2
Matahari telah sedikit tergelincir dari singgasananya dari puncak langit, saat Dewandaru dan Bayu tiba di halaman parkir kendaraan pribadi lokasi wisata Candi Prambanan. Mereka bergegas masuk melewati pintu gerbang utama yang berada lurus di hadapan komplek monumen candi utama. Sinar matahari yang menyengat membuat Dewandaru refleks mengernyitkan keningnya. Seketika dia menyesal karena telah lupa membawa serta kacamata rayban hitam andalannya. Pelarian dari Paramitha membuatnya melupakan banyak hal.
Dewandaru berjalan mendahului Bagus yang masih sibuk berkutat dengan telepon genggam. Kemungkinan besar pemuda gondrong itu sedang mengontak Billy. Pandangan Dewandaru menyisir pelataran candi yang lengang. Seperti hari-hari kerja pada umumnya, hari itu Candi Prambanan terlihat sepi. Dalam hati, pemuda itu bersyukur atas suasana yang mendukung dan berharap jika ia dapat memenangkan taruhan dengan Bagus dan Billy.
Dewandaru menyugar rambutnya sekilas, sebelum menyeka keringan yang perlahan bergulir di salah satu pelipisnya. Siluet candi dewa Siwa yang letaknya berada di tengah-tengah kompleks berdiri tegak di hadapannya seolah memperingatkan dan menentang niat buruk yang sempat terlintas dalam benaknya. Dewandaru lantas segera membuang pandangan ke sembarang arah hingga sepasang netra cokelatnya menumbuk pada sesosok gadis cantik di kejauhan yang tengah berbicara dengan seorang turis laki-laki pirang bertubuh bongsor.
Nirmala Pramesti.
Dewandaru menemukan gadis itu lebih dulu dari pada Bagus. Pemuda itu lantas mengerling sekilas pada Bagus yang masih sibuk melakukan panggilan melalui ponsel. Segera saja dia melangkah mendekati target taruhan mereka dengan dada berdesir, si cantik Nirmala.
Nirmala masih sama seperti yang ia ingat beberapa bulan lalu. Cantik. Mata bundar, hidung bangir dan bibir merah ranumnya yang nyaris dikecup Bagus juga masih sama. Terlebih, gadis itu tidak pernah mengenakan riasan berlebihan. Rambut hitam panjang yang tergerai hingga sebatas punggung berkilau diterpa sinar matahari, terlihat kontras dengan kulit bening benderang milik gadis itu. Hasrat Dewandaru seketika terlecut. Meski, beberapa bulan telah terlewati, ternyata ia masih menginginkan gadis itu seperti sebelumnya.
Dewandaru melangkah pelan, penuh percaya diri. Dagunya sedikit terangkat saat satu tangannya menyugar rambut. Tatapan mata seumpama pemburu tak lepas sedikit pun dari wajah cantik dengan bibir ranum Nirmala yang tengah tersenyum ramah pada turis yang sedang dipandunya. Saat jaraknya dan gadis itu hanya tinggal beberapa langkah lagi, turis paruh baya yang sedang berbicara dengan gadis itu kebetulan beranjak pergi. Keberuntungan agaknya sedang berpihak pada Dewandaru.
"Nirmala!" sapanya lembut setelah berdeham beberapa kali. Senyumnya merekah dengan cara yang ia tahu persis akan dapat membuat gadis mana pun bertekuk lutut.
Empunya nama sontak menoleh padanya dengan ekspresi terkejut yang kentara. Namun, sedetik kemudian, wajah rupawan itu menyunggingkan seulas senyum tipis. "Mas Dewa, kebetulan sekali. Sedang apa di sini?"
Dewandaru merasa mendapatkan angin segar. Dia mempercepat langkahnya hingga dapat menyejajari Nirmala. "Sedang mencari kamu ...."
Nirmala mencebik. "Mas Dewa belum berubah, ya, masih suka bercanda seperti dulu."
"Aku nggak pernah bercanda, sih, kalau sama kamu." Sekali lagi Dewandaru memamerkan senyuman miring yang membuat lubang kecil di pipinya merekah.
"Aku serius, Mas Dewa!" sergah Nirmala seraya memutar bola matanya.
Dewandaru menghentikan langkah, menghadap ke samping ke arah Nirmala yang juga ikut berhenti. Netra cokelatnya mengunci netra hitam milik Nirmala hingga membuat gadis itu salah tingkah.
"Aku serius mencarimu karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan," tuturnya pelan. Dewandaru menggigit bibirnya sekilas dan serta-merta raut wajahnya berubah serius. Aktingnya baru saja dimulai.
Sepasang alis tebal Nirmala mengernyit. "Bilang aja di sini sekarang, Mas."
Dewandaru mengedarkan pandangan ke sekitar, menilai situasi. Di tengah-tengah kelengangan suasana, tak satu pun yang memperhatikan mereka, termasuk Bagus. Pengunjung mulai berdatangan dari arah gerbang timur. Dari sudut matanya, pemuda itu dapat melihat Bagus yang sedang bergerak di antara keramaian, masih dengan telepon genggam yang menempel di telinga.
"Bisa kita bicara di tempat yang agak teduh?" tanya Dewandaru seraya membuat gerakan menyeka keringat di pelipis. Dia bahkan mengibas-ngibaskan sebelah telapak tangannya di depan wajah agar terlihat lebih meyakinkan.
Nirmala tersenyum. Bibir ranumnya merekah dan semakin merah di bawah terik matahari yang membakar kulit. Topinya bahkan tak mampu menyembunyikan bibir yang selalu membuat Dewandaru terpesona itu. "Mas Dewa kepanasan, ya? Lagian kenapa datang ke Prambanan jam segini, Mas," ucap Nirmala diiringi tawa renyah.
"Iya, nih. Demi kamu, aku rela panas-panasan begini."
Nirmala semakin tergelak. "Gayamu, Mas! Ayo, kita ke pelataran candi. Di sana sedikit teduh."
Dewandaru mengangguk, kemudian kembali melanjutkan langkah. Nirmala yang tertinggal beberapa langkah segera mengikutinya. Terik matahari menciptakan sepasang bayangan hitam yang saling berkejaran pada jalanan aspal di bawah mereka. Untuk beberapa saat lamanya mereka terdiam, sementara pemuda itu terus mencuri pandang pada gadis rupawan di sebelahnya. Dewandaru tengah menimbang muslihat apa yang dia gunakan untuk membawa Nirmala menjauhi keramaian.
"Di mana letak Arca Durga?" tanya Dewandaru sejurus kemudian.
Nirmala mengangkat wajah, kening mulusnya kembali mengerut. "Mas Dewa belum pernah ke sini, ya?"
Dewandaru menggeleng pelan. Sementara di belakang punggungnya, jari tengah dan telunjuknya saling bertaut. Dia sedang berbohong."Bagaimana kalau kita ke sana? Bukankah Arca Durga itu sering dianggap Roro Jonggrang? Aku penasaran untuk melihat seperti apa arcanya."
"Benar, Kak," sahut Nirmala sembari mengangguk antusias. "Masyarakat setempat menganggapnya sebagai patung Roro Jonggrang karena merupakan satu-satunya arca perempuan di kompleks Candi Prambanan. Letaknya ada di dalam Candi Siwa, di sebelah Utara." Gadis itu menunjuk bangunan candi paling besar dan tinggi yang terletak di hadapan mereka.
Dewandaru mengangguk, mengikuti arah telunjuk Nirmala. Bangunan itu gagah menantang kedatangan mereka. Sekilas pemuda itu dapat merasakan sesuatu yang mengancam, memancar dari siluet candi yang gagah, seolah lagi-lagi dapat mencium niat buruknya. Namun, Dewandaru segera mengenyahkan pikiran bodoh itu. Mana ada hal semacam itu. Iia kembali membulatkan tekad, harus berhasil menikmati bibir ranum Nirmala dan memenangkan uang taruhan.
"Ayo, kita ke sana, Nirmala."
***
Nirmala terus menjelaskan tentang sejarah berdirinya Candi Prambanan beserta mitos Roro Jonggrang yang konon katanya menjadi kepercayaan masyarakat sekitar sepanjang perjalanan menyusuri pelataran Candi. Sementara, di sampingnya Dewandaru terlihat gelisah. Sesekali pemuda itu mencuri pandang pada Nirmala atau menoleh gusar ke kiri dan ke kanan. Dia sama sekali tak mendengarkan penjelasan gadis pemandu itu, tatapannya selalu fokus pada bibir ranum Nirmala dan siasat yang berkelindan di kepala untuk mendapatkannya.
Sengatan matahari mereda tatkala mereka telah berada sangat dekat dengan Candi Siwa. Bayang-bayang candi yang hitam besar menaungi keduanya. Nirmala telah menyelesaikan ceritanya seiring dengan langkah mereka yang akhirnya berhenti. Gadis itu mendongak menatap puncak candi yang anggun dari jarak sangat dekat.
Di sisinya, Dewandaru melakukan hal yang sama. Menengadah pada ketinggian candi yang menaungi mereka. Sekilas kekaguman menyusupinya, dia tak dapat menampik keindahan dan keperkasaan bangunan masa lampau yang berdiri pongah itu.
Candi Siwa terdiri dari tiga bagian yaitu dasar candi, tubuh candi dan atap candi. Pada bagian tubuh candi terdapat langkan berhias yang sering menjadi tempat berfoto paling laris di Prambanan. Keindahan itu ditambah lagi dengan ceruk-ceruk yang memenuhi dinding batu dengan arca-arca aneka rupa dan bentuk. Sungguh sebuah mahakarya yang tak pernah terbayangkan betapa berat proses penciptaannya di masa lampau.
Nirmala menggamit lengan Dewandaru beberapa saat kemudian. Kekaguman pemuda itu sirna dalam sekejap berganti denyar aneh yang mengalir ke sekujur tubuh seumpama lecutan listrik saat permukaan kulit Nirmala menggesek lembut kulitnya. Lamunannya terputus. Pemuda itu lantas mengalihkan pandang pada gadis cantik yang sedang tersenyum manis di sisinya.
"Mas Dewa, ayo kita masuk ke dalam," ajaknya riang.
Nirmala kembali melangkah. Tubuh semampai dan sepasang tungkai jenjangnya kini mengambil alih atensi Dewandaru. Pemuda itu mengekorinya dan sengaja berjalan berlama-lama untuk menikmati aroma manis samar yang tertinggal di belakang si gadis pemandu. Aroma yang mampu membuat jantung Dewandaru berdegup lebih kencang.
Nirmala kembali berceloteh, menjelaskan mengenai bagian dalam candi yang akan mereka masuki. Hanya beberapa hal yang dapat pemuda itu tangkap dari penjelasannya mengenai gerbang Timur Candi Siwa. Sisanya terdengar samar bagai embusan angin yang kala itu bertiup sepoi-sepoi. Namun, atensinya pada Nirmala teralihkan sepenuhnya saat mereka mulai menaiki langkan, lalu memasuki sebuah lerung besar yang berisi patung-patung penjaga gerbang Siwa dengan rupa yang tak dapat dikatakan enak dipandang. Nirmala menyebutkan nama mereka dengan suara lembutnya, Nadhisvara dan Mahakala. Entah mengapa, bulu kuduk Dewandaru mendadak meremang.
"Jadi sebenarnya dongeng Roro Jonggrang itu nggak benar, ya?" Dewandaru bertanya sekadar untuk memecah hening dan sebagai pengalihan rasa takut yang mulai mengusiknya.
Nirmala menoleh sekilas. "Meski enggak bisa dipastikan benar atau tidaknya dongeng tersebut, Prambanan sudah sangat lekat dengan sosok Roro Jonggrang, Mas."
Dewandaru mengangguk. Salah satu jarinya menyentuh ceruk yang kebetulan mereka lewati. "Aku jadi penasaran sama sosoknya. Pasti cantik banget kayak kamu," godanya. Nirmala hanya terkekeh geli sama sekali tak menanggapi ucapan tersebut. Sementara, mereka terus melangkah semakin dalam melewati sederetan arca.
Dewandaru tak patah semangat. Gadis baik-baik seperti Nirmala terkadang memang sedikit susah termakan rayuan. "Aku cuma nggak habis pikir aja, sih, kenapa Roro Jonggrang nggak mau sama Bandung Bondowoso. Dia kan pangeran dan sakti mandraguna lagi, kurang apa coba?" decak Dewandaru memancing percakapan.
Nirmala mengembuskan napas panjang. "Mas Dewa, sudah jelas banget karena Bandung Bondowoso-lah yang membunuh ayahnya. Gadis mana yang bisa menikahi pembunuh ayahnya sendiri? Nggak ada, Mas. Meskipun, memang aturannya mengharuskan Putri dari kerajaan yang telah dikalahkan menikah dengan Pangeran atau Raja yang mengalahkannya." Nada suara gadis itu refleks meninggi, seolah ada sumbu emosi yang tersulut.
Dalam hati Dewandaru ingin tertawa, tetapi berusaha keras menjaga air mukanya agar terlihat sedatar mungkin. Pertanyaannya berhasil memancing emosi Nirmala. Namun, sepertinya sudut bibir pemuda itu malah berkhianat.
"Mas Dewa kok malah ketawa!" sembur gadis itu sedikit merajuk. Semburat merah terbit pada wajah bening rupawannya.
Dewandaru lantas menjamah pipi mulusnya dengan gemas, memberikan cubitan lembut. Dengan gerakan refleks, Nirmala mengelak dan membuang pandangan canggung ke arah dinding candi. "Kamu semakin cantik kalau lagi marah begitu," kilahnya.
"Jangan macam-macam, ya, Mas, tempat ini wingit!" ucapnya ketus memberi peringatan. Gadis itu lantas mempercepat langkah, mendahului Dewandaru hingga berhenti pada salah satu ruangan dengan satu-satunya arca perempuan yang terpahat pada dinding batu. Itulah arca Durga.
Alih-alih merasa terintimidasi, Dewandaru malah tersenyum. Penolakan gadis itu semakin membuat hasratnya menggelegak tak terkendali. Keinginan untuk mendapatkan gadis itu kian besar.
Dewandaru menoleh sekilas ke belakang dan mendapati kelebat Bagus yang diam-diam mengekorinya. Dengan langkah tergesa, Dewandaru menyusul Nirmala. Permainan sebentar lagi akan dimulai.
"Ini Mas, arca Durga Mahishasuramardini yang seringkali dianggap Roro Jonggrang," katanya dengan nada formal. Tak ada sebaris senyum lagi yang terbentuk di bibirnya. Candaan dan godaan Dewandaru barusan rupanya telah melunturkan keakraban di antara mereka.
Dewandaru mengamati sekilas tanpa minat pada arca perempuan bertangan delapan di hadapannya. Dewi itu sedang berdiri sembari menginjak seekor binatang yang mirip kerbau di bawah telapak kakinya. Tidak ada hal yang dapat membuatnya takjub dari patung tersebut. Pemuda itu sebenarnya sama sekali tak berminat pada arca apa pun di Prambanan. Satu-satunya alasannya meminta Nirmala ke tempat itu adalah karena suasana sepi dan tertutup yang akan melancarkan siasatnya.
Nirmala masih terus menjelaskan tentang arca di hadapan mereka, sementara Dewandaru menggeser tubuhnya lebih dekat pada Nirmala. Gadis itu tampak tak menyadarinya hingga dia menemukan netra Dewandaru yang sedang menatapnya lekat dan sayu. "Mas, kenapa?" tanya si gadis pemandu bingung.
"Aku ingin mengatakan sesuatu di sini," ucap Dewandaru dengan nada menggantung.
Nirmala menghadapnya dengan gestur siap mendengarkan. "Katakan, Mas."
Setelah memastikan keadaan di sekitar sepi dan barangkali hanya Bagus yang bersembunyi dan mengintai mereka di suatu tempat di dalam Candi Siwa, Dewandaru lantas meraih telapak tangan gadis itu. Meski ragu, Nirmala membiarkan pemuda itu menggenggam tangannya. "Sebenarnya, sudah sejak lama Mas suka sama kamu, Nirmala," ucapnya dengan nada lirih yang bahkan terdengar dibuat-buat pada telinganya sendiri.
Nirmala membuka mulut. Mata besarnya membola.
Keterkejutan gadis itu dan situasi yang mendukung memberikan kesempatan bagi Dewandaru untuk melancarkan aksinya. Dalam gerakan cepat dan tak terduga, Dewandaru lantas mendekatkan wajahnya pada Nirmala. Sebelah tangannya mencengkeram belakang tengkuk Nirmala, berupaya mengunci pergerakan gadis itu.
Bibir Dewandaru lantas merenggut keranuman bibir gadis jelita itu cepat hingga membuat empunya terkejut bukan main. Gairah Dewandaru meletup-letup, timbul tenggelam di antara kemarahan dan perlawanan Nirmala.
Setelah beberapa detik pemberontakan Nirmala, tubuh Dewandaru akhirnya berhasil didorong keras menghantam ceruk-ceruk yang menganga pada dinding batu. Lekukan arca yang tajam menekan kulit pemuda itu hingga membuat Dewandaru meringis. Alih-alih marah, ia lantas tersenyum penuh kemenangan. Setidaknya, dia telah berhasil menggigit ranum yang menggoda itu, kemarahan Nirmala sungguh tidak berarti apa-apa.
"Kurang ajar kamu, Mas!" pekik Nirmala. Suaranya memantul pada langit-langit candi yang temaram. Matanya berair, berbagai emosi menguasai wajah rupawannya. Titik darah samar menjejak pada bibirnya sebagai bukti keranuman yang telah terenggut.
Seketika ruangan candi itu menggelap seolah ada awan hitam yang menaungi Prambanan. Cahaya yang semula menerobos dari ambang pintu mendadak sirna. Suasana mendadak hening. Hening yang terlampau ganjil. Waktu dan udara seakan berhenti berputar.
Dewandaru gelagapan, berusaha bangkit dan berdiri tegap di atas kedua tungkainya yang terasa goyah. Lantai batu yang ia pijak berderak dan bergetar hebat hingga sontak membuat tubuh pemuda itu kembali ambruk dalam posisi berlutut.
Garis-garis retakan menjalar samar di bawah lutut Dewandaru hingga mencapai kaki Nirmala yang masih bergeming di posisinya. Pemuda itu mendongak dan mendapati wajah Nirmala mengeras seumpama arca. Mata indahnya membelalak penuh kebencian. Wajahnya yang serupa pahatan itu menumbuknya dengan kemarahan yang berkobar.
"Nirmala, maaf---
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Detik itu juga Dewandaru menyesal telah melakukan kekurangajaran terhadap Nirmala. Gadis baik-baik yang seharusnya tak coba ia jangkau. Pemuda itu berusaha bangkit. Akan tetapi, guncangan serupa gempa itu menahan lututnya pada lantai batu.
"Dewandaru, kau harus diberi pelajaran!" desis Nirmala dengan suara melengking kasar yang sangat berbeda dengan suara gadis itu. Rambutnya berkibar saat angin kencang mendadak berembus membawa serta kepulan debu dan asap.
Dewandaru terbatuk dan pandangan di sekitarnya terselubung pusaran angin dan debu. Namun, siluet Nirmala tetap kokoh bagaikan arca, menatapnya tajam penuh dendam.
"Kau harus menerima karmamu, Dewandaru!"
Guncangan dari perut bumi semakin kentara. Dewandaru bahkan tak dapat mempertahankan lututnya lagi. Pemuda itu jatuh berguling tepat saat garis-garis retakan di bawah tubuhnya merekah cepat. Semakin lama semakin lebar. Tubuhnya yang berada di tengah-tengah rekahan lantai batu refleks jatuh ke dalamnya bersama bongkahan-bongkahan besar batu dan tanah. Kegelapan lantas menyambutnya setelah hujaman rasa sakit yang teramat sangat mendera tubuhnya. Karmanya telah tiba.
Pontianak, 02 November 2020 pukul 16.16 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top