1

Dewandaru tidak pernah meminta untuk dilahirkan dengan wajah kelewat tampan. Pun tak pernah berharap untuk memiliki kepiawaian dalam berkata-kata, terutama merayu kaum wanita. Namun, agaknya di bawah naungan takdir serupa itulah dia dilahirkan. Wajah tampan dan mulut manis lekat dengan citra diri yang ia miliki, sehingga tidak mengherankan jika Dewandaru digilai para wanita.

Paramitha Hermawan adalah gadis kedua dalam sepekan yang memaksa untuk bertemu dengannya setelah menghabiskan one night stand dalam sebuah pesta. Dewandaru bahkan sudah tak mengingat kapan dan di mana pesta yang menjadi muasal pertemuannya dengan gadis itu. Setelah beberapa hari Paramitha menerornya dengan panggilan dan pesan yang kerap ia abaikan, akhirnya gadis itu nekat mencarinya ke kampus.

Pemuda berambut kecokelatan dengan highlight pirang menyala itu baru saja hendak mendudukkan bokongnya di ruangan kelas mata kuliah Komunikasi Massa setelah nyaris seminggu membolos, ketika seorang gadis mengetuk pintu ruangan dan langsung menerobos masuk seraya menatap tajam padanya. Dewandaru yang tak menduga kedatangan Paramitha lantas menyelinap keluar kelas melalui arah yang berlawanan dengan kedatangan gadis itu. Bunyi derit kursi besi yang dia senggol seketika membuat kelas menjadi gaduh. Sorakan dan ejekan teman-temannya menjadi pengiring lolosnya Dewandaru dari kelas Komunikasi Massa. Dia akhirnya membolos lagi.

Dewandaru berlari kencang menyusuri lorong kampus yang dipadati mahasiswa. Napasnya memburu, sementara keringat membanjiri pelipis. Bagian belakang kemejanya menggelap oleh bayang keringat yang membasahi punggung. Sesekali tubuhnya menabrak orang yang menghalangi jalur pelariannya. Namun, ia tak memedulikan teriakan marah dan umpatan korban tabrak larinya.

Dewandaru memang selalu berlari dalam setiap fase kehidupannya. Pelarian panjang yang bermula sejak ia masih seumuran bocah sembilan tahun. Pelarian dari pertengkaran ayah dan ibunya yang tak berujung. Pelarian yang lantas mengubah keseluruhan jalan hidupnya hingga kini.

Bukankah rumah seharusnya menjadi tempat untuk kembali dan mereguk kebahagian sebanyak-banyaknya, terutama bagi bocah laki-laki kecil yang haus kasih sayang? Alih-alih mendapati hal semacam itu, Dewandaru kecil malah selalu dihadapkan dengan pertengkaran-pertengkaran kedua orang tuanya. Ayahnya, sebagaimana yang ditudingkan sang ibu, selalu berulah, berkhianat dengan para wanita, sementara ibunya sibuk bekerja dan mengurusi keluarga. Kasih sayang yang harusnya didapatkan secara gratis oleh Dewandaru kecil, sama sekali tak diperolehnya. Tak ada kenangan indah yang dapat dia ingat, selain kegemaran sang ayah mempermainkan para wanita dan melukai hati ibundanya. Dengan kabur dari rumah, setidaknya Dewandaru kecil beranggapan jika ia tak perlu melihat perilaku sang ayah dan penderitaan sang ibu. Namun, ternyata ia salah, kenangan buruk itu, meski sedikit telah melekat dalam ingatannya hingga sekarang.

"Dewandaru, tunggu!"

Lamunan pemuda itu sontak buyar ketika teriakan sakit hati Paramitha terdengar lagi. Dewandaru menoleh sekilas untuk mengetahui posisi pemburunya, sebelum memacu tungkainya lebih cepat. Sebagai atlet kampus yang juga jago bela diri, melarikan diri adalah perkara kecil bagi Dewandaru. Beberapa kali ia berada dalam situasi yang sama, berlari dari kejaran para wanita, atau berkelit dari buruan para bodyguard mereka dan selalu berakhir tanpa tertangkap. Intinya, Dewandaru selalu berhasil kabur dari pertanggung jawaban.

Beberapa meter di belakangnya terlihat seorang gadis berambut pendek sebahu dengan wajah diliputi kemarahan dan beberapa pemuda berbadan kekar yang mengiringi sedang mengejarnya. Gadis itu meneriakkan namanya berulang-kali dengan wajah merah padam, pengejawantahan dari amarah yang menggelegak. Sementara tiga orang pemuda yang menyertainya bertampang tak kalah gusar.

"DEWANDARU ADHITAMA! Jangan lari kamu!" Gadis itu berteriak lagi. Gadis itu melepas sepatu berhak tinggi yang semula dikenakannya, kemudian menjinjingnya sambil berlari.

Dewandaru tetap tak berhenti. Baginya, perempuan seperti Paramitha tidak boleh diberi kesempatan lebih atau ia akan terperangkap dalam sebuah ikatan yang akan mengungkung segenap kebebasan yang ingin ia reguk sebanyak-banyaknya selagi muda.  Dia tidak ingin terikat. Komitmen menurutnya seumpama kepalan tangan yang merengkuh terlalu kencang. Alih-alih mengamankan apa yang berada di dalam genggaman, hal itu justru akan menghancurkan, sebagaimana yang telah ia lihat dan alami dari orang tuanya sendiri.

"DEWA!!"

Lolongan gadis itu terdengar lagi. Kali ini suaranya terdengar jauh dan samar-samar. Jarak di antara mereka sudah terlampau kentara. Namun, Dewandaru tak sedikit pun memelankan laju tungkainya. Orang-orang di sepanjang pelarian mulai menaruh atensi.

Sekilas, dia melirik Casio hitam yang melingkar manis di tangan kirinya, sebelum kembali fokus pada jalanan yang membentang di hadapan. Sepasang tungkainya masih melaju. Dia telah berhasil meloloskan diri dari keramaian lorong, hanya beberapa langkah lagi dari pintu keluar utama gedung perkuliahan, saat dua orang pemuda bertubuh besar seketika menghadang jalannya.

Dewandaru sama sekali tak mengenal dua pemuda tersebut, tetapi saat salah satunya mulai mengayunkan tinjuan ke arah wajahnya, mau tidak mau dia berbalik melawan. Suara jeritan memenuhi lobi gedung kala perkelahian di antara Dewandaru dengan dua pemuda bertubuh besar itu tak dapat lagi terhindarkan.

Sebagai pemilik sabuk hitam karate, Dewandaru pada awalnya selalu berhasil menghindari serangan keroyokan dua lelaki itu. Tinjuan dibalas tinjuan. Tendangan dibalas tendangan. Namun, pada akhirnya satu atau dua pukulan berhasil menghantam wajah mulusnya dan hal itu membuat Dewandaru berang.

Dengan gerakan cepat, pemuda itu meraih kursi yang kebetulan berada tak jauh dari posisinya. Menghantamkan benda itu pada kedua penyerangnya dengan membabi buta, sebelum melemparkannya ke sembarang arah. Orang-orang menjerit ketakutan saat kursi yang terlempar itu menghantam lantai. Alih-alih melerai, orang-orang yang menonton perkelahian mereka malah berlarian menghindar.

Dewandaru lantas kembali memacu tungkainya setelah membuat kedua penyerangnya tak dapat bangun untuk sementara waktu. Terlebih, di antara teriakan ketakutan orang-orang di sekitarnya, beberapa orang petugas keamanan kampus mulai mendatangi tempat itu dengan tergesa-gesa.

"Hei, berhenti!" Salah satu satpam meneriakinya, lalu meniupkan peluit dalam dengkingan panjang.

Dewandaru menoleh sekilas dan langsung menyadari jika jarak yang membentang di antara dirinya dan para petugas keamanan itu sudah tak mungkin dikikis. Senyuman miring tersungging pada bibir tipisnya, mengejek. Dia telah keluar dari gedung perkuliahan dan kini sedang melaju menuju gerbang utama kampus. Kali ini, seperti sebelumnya, ia telah berhasil kabur lagi.

Sebuah sedan merah mengiringi laju langkah Dewandaru. Pemuda itu lantas memelankan larinya begitu mengenali mobil yang kemudian berhenti menghadang langkahnya. Kaca hitam mobil itu perlahan menurun, lalu menampilkan sesosok pemuda berkacamata hitam yang menyunggingkan seulas senyum. Sosok itu menyugar sekilas rambut hitam gondrongnya.

"Udah gue bilang, nggak guna masuk kelas sekarang. Tambah masalah aja, 'kan? Mending kita bersenang-senang."

Dewandaru mengatur napasnya yang memburu, setelah berhenti berlari. Wajah blasterannya melengos menanggapi ajakan menyimpang yang menggiurkan itu."Sialan Lo! Emang kita mau ke mana, sih?"

"Masuk aja dulu," ajak pemuda berambut gondrong itu seraya melepas kacamata hitamnya. Piercing perak yang mengilap di salah satu alisnya bergerak setiap kali ia berbicara.

Dewandaru menurutinya. Lagi pula dia takut tertangkap petugas keamanan dan Paramitha beserta para bodyguard-nya yang mungkin saja masih memburu Dewandaru. Bergegas pemuda berparas tampan itu memasuki mobil sedan merah, duduk di samping pengemudi. Setelahnya, mobil itu lantas bergerak menembus jalanan Yogyakarta yang padat.

"Billy ngajakin taruhan." Pemuda di balik kemudi akhirnya buka suara, setelah beberapa menit mereka berkendara meninggalkan gerbang kampus.

Dewandaru mengernyit bingung. "Taruhan?"

Pemuda itu mengangguk antusias. Jari-jarinya yang menggenggam kemudi, mengetuk-ngetuk seirama musik yang menghentak dari speaker mobil. "Lo ingat nggak Nirmala, anak baru yang jadi primadona waktu ospek kampus? Yang nyaris Gue cium di depan anak-anak."

"Nirmala ... Nirmala, yang mana, ya?" Dewandaru tampak berpikir. Namun, sedetik kemudian bola matanya berpijar setelah menemukan sesuatu di dalam ingatan. "Gue ingat! Dia itu bukannya cewek pemandu di Prambanan, 'kan? Kok gue enggak pernah lihat dia lagi di kampus, ya, Gus?"

Pemuda bernama Bagus itu terkekeh. "Terang ajalah, Wa. Beberapa hari setelah ospek dia langsung berhenti kuliah. Gue rasa dia takut digangguin sama Gue."

Dewandaru menyambut kelakar Bagus dengan tawa renyah. "Nggak mungkin ada cewek yang takut kalau digangguin sama Lo. Lo kan tajir dan keren. Yang ada malah mereka ketagihan."

Mereka berdua tergelak bersamaan.

"Bukannya Lo juga gitu? Omong-omong, aku dan Billy pengen mengajukan tantangan." Bagus menggantung kalimatnya sambil mengamati respon Dewandaru. Pemuda itu menaik-turunkan alisnya dengan gerakan jenaka. Seulah senyum mengembang di bibir gelapnya.

"Maksud Lo?"

Bagus kembali menyunggingkan senyum misterius. Punggung Dewandaru seketika menegang pada sandaran kursi mobil begitu mengenali raut wajah itu. Selama bertahun-tahun berteman dengan pemuda Tegal di balik kemudi itu, Dewandaru rasanya sudah sangat mengenali senyum yang akan membawanya pada petualangan-petualangan atau bahkan petaka yang tak terduga.

Bagus berdeham. "Nirmala sekarang sedang bertugas di Prambanan. Lo butuh uang, 'kan? Billy akan bantu Lo. Caranya gampang, Lo hanya harus berhasil mencuri ciuman Nirmala dan uang itu akan jadi milik Lo. Bagaimana? Gampang banget 'kan?"

Dewandaru tergelak. "Itu bukan perkara sulit. Nggak ada yang lebih susah?"

Bagus meliriknya. Satu tangan terangkat dari kemudi. Jari telunjuknya lantas menyentuh bibir sendiri, memberi kode. "Bukan ciuman sepintas lalu ya, tapi ciumannya harus di sini, gimana?" tantang Bagus.

"Kalian gila, ya? Kalau dia nggak terima, gue bisa dilaporin ke Polisi dengan tuduhan melakukan pelecehan." Dewandaru memprotes. Tawanya seketika sirna.

"Katanya Lo perayu ulung. Buktikan dong sama kami. Lagi pula Nirmala 'kan cantik banget tuh, Lo nggak minat?" Bagus kembali memancingnya. Seringai jahil kembali terbentuk pada lengkung bibirnya dan Dewandaru tak menyukai hal itu. Dia tahu persis jika Bagus tidak akan berhenti sebelum keinginannya terpenuhi.

Dewandaru mengembuskan napas panjang. Sejujurnya, kecantikan Nirmala sudah tak diragukan lagi. Hanya saja, bagi Dewandaru, Nirmala bukan jenis gadis yang akan dia permainkan. Saat gadis itu menjadi peserta ospek Fakultas Ilmu Komunikasi beberapa bulan yang lalu, Dewandaru sebenarnya telah menargetkan gadis itu sebagai incaran. Namun, setelah tamparan keras yang diterima Bagus karena nyaris mencuri ciuman Nirmala di depan umum, Dewandaru mafhum jika gadis itu bukanlah tipe gadis yang akan dengan mudah dapat ia taklukkan.

"Minatlah," sahutnya setelah akhirnya berhasil mengenyahkan keraguannya sendiri. Gadis seperti Nirmala sudah barang tentu pantang untuk dilewatkan seorang Dewandaru. Lagi pula, iming-iming uang yang ditawarkan oleh Bagus dan Billy benar-benar menggiurkan.

"Sip. Gue kontak Billy, ya. Kita janjian ketemu di Prambanan sekarang."

"Sekarang banget?" Netra cokelat Dewandaru membelalak. Entah mengapa selarik keraguan samar menyusup di hatinya saat itu. Namun, ia berusaha mengabaikannya.

Dewandaru mengangguk mantap, membuang pandangan pada jalanan Jogja yang mulai dipadati kendaraan. Dalam benaknya terbayang wajah ayu Nirmala dan bibir ranumnya yang merah merona. Dia harus berhasil memenangkan taruhan itu.









Pontianak, 1 November 2020 pukul 19.46 WIB



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top