11

Sejujurnya, Dewandaru menyimpan keraguan saat kaki-kaki tunggangannya melaju cepat di atas semak belukar. Meski, ia senang, Malini memeluknya dan sepertinya memasrahkan diri untuk dibawa ke mana saja, Dewandaru tetap saja merasa gamang karena tidak mengetahui persis ke mana si kuda hitam akan membawa mereka.

Matahari telah tergelincir dari puncak langit, nyaris mencapai peraduannya. Pencahayaan di hutan yang temaram dan remang-remang membuat ketakutan Dewandaru semakin nyata. Ia menoleh sekilas ke belakang, memandangi kelebat dan bayangan dedaunan dan pepohonan yang mendominasi tempat itu. Sosok para pengejarnya bahkan tak lagi terlihat dan terdengar. Seharusnya ia dapat merasakan sedikit kelegaan.

Namun, nyatanya, sejauh mata memandang, Dewandaru tak menemukan sedikit pun jalan keluar di antara rimbunnya belantara. Ia bahkan tak mengingat apakah jalur yang dilewatinya saat itu pernah ia tempuh sebelumnya. Semuanya terlihat hijau gelap, rimbun, dan tak tersentuh.

Demi menepis gusar, ia lantas membuka suara. Tali kekang ia sentak sekali dengan keras hingga si kuda hitam melambatkan jalannya. "Dari mana asalmu? Apakah kamu ingat jalan yang kamu tempuh saat masuk ke hutan ini?" tanyanya.

Hening menjeda selama beberapa detik hingga membuat kegusaran Dewandaru semakin bertambah-tambah. Namun, ia tahu persis jika Malini masih di balik punggungnya, mengeratkan pelukan di sekitar pinggangnya. Lalu terdengar embusan napas pelan yang hawa hangatnya menyentuh kulit punggung Dewandaru. "Ampun, Kisanak. Aku sebetulnya bukan berasal dari sini. Aku juga sama sekali tidak mengingat jalan masuk kemari. Jujur saja, aku tersesat."

Pengharapan Dewandaru yang membubung tinggi seketika runtuh. Malini ternyata sama seperti dirinya, orang asing yang melarikan diri. Akan tetapi, setidaknya, gadis itu bukanlah orang asing dari tempat dan waktu yang berbeda seperti dirinya.

Dewandaru mendengkus, agak terlalu keras hingga barangkali Malini yang menempel di punggung dapat merasakan sedikit kekecewaannya. Kuda hitam yang mereka tunggangi tidak lagi melaju seperti sebelumnya, melainkan hanya berjalan pelan seolah berputar-putar di dalam hutan yang semakin menggelap. "Sepertinya kita akan bermalam di tempat ini," sesal pemuda itu.

Pelukan di pinggang Dewandaru mengendur. Sepertinya, Malini sudah sedikit terbebas dari rasa takut atau barangkali gadis itu baru saja menyadari kelancangannya sedari tadi. "Bermalam di hutan liar sepertinya bukan ide yang bagus, Kisanak. Banyak hewan liar yang akan mendatangi kita terlebih jika kita menyalakan api," sahut Malini.

"Kau mungkin benar, Malini. Akan tetapi, kuda ini juga perlu makan dan beristirahat. Kita tidak bisa terus menungganginya sepanjang malam atau binatang ini akan mati." Dewandaru membantah dengan ketus. Tanpa sadar suaranya meninggi hingga membuat gadis yang duduk di belakangnya melerai pelukan.

Untuk beberapa saat lamanya kedua anak manusia itu hening dalam pikiran masing-masing. Sementara, hutan semakin gelap dan suara-suara aneka serangga menyambut malam semakin keras terdengar, bersahut-sahutan. Hanya dalam sekejap, hawa dingin menyelimuti tempat itu, bersamaan dengan matahari yang telah sepenuhnya lengser dari langit.

Dewandaru mengumpat sembari memeluk tubuhnya sendiri saat hawa dingin mulai kentara menggigit kulit telanjangnya. Hal itu diperburuk lagi oleh gigitan nyamuk hutan yang sama sekali tidak dapat ia hindari. Beberapa kali ia memukul tubuh dan wajahnya sendiri hanya untuk mengenyahkan serangan makhluk berdengung itu.

"Kita istirahat di sini dulu," putus Dewandaru dengan nada kesal.

Kuda tunggangannya serta Merta berhenti melangkah sembari meringkik pelan. Malini yang diam seribu bahasa pun refleks melompat turun dari punggung si hitam, sebelum Dewandaru melakukan hal yang sama.

Setelah menambatkan kudanya pada salah satu batang pohon terdekat dan membiarkan makhluk itu memamah rumput liar di sekitarnya, Dewandaru mendekati Malini yang tengah berdiri gusar. Meski dalam keadaan yang nyaris gulita, entah mengapa kulit pucat dan postur semampai gadis itu tetap menjadi perhatian Dewandaru.

"Kita tidak bisa bermalam di sini, Kisanak." Malini berbalik ke arah pemuda itu seraya merapatkan kain yang menyelubungi bagian atas tubuhnya.

"Aku tahu," sahut Dewandaru. Ia mengembuskan napas panjang, lalu membuang pandangan pada kegelapan hutan di sekitarnya. Mereka tidak mungkin bermalam di sana. Pun, tidak masuk akal jika melanjutkan pencarian jalan keluar. Sementara, ia tidak tahu persis di mana mereka berada kini. "Kau punya rencana?"

Dewandaru menoleh pada Malini yang tampak terkejut. Cahaya bulan samar yang menerobos ranting pepohonan menampilkan wajah cantik Malini yang sedang dilanda gusar. "Hei, Kisanak. Bagaimana mungkin aku punya rencana, aku di sini sama sepertimu, tersesat dan nyaris celaka. Sungguh tidak masuk akal jika Anda bertanya padaku?!"

Kecantikan Malini yang diam-diam dikagumi Dewandaru menguap sudah. Gadis itu kini berkacak pinggang dengan sorot mata diliputi amarah. Temperamennya sungguh berbeda dengan parasnya yang anggun. Seketika saja berbagai pikiran jahat berkelebat di kepala Dewandaru untuk membungkam gadis di hadapannya. Namun, akal sehatnya masih bekerja. Dengan tangan terkepal, ia berusaha menenangkan diri.

Seumur hidupnya, Dewandaru tidak pernah berpikir akan tersesat di hutan, terlebih pada tempat dan waktu yang asing seperti saat ini. Lain halnya jika tersesat di kota, barangkali ia akan menjadi satu-satunya pemuda yang bisa bertahan dan hidup makmur di kota mana pun. Paras rupawan dan mulut manisnya dapat menjamin kehidupannya. Akan tetapi, kini keadaannya jauh berbeda. Ketampanannya tidak akan berarti apa-apa di dalam belantara yang nyaris gulita ini.

"Kita hanya akan membiarkan kudaku beristirahat sebentar sambil kita pikirkan cara agar kita dapat keluar dari tempat ini," ucap Dewandaru pada akhirnya. "Kau, bisa istirahat dulu. Aku akan berjaga."

"Anda pikir, saya akan percaya begitu saja dengan lelaki seperti Anda, Kisanak! Saya tidak perlu istirahat!" sembur Malini sembari berbalik, meninggalkan aroma bunga kenanga samar. Gadis itu menjauhi Dewandaru dan berdiri di bawah sebatang pohon yang paling besar di sekitar mereka.

"Astaga! Dasar gadis tidak tahu diuntung. Terserah kau saja!" bentak Dewandaru tak kalah sengit. Ia pun berbalik, memilih duduk di dekat kudanya yang tengah memamah rumput ketimbang berada di dekat si gadis pemarah. Napasnya menderu penanda emosi yang sedang berkecamuk di kepalanya. Jika mereka tidak tersesat di hutan, barangkali Dewandaru akan menunaikan pikiran jahatnya kepada Malini untuk sekadar memberi gadis itu pelajaran. Namun, Malini beruntung karena saat ini bukanlah waktu yang tepat.

Dengan bersungut-sungut, Dewandaru menyandarkan punggungnya pada batang pohon tempat si kuda hitam tertambat. Makhluk itu sama sekali tidak mengacuhkannya saat ia duduk meluruskan kaki. Rasa lapar agaknya membuat kuda hitam terlampau fokus dengan rerumputan di sekitarnya.

Melihat makhluk itu terus mengunyah, Dewandaru seolah tersadar akan rasa lapar yang mulai menggerogotinya. Suara gemuruh samar menjadi penanda jika cacing-cacing yang menghuni ususnya tengah meraung kelaparan. Namun, tentu saja tak ada apa pun yang dapat dijadikan santapan di sekitarnya. Satu-satunya cara untuk mengenyahkan rasa lapar ini adalah dengan tidur.

Dewandaru segera saja menyandarkan kepalanya pada pohon yang telah menopang punggungnya sembari menutup kelopak mata. Hanya dalam sekejap saja, suara-suara serangga malam yang memenuhi hutan menjadi samar dan sangat jauh. Dewandaru pun jatuh tertidur.

***

Suara teriakkan Malini seketika membangunkannya dari tidur singkat. Dewandaru sontak melompat dari posisinya dengan panik sembari mengedarkan pandangan ke sekitar dengan gelagapan. Kegelapan hutan melingkupinya andai saja cahaya bulan yang tengah bertakhta di puncak langit tidak memberikan penerangan pada salah satu pohon besar tempat Malini beristirahat sebelumnya. Gadis itu terlihat mematung dengan jerit tertahan. Sementara, di sisi Dewandaru, kuda hitam tengah meringkik gusar seolah menyadari bahaya di dekatnya.

Setelah mengerjap dan mengucek matanya beberapa kali, barulah Dewandaru menyadari bahaya yang mengincar Malini. Samar-samar dalam penerangan cahaya bulan, di pundak gadis itu melingkar seekor ular besar, barangkali sejenis piton yang sekilas mirip dahan pohon.

Saat kesadarannya telah terkumpul sempurna, Dewandaru serta-merta mendekati gadis itu. Namun, langkahnya terhenti beberapa jengkal dari posisi Malini.

Malini menatapnya dengan alis mengernyit. Wajah beningnya terlihat pucat karena ketakutan. Gadis itu menyorot Dewandaru dengan tatapan permintaan tolong yang kentara, meski tak sepatah kata pun terucap.

Dewandaru mengangguk pelan, membalas tatapan gadis itu dengan ngeri. Ia sedang mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk menyelamatkan Malini dari lilitan yang mungkin saja dapat mencelakakannya.

"Jangan bergerak," ucapnya pelan. Pandangan pemuda itu lantas menyusuri keremangan di sekitarnya, rerimbunan rumput setinggi lutut dan akar timbul berlumut di bawah kakinya hingga tatapan itu berhenti pada sebilah patahan ranting.

Dengan gegas dan berhati-hati, Dewandaru meraih patahan ranting itu. Benda itu satu-satunya yang memungkinkan untuk dijadikan penyelamat. Tanpa membuang waktu lagi, Dewandaru mendekati Malini dengan langkah pelan, meski rerumputan dan dedaunan kering di bawah kakinya berderak samar. Sementara, pandangannya terpaku pada makhluk melata yang bergelayut di pundak Malini.

Pada jarak tak lebih dari satu lengan orang dewasa Dewandaru menghentikan langkah. Kakinya membentuk kuda-kuda pertahanan seolah akan menyerang, kuda-kuda yang dipelajarinya di kelas karate. Dengan gerakan perlahan, sebelah lengannya yang menggenggam patahan ranting terulur dengan ujung runcing yang membentuk semacam pengait mengarah pada ular di bahu Malini.

Gadis itu serta-merta menutup kelopak matanya rapat-rapat sembari menggigit bibir guna menahan jeritan yang nyari keluar dari mulutnya. Malini barangkali memahami jika jeritannya mungkin saja dapat berujung pada sesuatu yang lebih mengerikan.

Sementara itu, pengait pada patahan ranting Dewandaru telah berhasil mencapai makhluk melata yang terlihat sama sekali tidak bergerak itu. Salah satu ruas tubuh ular besar itu akhirnya berhasil terkait pada ujung ranting yang diulurkan Dewandaru.

Dengan lengan gemetaran, Dewandaru berusaha menarik makhluk itu untuk melemparkannya menjauhi Malini. Akan tetapi, belum bergeser terlalu jauh, kepala binatang itu tiba-tiba bergerak dan meliuk ke arah Malini hingga sontak membuat gadis itu menjerit ketakutan.

"Sial!" desis Dewandaru yang refleks melemparkan ranting yang membawa serta sebagian besar ruas tubuh si ular. Bersamaan dengan itu, Malini pun bergegas menepis sebagian tubuh ular yang masih melingkari pundaknya, kemudian berlari ke arah Dewandaru dan berlindung di balik punggungnya.

Ular besar itu menggeliat di tanah seolah marah dengan perlakuan sepasang anak manusia itu. Suara desis mengerikan keluar dari mulutnya yang membuka dan menjulurkan lidah seolah menantang.

Tanpa meminta persetujuan Malini, Dewandaru segera saja menyeret pergelangan tangan gadis itu dan membawanya menjauh ke arah kuda hitam. Dengan gesit, pemuda itu melerai ikatan pada batang pohon dan menuntun Malini menaiki punggung kuda terlebih dahulu. Setelah Dewandaru menaiki punggung si hitam seraya memeluk Malini dari belakang, ia segera menghela tali kekang melaju meninggalkan tempat itu.

"Sekarang, apa rencanamu, Nona?" bisiknya penuh penekanan di telinga Malini. Bau kenanga yang menguar dari rambut dan tengkut Malini menyeruak ke dalam penghidunya, membuat Dewandaru nyaris kehilangan akal.

Di dalam dekapannya, Malini seolah membeku. Gadis itu tidak menoleh, tetapi Dewandaru tahu, tidak ada lagi kemarahan di sana. "Tolong, bawa aku keluar dari hutan terkutuk ini, Kisanak."










Pontianak, 23 Mei 2021. Pukul 23.52 WIB (belum revisi).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top