16

Roro Jonggrang akhirnya berhasil keluar dari hutan di salah satu pelosok Kerajaan Pengging tepat kala fajar menyingsing malu-malu di ufuk timur. Seekor kuda cokelat berpelana yang sedang tersesat dan sehelai jubah usang berwarna abu-abu menjadi penyelamatnya menembus halimun dan dingin dini hari. Jonggrang tidak dapat menebak, kuda malang siapa yang sedang kehilangan tuan di tengah belantara asing seperti ini, tetapi asumsinya tertuju pada para perampok yang nyaris menggagahinya petang lalu, ataupun para prajurit yang menghampiri pondok berburu yang dihampirinya bersama Dewandaru.

Ya, Dewandaru. Nama itu terngiang-ngiang di kepala Jonggrang sepanjang dini hari. Di antara gigil dan gertakan giginya yang saling beradu, ingatan akan pemuda itu nyaris membuatnya lupa akan kehilangan Gayatri yang baru saja dialaminya. Pemuda asing yang membuat dunia Jonggrang jungkir balik oleh kekesalan sekaligus kekaguman yang berkelindan jadi satu.  Wajah serta memori tentang Dewandaru menemani Jonggrang sepanjang pelarian dalam gulita belantara hingga seluruh pikiran-pikiran kalut dan rasa takut seolah memudar.

Begitu fajar pertama bersinar lebih terang di bumi Medang, Jonggrang seumpama terbangun dari alam mimpi. Dewandaru serta keajaiban tingkahnya luntur dan larut dalam embun yang menguap. Jonggrang segera menyadari hutan tipis yang melingkupinya serta kenyataan bahwa dirinya adalah seorang penyusup yang hendak mencari secercah kedamaian di Pengging. Nama dan sosok Jonggrang telah lama ditinggalkannya bersama rasa kecewa dan kemarahan terhadap sang ramanda. Di tanah tempatnya bebas berdaulat ini, dirinya adalah Malini.

Setelah pepohonan yang mulai jarang berganti semak ilalang serta samar-samar bayang pengunungan yang mengitari Pengging, satu-satunya yang Jonggrang tuju adalah keramaian. Dengan petunjuk keramaian, Jonggrang akan menemukan pasar. Dan pasar merupakan sumber kehidupan baginya.

Rencana demi rencana mulai tersusun dalam benak Jonggrang, berserta segala kemungkinan-kemungkinan. Ia bertekad akan mencari penghasilan dengan bekerja di kedai atau ladang orang kaya untuk keberlangsungan hidup. Setelahnya, Jonggrang juga akan mencari tempat bernaung. Dengan pekerjaan dan tempat tinggal, Pengging akan menjadi tempat persembunyian terbaik baginya dari ego dan kebrutalan sang ramanda. Jonggrang yakin jika sekarang Prabu Boko dengan tempramen yang meledak-ledak itu tengah mengamuk, bahkan melampiaskan kemarahannya dengan membantai orang-orang yang tak berdosa, dan tak menutup kemungkinan ia juga akan mengutus orang guna mencarinya. Untuk itu, Jonggrang harus menyembunyikan dirinya agar tetap 'tak terlihat' selama mungkin.

Ketika matahari bersinar semakin terang dan kabut pagi telah menitik pada dedaunan, Jonggrang mulai berpapasan dengan satu dua orang penduduk setempat yang barangkali pergi ke ladang, karena pohon-pohon serta ilalang di sisi kiri dan kanan yang dilewatinya mulai berganti dengan berpetak-petak ladang. Demi menyamarkan diri, Jonggrang mengeratkan dan menaikkan lilitan kain yang semula hanya menutupi leher ke arah mulutnya dan memacu kudanya berlari lebih cepat. Beberapa meter di hadapan Jonggrang, samar-samar mulai terlihat sebuah paduraksa sederhana yang bukan merupakan bagian dari sebuah bangunan. Tempat itulah yang dicarinya, sebuah pasar tempat sejumlah kedai dan transaksi berlangsung. Ia akan bekerja pada salah satu kedai di tempat itu.

Akan tetapi, perasaan was-was perlahan-lahan mulai memenuhi benak Jonggrang. Pasar yang harusnya sudah ramai, meski sepagi ini, nyatanya masih sepi. Bahkan, tak terlihat satu orang pun sejauh mata memandang. Beberapa ekor kuda memang terlihat sedang merumput tenang di Istal yang terletak di bagian depan pasar. Namun, selebihnya, pasar benar-benar sepi. Lapak-lapak terlihat kosong, sementara beberapa benda, mungkin barang dagangan bahkan berserakan di jalanan.

Jonggrang sempat menghela tunggangannya untuk berhenti di depan gerbang yang merupakan satu-satunya jalan masuk menuju pasar tersebut. Jonggrang memindai tempat itu sekilas, menelisik setiap sudut yang terjangkau penglihatannya untuk memastikan bahwa pasar itu aman. Sekilas, tempat itu memang terlihat aman, meski sepi hingga Jonggrang berasumsi barangkali pasar itu memang belum digelar.

Dengan perasaan was-was, Jonggrang lantas melompat turun dari kuda tunggangannya. Kemudian menuntun makhluk itu melewati paduraksa. Jerami kering yang berserakan hampir di seluruh permukaan jalanan pasar berderak di bawah telapak kaki Jonggrang. Suara derak halusnya yang seolah bergema di keheningan pasar, entah mengapa, membuat dada Jonggrang berdesir dan meremangkan bulu kuduknya. Namun, Jonggrang urung mundur karena tempat itulah satu-satunya pengharapan untuk melanjutkan hidup.

Begitu langkahnya menjejak Istal, Jonggrang langsung mengikatkan tali kekang kudanya pada sebuah tonggak kayu, membiarkan makhluk itu beristirahat dan merumput seperti tiga ekor kuda tak bertuan lainnya. Makhluk itu telah menemani perjalanan panjangnya sejak dini hari tadi dan jika Jonggrang tak menemukan apa yang dibutuhkannya di pasar, ia pastinya memerlukan makhluk itu untuk kembali melakukan perjalanan menuju pusat kota terdekat. Setalah yakin ikatan tali kekang pada tonggak kayu cukup kuat, gadis berbalut jubah lusuh itu segera melangkah awas memasuki pasar.

Obor masih menyala di beberapa sudut pasar, menerangi lapak-lapak sepi tak berpenghuni. Bayang-bayang samar membias ke arah besek-besek besar dan kecil yang bergelimpangan hingga ke tengah jalanan pasar, sementara isi dagangan terlihat berhamburan dan rusak. Jonggrang merasakan sesuatu yang janggal, sesuatu yang tersembunyi sekaligus mengamati di sudut-sudut gelap tempat itu. Pasar ini tidak sebagaimana mestinya, seolah ada perompak yang datang diam-diam dan memporak-porandakan tempat itu, tetapi  anehnya, barang-barang dagangan tidak hilang, meski memang dalam keadaan tumpah ruah dan bergelimpangan di sembarang tempat.

Jonggrang terus berjalan dengan tenang, meski gemuruh terus menghantam di dalam dadanya. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benaknya diiringi perasaan tidak enak yang semakin kuat seiring langkahnya memasuki pasar.  Pada satu titik akhirnya gadis itu berhenti, hanya berdiri gamang di tengah-tengah sepi yang kacau. Pandangannya menyisir tiap sudut pasar hingga menemukan sesuatu yang cukup janggal, sekaligus penanda bahaya yang kentara.

Sepotong kaki manusia berkemul debu tanpa alas khas warga pedesaan terlihat mencuat dari sebuah lapak tak jauh dari posisi Jonggrang berdiri. Tubuhnya tertutupi meja kayu dan sejumlah keranjang anyaman usang. Harusnya Jonggrang langsung saja berlari begitu melihat kejanggalan itu. Akan tetapi, keingintahuannya yang menggelegak mengalahkan peringatan tanda bahaya tersebut. Dengan langkah perlahan dan terukur bak kucing mengintai mangsa, Jonggrang mendekati sepotong kaki misterius itu.

Seorang petani berpakaian lusuh penuh tambalan terlihat tergeletak tak sadarkan diri, pemilik sepotong kaki misterius yang mulai dikerubungi lalat. Wajahnya pucat dengan ekspresi syok yang mengerikan; sepasang mata membelalak dinaungi rongga dan pelupuk yang kehitaman. Wajahnya terlihat begitu tua; keriput, kering, mulutnya terbuka kaku seolah sesuatu telah mengagetkannya tepat saat ketaksadaran menjemput. Sosok itu jelas-jelas tak sadarkan diri atau bahkan mungkin telah mati.

Dengan kengerian yang tertahan, Jonggrang berjongkok pelan guna memeriksa sosok tak sadarkan diri tersebut. Belum lagi tangannya terulur dan menyentuh permukaan kulit wajah sosok malang itu, darah kering pada luka menganga di bagian leher segera menarik atensi Jonggrang sepenuhnya. Petani malang itu sudah mati dan Jonggrang begitu mengenali tanda-tanda kematiannya.

Jonggrang terkesiap hingga tubuhnya refleks jatuh terduduk di atas tumpukan jerami kering. Rasa takut menghantamnya telak disertai bulu kuduk yang sontak meremang.

Jonggrang mengenali tanda-tanda kematian itu sejelas memori yang dapat diingatnya. Petani malang itu mati karena kehabisan darah dengan luka menganga di leher! Persis seperti kengerian dan teror yang diciptakan ayahnya pada penduduk Malang di Boko.

Namun, belum sempat Jonggrang menjernihkan pikiran, jerami kering yang menutupi hampir seluruh permukaan jalan pasar terdengar berderak oleh langkah-langkah berat. Bebunyian itu sontak membuat sekujur tubuh si gadis membeku. Dengan perlahan, Jonggrang menoleh ke arah suara yang tiba-tiba datang mengusik di antara keheningan.

Tiga sosok makhluk keturunan raksasa berseragam prajurit Boko berjalan mendekat dari arah berlawanan. Sosok-sosok bermata merah itu mengamati Jonggrang, sementara tetes-tetes darah segar melumuri bibir hingga dagu mereka. Beberapa detik kemudian, makhluk-makhluk bertaring itu menyeringai, memamerkan gigi-geliginya yang menguning tak terawat.

Jonggrang merasakan aliran listrik merambat ke kepalanya dengan cepat. Ia sangat mengenali makhluk-makhluk itu.

"Yang Mulia, Jonggrang, akhirnya kami menemukanmu!" seru salah satu makhluk keturunan raksasa yang berdiri paling depan. Makhluk itu menggenggam sebuah martil besar yang berlumuran darah segar. Satu kepala pastilah telah berhasil dipecahkan oleh benda tersebut.

Para prajurit keturunan raksasa itu adalah anak buah ayahanda Jonggrang. Mereka pasti diutus untuk menyeretnya kembali ke Boko. Namun, demi apa pun, Jonggrang telah bertekad untuk tak menginjakkan kakinya lagi di kerajaan terkutuk itu, terlebih setelah kematian Gayatri. Adegan hukuman gantung yang dijatuhkan kepada Gayatri seketika terbayang-bayang di pelupuk mata Jonggrang, seketika membuat gemuruh amarah di dalam dada gadis itu menggelegak. Meski takut dan gentar, Jonggrang harus melawan mereka sampai titik darah penghabisan.

"Aku tidak akan Sudi ikut kalian kembali ke Boko!" hardik Jonggrang berang. Suaranya goyah, tetapi menyiratkan tekad yang sekuat baja.

"Kalau begitu, tampaknya kami harus menggunakan jalan kekerasan, Yang Mulia." Tiga makhluk keturunan raksasa itu serentak menggerakkan senjata masing-masing dengan penuh ancaman. Bibir mereka menyunggingkan seringai keji.

"Aku tidak takut. Kalian harus menyeret mayatku untuk bisa membawaku kembali ke Boko!'

"Cih! Baiklah jika itu kehendak Anda, Yang Mulia."

Prajurit raksasa bersenjata martil bergerak maju lebih dahulu. Ia mengangkat sekaligus mengayunkan mata martil besarnya ke arah Jonggrang. Darah segar menetes menuruni permukaan mata martil yang terbuat dari baja, sementara Jonggrang menatap ngeri senjata yang sebentar lagi akan menghantam kepalanya. 

***

Setiap kali terdesak, ketakutan, sekaligus pasrah, Jonggrang akan membayangkan wajah Gayatri dan wajah wanita dalam lukisan di Balairung istana Boko yang merupakan ibu kandungnya. Kelopak matanya akan menutup rapat-rapat Hingga bintang-bintang menghiasi wajah-wajah kedua wanita kesayangannya dan rasa pening janggal mulai menjalari pelipis. Jonggrang menanti sembari mengira-ngira akan seperti apa rasa sakit martil besar itu ketika menghantam batok kepalanya yang rapuh. Akan tetapi, yang dinanti tak kunjung datang. Alih-alih rasa sakit atau ketidaksadaran, sayup-sayup justru terdengar derap kaki kuda dan suara teriakan parau seorang lelaki datang dari arah yang tak dapat  Jonggrang kira. Penyelamatkah atau justru pembawa bencana?

Dengan refleks, Jonggrang menggeser tubuhnya yang kaku, bergerak menjauhi utusan Ramandanya. Perlahan-lahan, kelopak matanya membuka bersamaan dengan rasa takut yang sedikit berkurang.

Suara teriakan dan derap kaki kuda yang baru saja didengarnya telah berganti menjadi denting senjata yang beradu lantang, mengoyak hening pagi serta ketegangan yang  semula mengungkung Jonggrang. Di hadapan gadis itu kini berdiri tiga prajurit berbeda yang tengah berbaku hantam dengan ketiga prajurit keturunan raksasa. Sekilas Jonggrang merasa terselamatkan.

"Mereka yang telah menghisap darah ketiga warga semalam," celetuk salah satu prajurit bersenjata tombak. Dengan lihainya pemuda berkelit ketika martil besar nyaris menghantam sebelah bahunya.

"Mereka berasal dari Boko. Entah apa yang membuat mereka berulah lagi di sini!"

Jonggrang tersentak. Salah satu di antara tiga prajurit itu mengenali utusan ramandanya. Jonggrang mengamati seorang prajurit muda bertubuh paling kekar dengan otot-otot yang melekuk pongah di lengan serta dada telanjangnya yang baru saja mengatakan hal itu. Sebuah mahkota emas melingkari kepalanya, bersembunyi di balik lilitan ikat kepala bercorak khas. Sosok itu kelihatan menonjol, baik dari segi fisik maupun penampilan, sementara, dua prajurit lainnya yang bertubuh lebih kurus tak mengenakan mahkota. Jonggrang berasumsi, barangkali pemuda bertubuh besar itu berkasta tinggi dan merupakan pemimpin kedua prajurit.

Tak ada yang berkata-kata lagi selama beberapa waktu sesudahnya. Bunyi denting senjata yang beradu semakin kentara, sementara dua prajurit bertubuh ceking masing-masing telah mendapat luka goresan dan memar di beberapa bagian tubuh mereka.

Jonggrang merasa was-was, meski tak ada apapun yang dapat dilakukannya, selain menjauh dari arena pertarungan. Gadis itu menepi pada sebuah warung kosong yang isinya telah porak-poranda seraya menenangkan diri. Perlawanan para prajurit asing itu sekonyong-konyong membuatnya khawatir, terlebih karena Jonggrang tahu persis seberapa besar kekuatan prajurit Boko.

Saat dua prajurit itu pada akhirnya roboh akibat pukulan martil salah seorang prajurit Boko, tanpa sadar Jonggrang terkesiap ngeri.  Kelegaannya berangsur-angsur pupus sehingga Jonggrang segera meraih sebilah kayu yang akan digunakannya sebagai senjata perlindungan diri jika terdesak.

Akan tetapi, kekhawatiran Jonggrang rupanya tak beralasan. Prajurit yang bertubuh paling besar rupanya tak hanya ahli bela diri dan bermain pedang, tetapi juga ilmu Kanuragan. Di detik-detik terakhir saat ketiga raksasa mulai mengamuk berang karena tak dapat menumbangkannya, prajurit Pengging itu segera saja melibas ketiga utusan Boko dalam sekali serangan. Luka menganga tertinggal pada ketiga leher makhluk-makhluk haus darah itu hingga darah segar merah kehitaman menyembur seumpama mata air dari dalam tanah. Bau Anyir darah segera saja mengganti semerbak bunga Asoka dan pohon bugur yang tumbuh di area pasar.

Jonggrang segera membuang pandangan sembari menahan mual, ketika bunyi debum samar terdengar. Ketiga prajurit Boko telah terkapar bersimbah darah di tengah-tengah pasar yang sepi.

Hening panjang menyelimuti pasar setelahnya, membuat Jonggrang was-was. Tangannya gemetar saat menopang tubuhnya yang nyaris ambruk.

"Anda baik-baik saja kisanak?" Suara menggelegar nan parau menyapa Jonggrang.

Gadis itu mendongak, membiarkan pandangannya beradu dengan sepasang manik mata hitam pekat yang penuh wibawa. Sosok prajurit bertubuh paling besar itu telah berdiri di ambang pintu warung tempat Jonggrang menyembunyikan diri.

"Anda seorang gadis?!" Prajurit itu berseru dengan nada kaget yang kentara.

Sementara di sisi lain warung, Jonggrang berdiri kaku. Jubah lusuh yang dikenakannya ternyata sama sekali tak mampu menyembunyikan kemolekan Jonggrang sebagai perempuan. Dengan gerakan refleks, Jonggrang mundur selangkah, sementara sebelah lengannya yang menggenggam kayu diacungkannya penuh ancaman ke depan.

"Jangan mendekat!" gertak Jonggrang. Suaranya gemetaran.

Wajah sangar prajurit Pengging yang berdiri beberapa depa di hadapannya melunak. Seulas senyum tipis berwibawa terukir di bibirnya. "Jangan khawatir, Nyisanak, Saya tidak akan melukai Anda. Justru Saya kemari untuk menyelamatkan Anda dari para raksasa yang telah meresahkan Pengging sejak semalam."

Jonggrang bergeming. Posturnya masih mengancam, meski sepasang mata beningnya tak lagi menunjukkan perlawanan.

"Saya Bandung Bondowoso, kepala keamanan di daerah ini. Apakah Anda baik-baik saja?" ulangnya dengan suara yang melembut.

Jonggrang masih diam di tempat. Namun, gadis itu menurunkan kayu di genggamannya, sementara tatapannya masih lekat menelisik pemuda itu.

Bandung Bondowoso mengembuskan napas pelan. Senyum tak pudar dari bibirnya. "Sepertinya Anda tidak berasal dari daerah sini. Jika Nyisanak memerlukan bantuan, jangan sungkan untuk meminta pada saya."

Jonggrang tampak menimbang. Kemudian, setelah beberapa detik berlalu, gadis itu akhirnya buka suara. "Tuan, Saya membutuhkan tempat tinggal, Dapatkah Tuan memberi saya pekerjaan?"

Prajurit Pengging itu menarik sudut-sudut bibirnya hingga tercipta lengkungan senyum yang lebih lebar. "Tentu saja. Anda bisa bekerja di kediaman Saya."













Pontianak, 08 Mei 2021 pukul 09.02 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top