18
Seorang bocah perempuan dengan kemban melilit tubuh sedang berlari kecil, langkah-langkahnya riang melintasi sebuah halaman yang dipenuhi pepohonan rindang. Sekuntum bunga Kamboja berwarna merah muda tersemat manis di salah satu cuping telinganya, sementara sekuntum lagi berdiam dalam genggaman yang disembunyikannya di balik tubuh. Gadis kecil itu berhenti di belakang sebatang pohon bugur seolah sedang bersembunyi sembari mengamati sesuatu.
Dari sisi lain halaman, di balik pohon bugur, angin berembus membawa serta suara teriakkan bocah yang samar-samar.
Gadis kecil dengan kembang tersemat di telinga lantas mengintip dari balik batang pohon yang berlumut itu. Raut wajahnya yang semula riang berangsur-angsur berubah sendu saat pandangannya melayang pada pemandangan di baliknya. Akan tetapi, kesenduan itu hanya berlangsung tak lebih dari sedetik, sebelum senyum semringah mengambang di bibir mungilnya. Dengan langkah berjingkat, gadis kecil itu keluar dari persembunyian, menghampiri dua bocah laki-laki yang sedang bergulat seraya meneriakkan umpatan-umpatan.
"Kakang Wirahandaka! Kakang Bandung!"
Suara cempreng si gadis kecil sontak menjeda pergulatan sengit di antara kedua bocah. Keduanya pun seketika membungkam mulut masing-masing agar tidak melontarkan makian. Kedua bocah laki-laki berpakaian acak-acakan dengan luka memar di wajah mereka serentak menoleh pada si gadi kecil.
"Sudah kakang bilang kamu tidak boleh kemari." Pemuda bertubuh kurus dengan kulit lebih terang merutuk sebal, meski tidak terlihat gurat kemarahan yang kentara pada wajahnya. Sebelah tangannya melepaskan cengkeraman yang menempel pada lengan pakaian bocah lelaki lainnya, seolah tak lagi berminat melanjutkan perkelahian.
Sementara, pemuda satunya, yang bertubuh bongsor dan berkulit gelap terkekeh pelan. Kedua tangannya sibuk merapikan kain serta pakaian yang dikenakannya, sedangkan sepasang matanya menatap lekat pada si gadis kecil. "Kakang Wirahandakamu itu kesal karena tidak bisa mengalahkanku," ledeknya jumawa.
Si bocah lelaki kurus mendengkus sebal seraya bangkit menghampiri gadis kecil yang merupakan adik kandungnya. "Ada apa, Cah Ayu?"
"Sudah waktunya makan siang, Kakang."
Wirahandaka kecil mengelus puncak kepala adik perempuannya dengan penuh kasih sembari mengangguk. Dia menarik sebelah lengan si gadis kecil yang terlihat enggan melangkah untuk menuntunnya pulang. Namun, adik perempuannya bergeming.
"Ada apa?"
Sureswari memandang satu titik di balik punggung Wirahandaka sehingga membuat anak laki-laki itu ikut menoleh ke belakang. Si gadis kecil ternyata tengah menatap Bandung lekat-lekat dengan pipi bersemu merah. Meski Wirahandaka terbilang masih belia, tetapi tatapan Sureswari memberinya pemahaman melebihi apa pun. Pemuda itu tertawa, lalu sesuatu yang hangat terasa memenuhi dadanya. Sureswari kecil telah menyukai Bandung sejak lama.
Akan tetapi, mengapa kenangan masa kecil Wirahandaka mendadak memenuhi benak Dewandaru? Apakah dia sekadar memimpikannya ataukah memori itu benar-benar nyata? Memori yang muncul silih berganti itu tidak hanya menampilkan peristiwa dan adegan, tetapi juga menghadirkan rasa familier. Dewandaru jadi bertanya-tanya, apakah isi kepalanya kini masih di dalam kendali penuh dirinya sendiri atau orang lain?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Dewandaru tanpa henti hingga menimbulkan sensasi rasa pusing yang begitu kentara. Rasa sakit itu sekonyong-konyong mengembalikan kesadarannya.
Dewandaru terbangun, membuka kelopak matanya pelan hingga mendapati sebuah pondok kayu, nyaris mirip dengan pondok berburu milik Bandung yang pernah disinggahinya di tengah hutan. Hanya saja tempat itu terasa begitu sesak dipenuhi lemari-lemari dengan deretan kendi yang berjejalan tak beraturan. Jelas-jelas tempat itu bukan pondok berburu Bandung Bondowoso, tetapi di mana tempat ini?
Dewandaru berusaha bangkit. Namun, tubuhnya tak hanya terasa sakit, tetapi juga sulit digerakkan hingga Dewandaru menyadari jika kedua pergelangan tangan dan pergelangan kakinya tengah terikat kuat pada sudut-sudut di sebuah balai-balai bambu. Bahkan, sehelai kain jarik juga membebat perutnya, membuatnya terikat pada pembaringan. Rasa panik perlahan-lahan menguasainya.
"Tolong! Siapapun tolong aku!" teriak Dewandaru parau. Ia berusaha melepaskan ikatan pada tangan, kaki, dan perutnya dengan menggerakkan tubuh, tetapi ikatan yang terlihat longgar itu rupanya disimpul dengan kuat.
"Sialan! Sialan!" Dewandaru terus mengumpat saat segala upaya telah dilakukannya untuk melepaskan ikatan. Setelah menarik-narik tangan dan kakinya kuat-kuat, Dewandaru bahkan memukul-mukulkannya ke arah dipan dengan frustrasi. Tubuhnya pun ikut mebghentak-hentak dalam posisi janggal sebagai salah satu upaya meloloskan diri. Akan tetapi, seluruh upaya itu berakhir gagal. Simpul-simpul pada kain-kain itu justru semakin mengetat.
Dewandaru akhirnya menyerah, meski masih tak sepenuhnya pasrah. Mimpi-mimpi Wirahandaka masih memenuhi benaknya, selagi ia menikmati rasa sakit yang berdenyut samar di beberapa bagian tubuh. Perasaan ketika mimpi itu muncul dalam tidurnya pun masih tertinggal samar seolah segala sesuatu yang terjadi pada gelombang tidurnya adalah memori lama yang hampir terlupakan. Dan, perasaan itu membuat Dewandaru dirundung gusar. Dalam mimpi itu, Sureswari tidak lagi terasa asing bagi Dewandaru. Tunggu dulu, harusnya Sureswari ada di tempat ini sekarang karena terakhir kali mereka sedang berada di hutan bersama-sama, tetapi di mana gadis itu sekarang?
Pemuda itu menoleh ke kiri dan ke kanan, menyisir bilik sempit itu dengan pandangan, mencari tanda-tanda keberadaan Sureswari. Namun, alih-alih mendapati adik kandung Wirahandaka, Dewandaru justru bertemu pandang dengan sepasang mata galak yang tengah mengamatinya dari ambang pintu.
"Ka-kau?!" Dewandaru terpekik kaget sebab tak menyadari kehadiran sosok itu di dekatnya. Akan tetapi, Dewandaru tahu pasti jika lelaki sangar itulah dalang dari keadaanya sekarang. "Si-siapa kau? Lepaskan aku!" Dewandaru kembali meronta seperti hewan yang akan disembelih, meski rasa takut tengah menguasainya saat itu.
Lelaki kekar berwajah sangar itu menelengkan kepalanya sedikit, tetapi tak berucap sepatah kata pun. Jari jempol dan jari telunjuknya menopang dagu berjenggot kelabu, sementara bibir hitam di bawah kumisnya menipis, penanda sedang berpikir.
"Di mana Sureswari?!" teriak Dewandaru semakin gusar karena diabaikan.
"Kau tidak seharusnya berada di sini, Anak Muda." Untuk pertama kalinya lelaki berwajah sangar itu buka suara. Kata-katanya membuat Dewandaru terperenyak.
"A-apa katamu?" Sejujurnya, Dewandaru telah mendengar ucapan lelaki itu dengan cukup jelas. Firasatnya mengatakan jika lelaki itu mengenalinya, meski ia bersembunyi di dalam raga Wirahandaka. Firasat buruk Dewandaru nyaris tidak pernah menandakan hal yang keliru sebelum ini. Akan tetapi, Dewandaru masih berharap jika pendengarannya salah.
"Sebelum kita bertemu dengan Sureswari, ada satu hal penting yang sebaiknya kita bahas, Anak Muda."
"A-apa maksudnya?" Tenggorokan Dewandaru terasa dicekik hingga suaranya terdengar parau. Sementara, dadanya berdentum-dentum ketika lelaki sangar itu bergerak maju, lalu membungkuk. Sepasang netra hitam pekatnya yang tajam menelisik wajah Dewandaru penuh tanya. Sebelah lengannya yang menggenggam seikat dedaunan hijau terangkat di hadapan Dewandaru. Genggamannya yang semula longgar berubah ketat mengancam, meremukkan dedaunan hujan di dalamnya yang berkertak samar. Hal itu membuat dada Dewandaru terasa semakin sesak.
"Aku tahu kau bukan Wirahandaka. Kau bahkan bukan berasal dari sini. Sekarang, aku mau kau berkata jujur, Anak Muda, dari mana asalmu? Dan, apa yang kau lakukan di tempat ini?"
Sepasang netra Dewandaru membola. Mulutnya ternganga, mencoba untuk menyangkal. "A-apa yang ... aku sungguh tidak ...." Lelaki sangar itu melumat dedaunan dalam genggamannya lebih keras hingga urat-urat di sepanjang lengannya tercetak jelas. Dewandaru kontan merasa terancam. "Oh, ya, aku lupa. Baiklah. Aku memang bukan berasal dari sini, Kisanak, tapi aku sama sekali tidak berniat jahat," sahut Dewandaru dengan tergagap. Dia nyaris kehabisan napas, tetapi sekuat tenaga berusaha untuk tidak pingsan. Lelaki sangar itu telah tahu segalanya, maka tidak ada alasan lagi bagi Dewandaru untuk berbohong.
Setelah mendengar pengakuan Dewandaru, lelaki itu menegakkan tubuhnya sekaligus menarik genggaman penuh ancaman dari hadapannya. Ia mengangguk samar, lalu duduk santai di atas sebuah bangku bulat yang berada di samping dipan. Namun, pandangannya sama sekali tak teralih dari Dewandaru. Lelaki itu memasukkan segenggam dedaunan yang baru saja diremukkannya ke dalam minuman, lalu menenggak gelas tanah liat yang masih mengepul dan berbau rempah itu, menantinya bercerita.
Dewandaru tak punya pilihan lain, selain jujur. Kejujuran adalah hal terakhir yang akan dilakukannya andai saja mereka masih di Jogja, bukan terlempar ke masa lalu seperti sekarang ini. Dengan susah payah, pemuda itu menceritakan kejadian yang menimpanya di Kompleks Candi Prambanan hingga berakhir di hutan bersama Bandung Bondowoso. Suaranya terbata-bata, sementara jari-jarinya beradu dengan resah di atas pangkuan sembari menerka dalam hati respons si lelaki sangar.
Akan tetapi, selama Dewandaru bercerita, lelaki berkumis melintang itu hanya bungkam. Air mukanya tenang, sementara sesekali menyesap minuman herbalnya. Pandangannya tak lagi mengunci Dewandaru, seolah-olah pemuda itu tidak sedang berbicara padanya.
"Andai aku dapat menemukan jalan pulang, aku ingin segera pulang dan meninggalkan raga Wirahandaka," tutur Dewandaru lirih sebagai penutup ceritanya.
Hening mengungkung cukup lama setelah penuturan Dewandaru usai. Ia bahkan merasa sedikit was-was jika lelaki kekar dengan tatapan menerawang di hadapannya ini sama sekali tidak mendengarkan. Kegusaran Dewandaru perlahan-lahan sirnah ketika suara tarikan napas berat akhirnya memecah kesunyian bilik itu. Lelaki itu lantas berdeham, setelah menenggak dan meletakkan minuman herbalnya di atas meja. Tatapannya kini mengunci tepat ke sepasang netra Dewandaru.
"Kau tidak bisa pulang begitu saja, Anak Muda," ucapnya dalam suara berat nan serak. Bukan suaranya yang membuat Dewandaru gentar, tetapi fakta yang baru saja diucapkannya telah menimbulkan kegentaran yang kentara. Dewandaru sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak berkomentar atau bertanya hingga lelaki itu melanjutkan ucapannya. "Namun, kau juga tidak bisa tinggal di sini terlalu lama. Aku yakin, waktumu telah ditentukan."
"Maksud Anda?"
"Setelah mendengar ceritamu, aku menyimpulkan bahwa kau sedang menjalani sebuah karma buruk sekarang. Hingga karma itu terbayar lunas, kau baru bisa pulang dari tempat ini."
"Aku tidak mengerti ... Karma buruk apa?" Suara Dewandaru tanpa sadar meninggi. Baru saja ia hendak melayangkan protes, tetapi kelebat peristiwa di Candi Prambanan kembali mengisi kepalanya. Lalu, Dewandaru pun melihat bayangan-bayangan lain berupa kesalahan-kesalahan yang dilakukannya, sebelum itu, selama bertahun-tahun kehidupannya yang penuh hura-hura. Bayang-bayang itu begitu banyak, memenuhi benaknya bagai penyakit yang menggerogoti organ. Kepalan Dewandaru mendadak terasa sakit hingga sepasang kakinya goyah, berlutut pada lantai tanah tempatnya berpijak. Memori-memori itu telah menampar Dewandaru dengan telak. Pertanyaan terjawab sudah, bahkan tanpa menanti lelaki sangar itu buka suara.
Lelaki paruh baya yang kini mengamatinya memilih untuk tak mengucapkan apa pun sebagai respons. Ia tahu, dari reaksi Dewandaru jika pemuda itu telah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Jawaban yang mungkin tidak begitu menyenangkan.
Di hadapan lelaki itu, Dewandaru jatuh berlutut dan untuk pertama kalinya, sejak kematian sang ibu, Dewandaru meraung pilu. Memori-memori buruk itu telah membawa sesal yang bertubi-tubi hingga kesedihan di dalam hati Dewandaru yang telah lama mati menuntut untuk dikeluarkan. Di satu sisi, Dewandaru begitu merindukan kehidupannya dahulu, sebelum terjebak di dalam hidup yang bahkan ia sangsikan eksistensinya. Namun, di sisi lain Dewandaru juga begitu menyesali kemungkinan-kemungkinan akibat kesia-siaan yang telah dijalaninya selama hidup.
Karma buruk katanya. Cih! Akan tetapi, bagaimana jika lelaki tua itu benar. Bagaimana jika ia terperangkap di tempat ini karena perbuatan tidak senonohnya di Prambanan tempo hari? Dewandaru sering mendengar perkara dosa dan pahala. Bagi perbuatan baik, pahala adalah ganjarannya. Sementara, bagi perbuatan buruk, dosa adalah konsekuensinya. Bagaimana jika semua dosa-dosanya ternyata langsung mendapat ganjaran semasa hidup dengan cara terperangkap dalam dunia khayal yang terasa nyata? Rasanya begitu menggelikan, tetapi bagaimana jika segala kemungkinan yang diasumsikannya menjadi nyata?
Dewandaru kini mulai memercayai jika perbuatannya dahulu merupakan penyebab terperangkapnya ia di tempat ini sekarang. Apakah ini berarti dia sudah kehilangan kewarasannya?
"Jadi, apa yang harus saya lakukan agar bisa kembali?" tanyanya setelah menyeka air mata dan menenangkan gusarnya sendiri. Keangkuhannya lenyap seketika saat beradu pandang dengan lelaki sangar yang masih setenang permukaan danau. "Katakan, apa yang harus saya lakukan.!" Bagaimana pun caranya, ia harus pulang. Harus, sebelum segenap kewarasannya terenggut.
Lelaki itu mengembuskan napas pelan. Air mukanya masih tak menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun. "Tidak ada. Kau tidak perlu melakukan apa-apa, Anak Muda."
Dewandaru mengernyit, tetapi tetap diam menanti lelaki itu melanjutkan ucapannya.
"Kau akan kembali dengan sendirinya jika karma burukmu telah dibayar lunas. Kau tidak perlu mencari pintu kembali, karena dirimu sendirilah yang akan menjadi jalan untuk kembali ke duniamu."
Dewandaru merasa belum puas. "Jadi, apa yang harus saya lakukan agar karma itu lunas dan bisa segera kembali?" desaknya.
Lelaki paruh baya itu menggeleng cepat. Sudut-sudut bibirnya menurun seolah Dewandaru baru saja mengucapkan sesuatu yang salah. "Kau tidak akan bisa menerka seberapa cepat kau akan kembali, karena bukan kau yang menentukannya. Kau juga tidak bisa menilai seberapa besar usaha baikmu untuk menghapus karma buruk. Selalu ada yang lebih besar dari kita, Anak Muda, yang tak terhingga, dan tak terdefinisikan, yang mengatur segala-galanya, seisi semesta, termasuk kau dan aku!"
Suara berat lelaki itu memenuhi kepala Dewandaru, sementara ucapannya mengisi ruang-ruang kosong di dalam benak pemuda itu. Dewandaru merasa kilat terang menyambar pemahamannya sesaat, sebelum kegusaran yang jauh lebih nyata mengungkungnya. Ia seolah memahami sesuatu, tetapi sekaligus tak berdaya menterjemahkan. Sesuatu menghantam kesadarannya, bahkan lebih kuat dari kelebat memori-memori karma buruk yang telah dilakukannya. Untuk beberapa saat lamanya, Dewandaru merasakan tubuhnya menggigil dan bergetar, rasa sakit yang semula ditanggungnya seolah-olah lenyap.
"Lakukanlah hal-hal baik, yang bahkan belum pernah kau lakukan semasa hidupmu sebelum ini, dan ikutilah kata hatimu. Jangan pernah menilai usahamu dengan kacamata dia yang bahkan tak mampu kau ukur. Aku yakin, pada akhirnya kau akan kembali."
Dewandaru terperangah, lalu mendesis parau di tengah-tengah gigilnya."Sa-saya ingin kembali, Ki ...."
"Aku yakin kau akan kembali, Anak Muda. Semua ini hanya perkara waktu."
TBC
Thank you for reading ❤️
Pontianak, 11 Agustus 2022 pukul 22.43 WIB
Pontianak, 7 Agustus 2022, pukul 22:41 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top