing itu dengan tajam. "Aku bukan Wirahandaka! Harus berapa kali kuberitahu!" teriaknya berang.
Bandung Bondowoso yang berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya tiba-tiba bergerak cepat ke arahnya. Tanpa sempat, Dewandaru duga, pemuda kekar itu mengunci kedua lengannya dengan erat, lalu menotok peredaran darahnya hingga tubuh pemuda itu ambruk tak sadarkan diri.
***
Bau kemenyan menusuk penghidu Dewandaru hingga membuat empunya penciuman terbatuk. Ia bangun dari ketidaksadarannya dan membuka mata dengan tergesa-gesa. Pemuda itu terduduk di atas pembaringan, sementara asap tipis menyaput pandangan di sekitarnya.
Di balik tirai asap itu, Dewandaru mendapati pemandangan sebuah bilik temaram yang sepenuhnya terbuat dari kayu. Sementara, ia sendiri terduduk di atas sebuah katil kecil berangka besi dengan kelambu yang menjuntai di tiga penjuru, satu penjuru tersibak tinggi sebagai bingkainya mengintip ke seluruh ruangan. Tak ada perabot lain selain sebuah meja mengilap yang dipoles dengan minyak kemiri dan sebuah lampu minyak dari perunggu yang bertengger di atasnya. Pada sebuah sudut ruangan yang gelap, sebuah wadah perunggu terlihat samar-samad mengepulkan asap putih samar. Dewandaru berasumsi, dari sanalah muasal bau kemenyan yang menyengat itu.
"Kakang, jangan bergerak dulu ..." sebuah suara lemah lembut dari sesosok gadis ayu yang luput dari pengamatannya mendadak menyergap pendengaran. Suara lembut itu serta-merta membawa ketenangan bagi jiwa gelisah Dewandaru. Pemuda itu lantas menoleh pada sisi lain meja di mana gadis itu berada dan mengurungkan niatnya untuk turun dari katil.
Sepasang netra cokelatnya lantas berserobok dengan sepasang manik kelam milik gadis yang kini beranjak dari kursi kayu di samping meja. Gadis itu meraih lengannya membantunya berbaring kembali di atas tilam. Seketika dada Dewandaru berdesir saat melihat wajah ayu itu dari jarak dekat, terlebih ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit lembut gadis itu. Jiwa playboy yang coba disembunyikannya bergejolak.
"Aku Sureswari, Adindamu, Kakang. Apakah Kakang juga melupakan aku?" Manik hitam yang terbingkai indah itu menyorot Dewandaru dengan tatapan sedih. Setelah membantunya rebah di atas tilam, gadis itu lantas kembali duduk di kursinya. Suara isak tangis samarnya mulai terdengar memenuhi bilik.
Dewandaru mengembuskan napas panjang. Ia paling tidak suka melihat perempuan menangis di hadapannya. Hal itu selalu mengingatkan Dewandaru kepada ibunya yang senantiasa tersiksa. "Aku minta maaf, ya. Aku sama sekali tidak bisa mengingat kalian. Aku ... Semua ini terlalu sulit untuk kuterima," ungkapnya.
Tangis lirih itu akhirnya terjeda. Sureswari mengangkat wajah, menatap kakangnya. "Jadi rupanya benar yang diungkapkan oleh Ki Bajang, jika Kakang hilang akal karena dikerjai dedemit hutan," gumamnya. Suara bergetarnya mengusik Dewandaru. Sedetik kemudian Sureswari kembali mengisak. "Duh, Sang Hyang Dewata Tunggal, cobaan apa yang Engkau berikan kepada keluarga kami!"
"Tu-tunggu dulu. Aku tidak hilang akal, Sureswari. Aku masih waras. Dedemit apa? Aku tidak pernah bertemu dedemit, astaga!"
"Kakang bahkan berbicara seperti orang lain." Sureswari kembali berucap di sela-sela Isak tangisnya.
Dewandaru mengucek rambut panjangnya yang terurai frustrasi. Mendadak ia ingat jika tubuhnya mungkin saja memang bukan miliknya. Pemuda itu bangkit dari tilamnya cepat, turun dari katil untuk kemudian mendekati Sureswari yang masih menangis di dalam telapak tangannya.
"Kamu punya cermin?"
Sureswari sontak mengangkat wajah. Dahi mulusnya mengernyit bingung."Untuk apa, Kakang?"
"Aku ingin melihat wajahku. Cepat ambilkan!" tutur Dewandaru gusar. Tanpa ia sadari suaranya meninggi.
Dengan gelagapan, Sureswari mengangguk, lalu beranjak dari duduknya dan menghambur keluar dari bilik. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan sebuah cermin berukir dengan pegangan yang terbuat dari perunggu. Gadis itu mengulurkan cerminnya pada Dewandaru yang langsung menyambut dengan kasar, setengah merampas gagang cermin itu.
Permukaan bening cermin antik itu lantas ia bawa ke depan wajahnya. Netra cokelatnya membulat mendapati sosok yang sedikit berbeda, meski raut wajahnya tetap sama. Kulitnya jauh lebih halus, lebih terawat. Rambut hitam panjangnya pun bersih dan hitam berkilau. Tahukah ia jika rupa yang berada di dalam pantulan cermin itu berasal dari kalangan bangsawan. Namun, pamandangan itu sama sekali tak mengubah tekadnya untuk kabur dan mencari jalan keluar.
Dewandaru mengembalikan cermin itu dengan tampang lesu. "Aku ingin mencari udara segar." Pemuda itu lantas melangkah menuju ambang pintu bilik yang setengah terbuka.
"Kakang dilarang keluar bilik." Sureswari serta-merta menarik salah satu pergelangan tangan Dewandaru.
"Aku hanya ingin menghirup udara segar sebentar saja."
"Aku mohon, Kakang. Turuti aku sekali ini saja, atau ...."
Dewandaru berbalik menatap ketakutan yang membayang pada netra Sureswari. "Atau apa?" tanyanya penuh selidik.
"Atau Ramanda akan murka ...."
Dewandaru mendengkus. Dengan lembut ia melepaskan cengkeraman jari-jemari Sureswari pada pergelangan tangannya, kemudian melewati gadis itu begitu saja. Sureswari terus memanggil namanya sembari mengekori langkah pemuda itu susah payah karena kain panjang yang membalut tubuhnya.
Di depan bilik, beberapa prajurit dan dayang mencoba menghalangi gerakan Dewandaru dengan ragu-ragu. Namun, tentu saja tak satu pun yang berhasil menghentikan langkahnya. Lorong wisma kepatihan telah sepenuhnya sepi kecuali beberapa prajurit dan dayang yang masih berjaga. Lampu minyak menggantung berderet-deret memberi penerangan pada langkah-langkah besar dan tergesanya.
"Minggir!" Dewandaru menghardik dua orang prajurit bertombak yang berjaga di ambang pintu keluar menuju halaman luas di belakang pendopo. Meski ragu, kedua prajurit itu akhirnya membiarkan Dewandaru lewat seraya menundukkan kepala.
Pemuda itu tersenyum lebar begitu mencapai halaman yang dinaungi berderet-deret pepohonan Tanjung dan Bramastana yang tumbuh berselang-seling. Udara dingin sontak menggigit kulit telanjangnya hingga pemuda itu nyaris mengumpat. Namun, Dewandaru mengabaikan itu. Peduli setan dengan dingin!
Tak ingin membuang waktu lagi, pemuda itu lantas berlari secepat yang ia bisa. Langit gelap yang menaungi kepalanya tak sedikit pun menimbulkan gentar di dalam dada bidangnya.
Akan tetapi, pelarian itu agaknya tak akan berakhir mulus. Di penghujung jalan sebelum mencapai paduraksa, beberapa prajurit menghadang dengan senjata terhunus yang siap diayunkan padanya jika pemuda itu melakukan perlawanan. Dari balik deretan para prajurit, Raka i Manggala muncul dengan wajah masam dan sorot mata berapi-api. Tatapan itu berkobar, menyorot Dewandaru dengan kemarahan. Sisa-sisa keberanian pemuda itu perlahan dilalap api kemarahan sang penguasa beberapa warua.
"MAU KE MANA KAU WIRAHANDAKA!"
Suara parau yang mengguncang keheningan malam itu sontak membuat langkah Dewandaru terhenti. Tubuhnya gemetar hebat, tetapi sekuat tenaga ia tahan.
"Prajurit, beri dia pelajaran!" Manggala menyeru disambut kuda-kuda serentak para prajurit.
"Sendika Dawuh, Gusti!
Dewandaru menegang di tempat. Sepasang tungkainya seolah terpaku dan tertanam pada tanah merah di bawahnya. Pelipisnya perlahan-lahan dibanjiri keringat dingin. Apakah malam ini akan menjadi malam terakhir untuknya?
Pontianak, 04 November 2020 pukul 13.58 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top