13
Kerajaan Pengging adalah kerajaan tetangga yang terletak paling dekat dengan Kerajaan Boko. Jika di Boko, rakyat hidup dalam teror dan kelaparan karena sang prabu yang kerap haus darah; gemar berperang, dan secara harfiah memang akan meminum darah pada setiap bulan purnama guna melanggengkan kesaktiannya, sementara di Pengging rakyat jelata hidup dalam keadaan yang lebih tenang dan damai. Meski dengan hierarki dalam masyarakat yang terkesan tidak adil, tetapi setidaknya, mereka tidak perlu hidup dalam ketakutan jika sewaktu-waktu akan dimangsa sang raja. Untuk itulah, Pengging menjadi tempat ideal bagi Roro Jonggrang untuk melarikan diri.
Setelah kematian Gayatri, Jonggrang merasa tidak punya alasan lagi untuk bertahan di dalam istana ayahandanya. Bukan karena Jonggrang tidak menyayangi sang ayah, tetapi hidup dengan kebrutalan yang bahkan jauh lebih mengerikan ketimbang penampilan fisik Prabu Boko, bukanlah keputusan bijak. Jonggrang harus pergi dari sangkar emas itu agar kemurnian dan kesehatan jiwanya tetap terjaga.
Dalam kalut dan perasaan berkabung, Jonggrang yang telah berhasil meloloskan diri dari keraton Boko lantas melintasi perbatasan hingga tersesat di hutan. Hutan yang pernah dikunjunginya beberapa waktu lalu hingga nyaris meregang nyawa karena tenggelam di sungai. Jonggrang sangat ketakutan kala itu, tetapi berada di luar tembok keraton Boko ternyata jauh lebih menenangkan.
Dan,untuk kedua kalinya, Jonggrang bertemu dengan pemuda itu. Pemuda aneh yang menyelamatkan nyawanya di sungai, secara ajaib kembali menolongnya saat nyaris dirampok dan diperkosa di tengah belantara. Pemuda bernama Dewandaru itu seolah mengikutinya atau memang pertemuan mereka telah diatur oleh Sang Hyang Dewata Tunggal sedemikian rupa, Jonggrang tidak bisa menebaknya. Namun, ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang ia rasa cukup janggal. Bukan perkara kasta atau penampilannya yang begitu mencolok, tetapi keanehan pemuda itu kerap membuat Jonggrang berpikir jika ia berasal dari suatu tempat yang jauh.
Akan tetapi, kejadian di pondok perburuan di tengah hutan dalam pelarian menghindari para perampok, membuat Jonggrang ketakutan setengah mati kepada Dewandaru. Pemuda itu sukses mengintimidasinya, meski ia tak melakukan apa pun. Jonggrang yang menyamarkan namanya menjadi Malini sempat berpikir untuk melarikan diri dari pondok dan kembali menerobos belantara tanpa petunjuk arah. Namun, melarikan diri tengah malam untuk kembali tersesat bukanlah pilihan yang bijak. Binatang buas yang mengintai di dalam kegelapan akan sama menakutkannya dengan Dewandaru.
Jonggrang lantas memilih untuk bertahan dan pada akhirnya melihat sisi lain dari diri pemuda asing itu. Dewandaru sepertinya tidak begitu buruk. Setelah kejadian itu, Dewandaru tak mengacuhkannya, bahkan terkesan menghindar, seolah memberi kesempatan pada Jonggrang untuk meredakan rasa takut. Hal itu membuktikan jika Dewandaru memang tidak berniat mencelakainya, barangkali hanya menggertaknya.
Perasaan takut Jonggrang yang berangsur-angsur menghilang membuat tangis gadis itu meledak pada akhirnya. Di saat-saat seperti itu Jonggrang kembali mengingat kedukaannya, ia begitu merindukan Gayatri. Alih-alih mengisi perut dengan suguhan kentang dan ubi bakar yang ditemukan Dewandaru dalam pondok berburu itu, Jonggrang malah menangis, menumpahkan segala sedih yang dipendamnya sejak melihat eksekusi Gayatri.
Dewandaru yang semula mengabaikannya dan sibuk melahap makan malam pun dibuat kebingungan. Pemuda itu hanya mampu terdiam sambil sesekali berusaha menenangkan lewat kata-katanya.
"Maafkan aku, Malini. Aku sudah sangat keterlaluan tadi. Kau tenanglah, ibumu sudah berada di tempat yang lebih baik dari dunia ini. Percayalah."
Ucapan Dewandaru justru membuat tangis Jonggrang semakin kencang. Berbagai kecamuk emosi menderanya hingga satu-satunya cara terbaik adalah dengan meluapkannya menjadi air mata. Untuk beberapa saat lamanya Jonggrang menyembunyikan wajahnya dalam telapak tangan hingga tangis itu mereda dengan sendirinya saat air matanya nyaris kering. Namun, sesak di dada gadis itu tak kunjung enyah.
Jonggrang akhirnya memutuskan untuk mengangkat wajah, tak peduli jika genangan air mata itu tertangkap penglihatan Dewandaru. Ia membutuhkan seseorang untuk mendengarkan. Dan, wajah lelah berkantung mata milik Dewandaru adalah satu-satunya pemandangan yang menanti selain perabot alakadarnya di dalam pondok.
"Ayahku yang telah membunuhnya dengan biadab di depan mataku sendiri," tutur Jonggrang dengan muram. Suaranya masih dipenuhi emosi, tetapi dengan menceritakan hal itu kepada Dewandaru, Jonggrang merasakan sedikit celah yang melegakan di dalam dadanya.
Sementara, di hadapannya, Dewandaru mematung. Wajah mengantuknya yang rupawan sontak berganti dengan raut tegang. Akan tetapi, pemuda itu tak mengatakan apa-apa seolah tahu jika Jonggrang akan segera melanjutkan kata-katanya.
Setelah menyeka setetes air bening yang mengalir di pipi, Jonggrang melanjutkan curahan hatinya. "Beliau ibu asuhku, tetapi aku sangat menyayanginya layaknya ibuku sendiri. Dia telah merawatku dari kecil semenjak ibu kandungku meninggal."
"Aku ...aku minta maaf, Malini ...." Dewandaru berucap lembut. Pemuda itu terlihat hendak mengulurkan tangan menyentuh lengan Jonggrang, tetapi meragu dan nyaris menarik kembali tangannya.
Meski demikian, gerakan tiba-tiba itu membuat Malini terkejut. Trauma akan perlakuan kurang ajar yang dilakukan oleh Dewandaru kembali berkelebat dalam ingatan. Dengan kasar, Malini menepis tangan pemuda itu sembari menghadiahinya tatapan sengit.
Di hadapannya, wajah Dewandaru mendadak pucat. Mulutnya menganga barangkali hendak meluncurkan alibi. Namun, Malini tidak ingin mendengar apa pun lagi. Gadis itu menyesal telah bersikap lemah dan nyaris terlena akan sikap Dewandaru, padahal beberapa saat lalu pemuda asing itu telah berbuat lancang kepadanya. Harusnya ia tidak berbagi kisah sedihnya dengan orang asing, sebagaimana pesan mendiang Gayatri.
"Aku tidak---"
"Jangan macam-macam, ya, Kisanak, kalau kau tidak ingin mati di tanganku malam ini!" gertak Malini sembari beranjak dari meja, mengabaikan kentang bakar yang tidak disentuhnya sama sekali. Gadis itu menjauhi Dewandaru, tetapi enggan meninggalkan pondok itu pada tengah malam buta seperti ini. Ia lantas beralih pada satu-satunya dipan beralas anyaman daun lontar dan menguasainya. Sementara, sorot matanya masih lekat mengawasi Dewandaru.
"Astaga! Aku tidak melakukan apa pun, Nona," gerutu Dewandaru tanpa bergeser seinci pun dari tempatnya. Pemuda itu bahkan menyebutnya dengan panggilan yang aneh.
"Bagus. Aku akan tidur di sini. Dan, kau, Kisanak, bisa tidur di luar atau di mana pun kau suka asal tidak di dekatku!" Malini lantas membungkus jubah usangnya ke seluruh tubuh, sebelum berbaring memunggungi Dewandaru dengan gerakan kasar. Kesedihannya terjeda sejenak oleh kekesalan yang muncul tiba-tiba saat melihat gerakan tangan pemuda itu. Malini bersumpah tidak akan pernah mempercayai pemuda itu lagi.
***
Malam semakin larut, rinai gerimis samar-samar terdengar dari luar pondok. Namun, ada sesuatu yang membuat tidur Malini terganggu. Di antara rintik hujan yang menjejak dedaunan, terdapat bunyi derap langkah kaki kuda yang semakin lama terdengar semakin dekat. Malini nyaris mengira jika pendengaran samar itu hanyalah mimpi, tetapi ia salah.
Malini terlonjak seraya membuka mata dan mendapati kegelapan pondok di sekitarnya. Rupanya api Unggun yang sebelumnya menyala di luar pondok berburu itu telah padam, begitu pula lampu minyak di atas meja. Dalam cahaya yang temaram, Malini dapat melihat siluet tubuh Dewandaru yang tidur terduduk dengan kepala dan punggung rebah di atas meja kayu di tengah pondok. Punggungnya bergerak teratur. Pemuda itu rupanya termakan ancamannya hingga tak beranjak dari meja dan tertidur di sana.
Namun, Malini sama sekali tak bisa merasakan ketenangan, terlebih suara derap kuda itu terdengar semakin jelas di antara keheningan malam. Gadis itu yakin, ada lebih dari satu kuda yang mendatangi tempat itu. Dengan bergegas, Malini lantas menurunkan kakinya dari atas dipan dan kebingungan saat mendapati selembar kain tipis dan jerami menyelimuti bagian atas jubahnya. Apakah pemuda kurang ajar itu telah mendekati dan menyelimutinya dengan lancang?
Malini sangat ingin marah, menjambak rambut pemuda yang sedang tertidur pulas itu. Akan tetapi, ia tak memiliki banyak waktu, terlebih ketika derap kaki kuda itu terdengar berhenti mendadak di dekat pondok, barangkali di depan pintu pondok, tetapi Malini tidak begitu yakin. Gadis itu ngeri membayangkannya sehingga tanpa memeriksa terlebih dahulu, dengan panik ia mengedarkan pandang ke seisi pondok, lalu menemukan sebuah pintu tersembunyi di antara lemari penyimpan makanan. Pintu itu terletak berseberangan dengan pintu depan pondok yang sekilas terlihat seperti jendela.
Sempat terlintas dalam pikiran gadis itu untuk membangunkan Dewandaru terlebih dahulu dan mengajaknya meninggalkan pondok. Malini berasumsi jika para penunggang kuda itu adalah pemilik pondok berburu yang mungkin baru selesai melakukan perburuan mereka pada dini hari itu dan ingin beristirahat. Namun, tindakan tidak sopan Dewandaru kembali berkelebat dalam ingatannya. Malini masih mendendam dan menginginkan Dewandaru mendapat sedikit pelajaran. Dipergoki dan dihajar oleh pemilik pondok barangkali akan menjadi ganjaran setimpal bagi pemuda itu.
Maka, Malini bergegas meloloskan dirinya sendiri dari pintu belakang dengan nyaris tanpa usaha tanpa mengajak Dewandaru. Pintu itu hanya tertutup oleh sebilah palang kayu yang terpasang melintang. Rintik hujan dan angin malam yang menusuk tulang langsung menyambut gadis itu begitu daun pintu terbuka. Suasana di luar pondok bahkan jauh lebih gelap dari dugaannya hingga membuat Malini sejenak ragu untuk kembali melarikan diri menerobos belantara.
Setelah menutup kembali pintu itu dari luar, Malini akhirnya memutuskan untuk bersembunyi di balik sebatang pohon waru besar di belakang pondok sembari mengawasi orang-orang berkuda yang telah menyambangi pondok. Dari balik tirai gerimis dan kegelapan, samar-samar Malini mendapati setidaknya empat orang lelaki bertubuh kekar lengkap dengan tombak dan keris yang terselip di pinggang, sementara di bawah sebuah pohon di samping pondok terlihat empat ekor kuda yang tertambat.
Malini nyaris menahan napas saat membayangkan hal buruk yang mungkin menimpa Dewandaru. Pemuda yang tengah tertidur itu barangkali akan diseret keluar, kemudian diberi pelajaran oleh empat orang bertubuh besar itu. Dewandaru mungkin akan terluka parah atau barangkali meregang nyawa. Memikirkan hal itu membuat Malini sedikit menyesal. Bagaimana jika pemuda asing yang telah menyelamatkannya dua kali itu dihajar sampai mati?
Didorong oleh rasa penasaran dan perasaan bersalah, alih-alih pergi sejauh mungkin dari pondok berburu, Malini malah menempelkan tubuhnya semakin rapat pada batang kayu. Gadis itu ingin memastikan jika Dewandaru tidak akan mati dihajar. Lagi pula, ia merasa familiar dengan corak kain yang dikenakan oleh orang-orang yang menyambangi pondok. Jika ia tak salah menduga, orang-orang itu adalah para pengawal dari kerajaan Pengging.
"Ini sudah pasti si Hitam milikku. Wirahandaka pasti ada di dalam," ucap salah seorang pendatang yang lebih dulu menerobos masuk ke dalam pondok. Sementara, dua orang lainnya mengikuti dalam diam. Hanya langkah-langkah kaki beralas kulit mereka yang selanjutnya terdengar berdentam.
Jika Malini tidak salah dengar, sepertinya orang-orang itu mengenal Dewandaru. Hal tersebut membuat Malini semakin penasaran. Sedikit banyak, ia ingin mengetahui siapa sosok pemuda yang telah dua kali menyelamatkannya itu. Dari penampilan dan kain yang melilit di pinggangnya, Dewandaru tidak terlihat seperti pemuda biasa yang berasal dari kasta rendah. Dan, untuk membuktikan dugaannya itu, Malini harus mengetahui persis hubungan Dewandaru dengan orang-orang tersebut.
Malini lantas bergeser dari posisinya, keluar dari balik batang pohon yang besar dan berlumut, berencana mendekati pintu belakang pondok yang baru saja dilewatinya beberapa saat yang lalu. Namun, langkahnya surut kala bunyi ranting yang berderak di bawah telapak kakinya terdengar cukup keras, bahkan oleh telinganya sendiri. Malini rupanya telah salah langkah.
"Siapa di sana?!" Sebuah suara garang yang berasal dari dalam pondok membuat Malini kaget hingga kembali menyembunyikan diri di balik pohon Waru. Sementara, sesosok lelaki bertubuh kekar berjalan dengan langkah kasar lalu mengintip ke bagian belakang pondok dengan tatapan liar. Sebilah tombak terhunus pada salah satu lengan besarnya.
Untuk sesaat, Malini menyesali tindakannya. Tubuhnya menggigil, menempel pada batang waru yang berlumut seolah ingin menyembunyikan diri di dalam sana. Dalam hati Malini merapal segenap doa kepada Sang Hyang Dewata Tunggal agar keberadaannya di sana tidak diketahui si lelaki kekar.
Doa Malini agaknya didengar, lelaki kekar itu bergegas masuk ke dalam pondok setelah memastikan tidak ada siapa pun yang tertangkap pemandangannya. Kegelapan malam dan tirai gerimis telah menyamarkan sosok Malini. Saat langkah kaki berat itu menjauh, masuk kembali ke dalam pondok, Malini segera mengembuskan napas lega. Ia harus segera meninggalkan tempat itu, tetapi tidak dengan berjalan kaki seperti orang bodoh menerobos belantara.
Setelah menimbang sesaat, Malini akhirnya mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, lalu berjalan berjingkat mendekati samping pondok. Kaki telanjangnya berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi apa pun saat melintasi bagian samping pondok. Gadis itu berencana membawa kabur salah seekor kuda para prajurit Pengging.
Gerimis semakin lebat dan dalam sekejap berubah menjadi deras. Hal itu membuat Malini semakin leluasa dalam bergerak. Ia tak memedulikan lagi apa yang terjadi pada Dewandaru di dalam pondok, baginya kabur dengan menunggang kuda adalah keputusan yang terbaik. Ia hanya perlu menunggu beberapa saat di atas punggung tunggangannya mengitari belantara karena fajar akan segera menyingsing. Saat itulah ia akan mencari jalan keluar dari hutan.
Dengan sekali lompatan, Malini dengan cekatan telah berada di atas punggung salah satu kuda cokelat. Ikatan makhluk yang semula tertambat pada sebatang pohon itu telah terlepas, hingga Malini dapat dengan leluasa menghela tali kekangnya. Makhluk itu meringkik terlampau nyaring sebelum memacu kaki-kakinya bergerak menjauhi pondok, menerobos kegelapan belantara dini hari.
Pontianak, 3 Juni 2021 pukul WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top