17
Dewandaru tidak dapat memejamkan mata malam setelah kembali dari halaman belakang Rumah Manggala. Pertemuannya dengan Sureswari serta ucapan yang penuh ancaman itu terngiang-ngiang di kepalanya hingga membuat pemuda itu was-was. Setelah percakapan di kebun belakang pendopo, Sureswari langsung meninggalkan Dewandaru begitu saja, terpuruk di kegelapan malam. Akibat dari ancaman yang disampaikan dalam tutur kata lembut itu, Dewandaru merasakan kegelisahan yang memuncak. Sudah sangat jelas bagi pemuda itu jika tidak ada tempat baginya di sini, meski dalam raga Wirahandaka, sehingga ia harus buru-buru mencari jalan kembali.
Tepat sebelum fajar menyingsing dan embun menitik di dedaunan, Dewandaru memutuskan untuk kabur dari kediaman Manggala. Meski, belum jelas ke mana tujuannya, tetapi pemuda itu telah meyakini keinginannya.
Dengan ketiadaan Manggala di pendopo tersebut, penjagaan tempat itu menjadi sedikit longgar. Beberapa prajurit memang berjaga, tetapi tidak sesiaga biasanya. Jumlah prajurit pun berkurang drastis. Berdasarkan cerita Utari malam sebelumnya, Manggala dan anak buahnya pastilah tengah menghadapi perihal yang sulit terkait dengan ketahanan kerajaan.
Dengan demikian, tak butuh waktu lama bagi Dewandaru untuk menyelinap dari tempat itu, terlebih dengan penyamarannya mengenakan seragam prajurit. Beberapa jam sebelumnya, Dewandaru sempat mencuri sebuah seragam dari sebuah keranjang pakaian di salah satu kamar prajurit. Mengabaikan baunya yang apak, dengan menunggangi kuda putih, Dewandaru melesat menembus halimun. Dalam kekalutan pikirannya dini hari itu, Dewandaru memutuskan untuk kembali ke hutan di pinggir sungai, tempat pertama kali ia tersadar di dunia lampau ini. Barangkali ia akan menemukan sesuatu di sana yang dapat menuntunnya pulang.
Akan tetapi, Dewandaru sama sekali tidak menyadari jika jauh di belakangnya, di antara kabut pagi yang pekat dan seolah membekukan, derap langkah kaki kuda lain tengah mengendus perjalanannya. Dewandaru dengan benak yang dipenuhi kegusaran, tidak tahu jika jalan pulang tidaklah akan semudah yang dipikirkannya.
***
Kuda tunggangan Dewandaru meringkik parau ketika pemuda itu menarik tali kekang agar makhluk itu berhenti. Pemuda bangsawan itu membenahi kain usang yang menudungi kepala hingga dadanya sebelum melompat turun. Di kejauhan, samar-samar suara aliran sungai terdengar sebagai satu-satunya pemecah hening. Perlahan-lahan embun pagi mulai menipis dan menitik satu per satu di atas dedaunan, menguarkan bau basah yang pekat hingga membuat pemuda itu bersin berkali-kali.
Dewandaru begitu membenci dingin. Tubuhnya menggigil, tetapi hal itu bukan satu-satunya alasan kebenciannya terhadap dingin. Hawa dingin akan selalu meninggalkan jejak pada kulit tropisnya yang lebih familier dengan suhu hangat. Baru saja berpikir demikian, Dewandaru mulai merasakan jejak dingin pada punggungnya, lalu perut, kemudian menjalar ke sepasang lengan. Dewandaru mulai menggaruk bagian-bagian itu dengan kesal. Tujuannya sempat terdistraksi akibat alergi dingin yang kambuh tak kenal waktu.
"Sialan!" umpatnya agak keras. Dewandaru membuka sesaat kain usang yang membalut tubuhnya untuk memeriksa jejak dingin yang muncul. Beberapa bagian tubuhnya memerah, bahkan sedikit terluka Karen garukan yang terlalu keras. Dewandaru telah melupakan satu aturan penting ketika alerginya kambuh, yaitu, tidak menggaruknya karena hanya akan memperparah sensasi gatal. Setelah mendengkus keras, pemuda itu lantas mengibas-ibaskan kainnya sesaat, sebelum kembali membalut tubuh. Ia tidak boleh kalah oleh rasa gatal.
Setelah berusaha keras menahan diri, sensasi gatal di tubuh Dewandaru akhirnya mereda. Pemuda itu kini bisa fokus mengamati sekitarnya untuk menemukan petunjuk mengenai keberadaan jalan pulang di tempat itu.
Dewandaru terus memutar pandangan ke sekeliling, berusaha mengingat-ingat pepohonan dan pola dedaunan, serta jarak tempat itu dengan sungai. Namun, Dewandaru merasa seisi hutan itu sama saja; hijau dengan pepohonan berbatang besar dan berlumut. Tanah di sekitarnya pun terlihat sama; ditutupi ilalang tinggi, maupun patahan ranting berlumut dengan warna senada. Jarak antara tempatnya berdiri saat itu dengan sungai pun tak dapat ia perkirakan. Segala sesuatunya terlihat sama di mata Dewandaru.
"Sial! Sial! Sial!" Dewandaru mulai frustrasi. Kedua tangannya bergantian memukuli kepala, kebiasaan yang dilakukan ketika frustasi dan panik. Sepasang tungkainya mulai terasa goyah. Dewandaru terhuyung hingga akhirnya jatuh terduduk di atas sebuah akar besar yang menjalar ditutupi semak. Lumut yang basah dan lembab seketika membuat celananya ikut basah. Rasa dingin menjalarinya semakin menjadi-jadi, disertai sensasi gatal di beberapa bagian tubuh.
Dewandaru merasa kesialannya begitu bertubi-tubi. Kemalangannya berlipat ganda. Pemuda itu nyari berteriak jika saja ia tak ingat sedang berada di tengah hutan belantara yang mungkin saja menyembunyikan hewan buas. Untuk meredam jeritan yang tertahan, Dewandaru menggigit kepalan tangannya dengan marah. Pikirannya melayang pada peristiwa aneh yang menimpanya di kompleks Candi Prambanan. Raut wajah marah ..... terbayang di benaknya, membuat Dewandaru seketika diliputi sesal. Mengapa dengan bodohnya ia mau menuruti tantangan .... hanya untuk mendapatkan sejumlah uang? Apakah kesialannya di tanah kuno ini merupakan pembalasan akan karma buruk yang diperbuatnya waktu itu?
Selagi Dewandaru bertanya-tanya dan menyesali perbuatannya, suara derap kaki kuda terdengar semakin mendekat, di antara suara arus sungai pagi itu. Lamunan Dewandaru sontak pecah berganti jenis kepanikan lain. Suara derap kaki kuda berarti menandakan kedatangan orang lain di belantara itu, sehingga serta-merta Dewandaru melonjak dari posisinya, berusaha mencari tempat persembunyian. Namun, agaknya pemuda itu terlambat.
Beberapa sosok prajurit berkuda telah memblokade sekelilingnya seraya menghunuskan tombak. Cahaya pagi yang menerobos masuk dari sela-sela dedaunan menyinari mata tombak, membuatnya berkilat penuh ancaman.
Dewandaru mematung kaku di tempatnya. Sepasang tungkainya terasa kebas hingga tak mampu bergerak, sementara di dalam dadanya gemuruh panik sedang melanda. Lalu, dua sosok berjubah maju di atas kuda, menyeruak di antara sepasang prajurit berkuda yang berada tepat di hadapan Dewandaru. Kengerian itu bagaikan slow motion yang mencapai puncaknya ketika salah satu sosok itu menurunkan tudung yang menyelubungi kepala. Wajah rupawan Sureswari yang seumpama dinaungi awan hitam tersingkap, kemudian wajah tua lain yang tak Dewandaru kenali. Akan tetapi, wajah keduanya memiliki kesamaan yang kentara, yaitu sama-sama menyorotkan kemarahan.
"Paman, Anda bisa memeriksanya!" Titah Sureswari dalam nada dingin yang menusuk. Gadis itu jelas-jelas tidak bicara dengan Dewandaru, melainkan lelaki tua bertampang menyeramkan di sebelahnya.
Lelaki bertubuh kekar, dengan cambang dan kumis melintan di bawah hidung itu segera melompat turun dari kudanya. Gerakan mendadaknya membuat makhluk malang yang ditungganginya meringkik kaget. Namun, wajah tua bertekstur kulit kasar itu tak menunjukkan perubahan ekspresi sedikit pun. Dia berjalan dengan langkah gegas hingga hanya menyisakan jarak tak lebih dari satu meter di hadapan Dewandaru.
Tubuh Dewandaru seketika menggigil. Sepasang mata lelaki itu nyatanya lebih dingin dari halimun pagi yang menyelimuti Pengging. Meski demikian, Dewandaru merasa sepasang tungkainya terpaku di atas tanah hingga sama sekali tak dapat menghindar.
"Se-selamat pagi, Tuan," ucap Dewandaru mencoba meredakan ketegangan. Sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyum kaku selagi lelaki sangar itu menatapnya dari kepala hingga ujung kaki. Jenis tatapan ayahnya jika Dewandaru tertangkap tangan sedang berbuat kesalahan.
"Bagaimana, Paman?" desak Sureswari. Kekhawatiran samar terdengar dalam nada suaranya, meski wajah rupawan itu masih mengandung mendung amarah ketika mengerling pada Dewandaru.
Lelaki kekar yang disebut Paman oleh Sureswari itu tidak menjawab. Tatapannya masih terpaku pada Dewandaru, sementara sebelah tangannya meraih sesuatu dari pinggang. Lelaki itu membuka bungkusan kain kuning dalam gerakan perlahan, kemudian mengeluarkan sebilah keris berukuran kecil yang berwarna keemasan.
Dewandaru refleks melangkah mundur. Meski berukuran kecil, senjata itu tetap menguarkan aura mengancam bagi Dewandaru, terlebih karena dipegang oleh seseorang lelaki sangar asing bertubuh besar.
Akan tetapi, lelaki itu sepertinya sama sekali tak berniat membunuh Dewandaru. Gerakan tangannya berhenti di udara ketika mengacungkan benda tersebut tinggi-tinggi di hadapan Dewandaru. Bibir hitam di bawah naungan kumis tebal itu terlihat komat-kamit, mirip dukun yang tengah merapal mantra. Tak ada apa pun terjadi setelahnya atau bermenit-menit berikutnya yang terasa berjalan begitu lambat bagi Dewandaru.
"Bagaimana, Paman?" Suara Sureswari terdengar memecah hening yang penuh ketegangan.
Dewandaru mundur selangkah lagi dengan begitu hati-hati, tetapi entah mengapa, pemuda itu sama sekali tak memilih kabur. Sementara, lelaki yang tengah mengacungkan keris kecil di hadapannya menoleh sekilas pada Sureswari, sebelum kembali menatapnya dengan binar terkejut yang kentara.
"Dia bukan Wirahandaka," ucapnya seraya menurunkan dan mengembalikan keris kecil itu ke dalam lipatan kain kuning dalam gerakan cepat. Namun, tatapannya sama sekali tak teralih dari Dewandaru.
Di hadapannya, Dewandaru merasa ditelanjangi. Hatinya mencelus, dan detik itu juga tatapannya mencari reaksi pada ekspresi Sureswari. Apakah lelaki itu bisa benar-benar mengenalinya hanya dengan sebatang keris?
Gadis rupawan itu melotot padanya, seumpamanya melihat dedemit atau yang sebangsanya. Wajahnya lebih pucat dari yang semula Dewandaru ingat. Pemandangan itu hanya berlangsung kurang dari sedetik karena pada detik berikutnya, Sureswari menggeleng seraya mengalihkan pandangannya pada lelaki sangar itu. "Paman harus lakukan sesuatu dan mengusir dedemit itu keluar dari tubuh Kakang Wirahandaka."
Dedemit? "Tu-tunggu dulu! Aku bukan dedemit!" bantah Dewandaru gelagapan. Pandangannya berpindah-pindah dari Sureswari ke lelaki sangar yang telah mengacungkan keris kecil ke arahnya.
"Sureswari, kau tenang saja, aku akan membereskan masalah ini," sahut si lelaki sangar dengan nada tenang. Tatapannya masih tak teralih dari Dewandaru, meski sekarang ia terlihat sedikit memiringkan kepalanya, mengamati.
Ketika mendengar respons lelaki itu, bulu kuduk Dewandaru serta merta meremang. Ketenangan ucapan lelaki sangar itu justru mengandung ancaman di telinganya sehingga tanpa berpikir panjang Dewandaru memutuskan untuk berlari menghindar. Kuda yang semula mengantarkannya ke tempat itu bahkan ia abaikan. Begitu pula halnya dengan semak serta ranting pepohonan yang merintangi pelarian, betapa pun pedih goresan yang harus diterimanya, Dewandaru tak juga memelankan langkah.
"Kejar dia jangan sampai lolos!"
Jika suara teriakan itu berasal dari si lelaki sangar, mungkin Dewandaru dapat memakluminya. Akan tetapi, titah penuh amarah itu nyatanya berasal dari Sureswari, adik kandung Wirahandaka. Terbesit tanya dalam benak pemuda itu, akankah Sureswari melukai saudara kandungnya sendiri? Entah mengapa sesuatu di dalam dadanya terasa sakit, terluka seolah telah dikhianati. Terlepas dari hal itu, Dewandaru hanya ingin lepas dari lingkungan dan mencari jalan pulang ke dunianya sendiri.
Suara derap kaki kuda seketika mengungkung pergerakan Dewandaru dari arah belakang. Bunyinya begitu dekat dan mengintimidasi. Hanya dalam hitungan detik, beberapa prajurit berkuda itu telah berhasil memblokade pelarian Dewandaru dari arah depan. Mata tombak yang runcing seketika terulur mengancam ke arahnya, membuat Dewandaru seketika bergidik ngeri. Pemuda itu tak lagi dapat melanjutkan rencananya.
Di tengah keterdesakan itu, keadaan Dewandaru diperburuk dengan pusing yang tiba-tiba mengungkung pelipis. Mulanya samar, tetapi dengan cepat menjadi kuat hingga membuat pemuda itu jatuh terduduk. Pandangannya berputar dan samar. Suara teriakkan Sureswari dan teriakan lelaki sangar tadi melebur jadi satu hingga tak sepatah kata pun tertangkap pendengarannya. Lalu, sesuatu yang aneh terjadi, memori tentang orang-orang yang tak dikenal memenuhi kepala Dewandaru; seorang gadis kecil, seorang perempuan muda yang anggun, seorang lelaki muda yang terlihat familier dengan kumis melintang dan wajah kerasnya. Adegan-adegan yang tidak Dewandaru pahami menyeruak bersama begitu banyak emosi serta perasaan yang mempengaruhi hatinya detik itu juga.
Dewandaru merasakan pandangannya mulai gelap, tubuhnya lemah tak terkendali, sementara memori-memori itu terus berkelebat hingga terasa nyata. Pada satu titik, Dewandaru pada akhirnya menyadari jika memori beserta emosi itu adalah milik Wirahandaka. Mengapa tiba-tiba ia bisa merasakannya?
Pontianak, 18 Juni 2022, pukul 21.54 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top