30: Epilog
Spesial Part, nih. Aku bakalan pake POV pertama buat Zulfa.
Percayalah, sesuatu yang selalu melibatkan Allah tak akan pernah membuatmu kecewa. Justru bahagia, karena Dia lebih mengetahui apa yang kau butuhkan, bukan yang kau inginkan.
_DewiMaharani_
Minggu berganti dengan cepat, dan Alhamdulillah, aku sudah bisa mengikis rasa untuk Zikri. Aku lebih menyibukkan diri dengan menuntut ilmu. Karena aku tahu, perempuan adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya. Dan pastinya mencoba melupa dengan menuntut agama lebih berguna daripada menyibukkan diri pada hal-hal yang mengandung lumuran dosa.
"Zul, ke atas sana! Ganti baju dulu, sayang! Bajunya udah ibu siapain, kok!" ujar Ibu yang dibalas anggukan olehku.
"Makasih, Bu!"
"Iya, sama-sama. Ibu takut, kalo pilih sendiri, bakalan lama. Jadi pilih aja apa yang menurut ibu cocok!" jelas Ibu diiringi senyuman.
***
Aku menatap pantulan wajah di cermin sembari memperhatikan gamis dan jilbab berwarna senada yang aku kenakan, yang dipilih Ibu. Hari ini, kata Ayah, orang yang akan mengkhitbahku akan datang bersama keluarganya. Aku tak tahu siapa lelaki itu, Ayah benar-benar tak memberitahuku.
Setelah suara Ibu yang menyuruhku ke bawah terdengar, aku langsung turun.
"Gimana? Deg-degan enggak?" Ayah menatapku diirngi senyumannya.
"Sedikit. Tapi, lebih banyak penasaran, Yah!"
Aku menatap ibu dan ayah yang tampak serasi, disusul dengan kedua adikku yang berada di belakang mereka.
"Ini, bakalan ada apa, sih, Yah?" Si Abang, alias Rafa menatap Ayah heran.
"Kakak kamu bakalan ada yang khitbah, Fa!" jawaban Ayah membuat Rafa mengangguk.
"Oh, yang kaya waktu itu, ya? Yang pas ada Pa-"
Mendengar nama P walau tak tuntas, membuatku menunduk dalam. Aku sangat yakin Rafi akan menyebut nama Zikri.
"Udah, Fi, lupain aja!" Aku mendengar Rafa berujar pelan. Tapi anehnya, kenapa Ayah tidak merespon apapun.
Ah, itu jadi membuatku semakin penasaran.
"Kayaknya sebentar lagi dia datang! Kita tunggu di ruang tamu aja, yu!" Aku langsung menuruti perintah Ibu diiringi Ayah dan adik-adikku.
"Zul, kamu penasaran dia siapa?" tanya Ayah setelah aku duduk di dekat ibu.
"Banget, Yah!"
"Kamu pasti bakalan udah kenal sama dia kok!"
Aku menatap Ayah bingung, orang yang aku kenal? Siapa? Apa jangan-jangan Zikri? Siapa lelaki yang aku kenal dekat selain dia? Aku sangat yakin, dia benar-benar Zikri. Jadi Zikri yang bakalan khitbah aku malam ini? Ah, jadi enggak sabar!
Dasar aku! Katanya udah mulai mengikis rasa buat dia, tapi pas denger dia yang bakalan khitbah aku kok rasanya seneng banget? Ditambah enggak sabar lagi! Hampir satu tahun aku tidak bertatap muka dengannya, jadi wajar saja jika aku merasa senang dia akan hadir malam ini, di sini!
"Cie, senyum-senyum sendiri!" ledek si bungsu yang membuatku menatapnya.
"Apa sih, Dek?"
"Godain aja dulu kakakmu itu. Kalo nanti udah nikah, mana bisa bercanda tiap hari!"
Perkataan Ayah sepertinya membuat pipiku merona. Aduh, Ayah, please, jangan kaya gitu! Jantung ini jadi deg-degan, kan! Antara seneng dan penasaran pake banget.
"Liat, Bu, anak kita pipinya merona!" Detik itu juga aku langsung menutup wajah dengan telapak tangan.
"Ciee malu, ya?" MasyaAllah, Ibu malah ikut-ikutan menggodaku!
"Kayak ada suara mobil tuh, Yah!"
Mendengar suara Rafi membuatku menurunkan lengan. Jujur, jantungku berdetak sangat kencang. Aku mendadak jadi gugup, dan otomatis aku langsung menggenggam tangan Ibu.
"Gugup, ya?" Suara lembut Ibu membuatku mendongak.
Aku mengangguk pelan.
"Ibu juga waktu mau dikhitbah sama ayah kamu rasanya gugup. Ya, meski Ibu tau bakalan dikhitbah sama siapa. Beda ceritanya sama kamu. Tapi sama kok rasanya mau dikhitbah itu gimana. Dag-dig-dug gimana gitu!" jelas Ibu sembari melirik Ayah yang tengah menatap kami.
"Bener banget, Bu. Rasanya itu dag-dig-dug gimana, gitu! Apalagi aku ditambah sama rasa penasaran, Bu!"
Setelah mencurahkan isi hati pada Ibu, terdengar suara Ayah yang melangkah untuk membuka pintu.
Aku langsung menunduk dan merasakan usapan tangan ibu yang begitu menenangkan.
Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan agar tepat tenang dan mengurasi rasa penasaran.
"Assalamualaikum!" Terdengar suara salam dari beberapa orang. Otomatis aku langsung menjawabnya dan mendongak perlahan.
Aku kembali menunduk saat mereka melangkah dan duduk tepat di hadapanku. Aku belum bisa menjabarkan mereka, karena aku hanya menatap mereka beberapa detik saja, jadi aku tak tahu siapa yang akan mengkhitbahku. Entah Zikri atau bukan. Jadi rasa penasar masih menguasai diriku, malah sekarang semakin penasaran. Ditambah jantung ini hampir gila saking berdetak dengan abnormalnya.
"Bismillah. Kami sekeluarga datang ke tempat bapak, untuk niat baik. Saya atas nama anak saya berniat untuk mengkhitbah putri bapak yang bernama Zulfa Salsabila Putri!"
Mendengar suara paruh baya itu membuatku mendongak. Aku dapati seorang pasangan yang sepertinya baru berumur lima puluh tahun, dengan dua anak lelaki. Aku jadi dibuat bingung siapa yang akan mengkhitbahku. Dari ciri-cirinya membuatku melebur ekspektasiku. Sepertinya dia bukan Zikri. Ayah Zikri dan Ibunya pasti aku tahu, meski kita pernah bertemu beberapa waktu lalu. Jika itu Zikri, dia akan membawa adik perempuannya, bukan adik atau kakak laki-laki.
"Tapi sebelumnya, izinkan anak saya untuk mengutarakan niatnya pada putri bapak!" Aku lihat Ayah mengangguk.
Pria yang barusan berbicara mengusap pundak seorang pria yang menunduk. Kemudian, lelaki yang menunduk itu mendongak.
Matanya bertabrakan dengan penglihatanku. Sebentar, melihat dia, aku merasakan de Javu. Aku seperti pernah melihat dia siapa, tapi aku tak tahu melihatnya di mana. Benar, dia bukan Zikri! Ekspektasiku salah besar! Harapanku terlalu mendahului takdirnya.
"Assalamualaikum, Zulfa!" Suara baritonya membuatku merasakan rasa yang aneh.
"Wa'alaikumusallam warahmatullahi wabarakatuh," jawabku diirngi senyuman.
"Sebelum saya mengutarakan niat saya ke sini, izinkan saya untuk memperkenalkan diri. Siapa tahu, kamu lupa. Karena sebelumnya kita pernah bertemu!"
Bertemu? Kapan? Dan di mana? Dengan pelan, aku mengangguk untuk meresponsnya.
"Saya, Arjuna Sanjaya. Kamu sudah ingat?"
Aku menggeleng! Polos sekali aku di hadapannya. Dan kenapa juga dia tidak memberitahu kapan da di mana kita bertemu! Aku jadi greget sendiri, nih!
"Kita pernah bertemu sebelumnya di rumah sakit. Waktu itu, kamu tengah menunggu teman kamu yang namanya Zikri." Dia menjeda kalimatnya, dan dari situ serpihan kejadian mulai menyapaku lagi.
"Alhamdulillah, sekarang aku mulai ingat," kataku yang membuat dia tersenyum.
"Saat itu saya yang menanganinya. Ketika saya memberi tahu kamu, ada rasa yang membuat saya berdesir hebat ketika mata kamu menatap saya." Dia menunduk sebentar, "dulu saya seorang nonmuslim. Saat kamu datang bersama Zikri, pada saat itu saya tengah belajar agama Islam. Dan ketika melihat kamu, saya menjadi semakin jatuh cinta terhadap berislam."
Aku menikmati setiap perkataan yang terlontar dari bibirnya. Terasa ada sesuatu yang tak bisa aku definisikan lewat kata.
"Setelah saya berislam, saya juga bermanhaj salaf. Begitu pun orang tua saya. Kita juga satu tempat kajian. Setelah saya cari tahu tentang kamu, saya memberanikan diri untuk bertanya-tanya pada Ayah kamu. Kebetulan Ayah kamu dan Papa saya juga dekat, jadi bisa mempermudah komunikasi, ditambah lagi kita juga satu kajian. MasyaAllah, saya kagum pada Skenario-Nya. Allah benar-benar telah mempermudah segalanya hingga detik ini."
Dia terdiam, dan menatapku sembari berkata, "Kamu mau terima khitbah saya? Jadi istri buat anak-anak saya?"
Mendengarnya membuatku beku.
"Saya enggak minta jawaban kamu saat ini. Karena saya juga tahu, kamu belum kenal lebih jauh siapa saya!"
Aku mengangguk pelan.
"Izinkan aku untuk melibatkan Allah dalam hal ini!"
Arjuna mengangguk.
"Kalian mau ngobrol-ngobrol dulu?" Suara Ayah membuatku menoleh cepat.
"Boleh, Om," jawab Arjuna cepat, "Dan, ikut Aa, yuk!"
Kemudian lelaki yang berada di samping Arjuna mengangguk.
"Mau ngobrolnya di mana, Zul?"
"Di taman, aja, ya, Yah!" ujarku yang langsung diangguki Ayah.
"Ikuti Zulfa, dulu Juna!" Mendengar ucapan Ayah, lelaki itu mengangguk dan berjalan mengekoriku beserta adiknya.
"Salam kenal Bu Guru!" katanya membuka pembicaraan, setelah kita berada di taman.
Aku menatapnya sekilas, "Salam kenal juga Pak Dokter!"
"Maaf, aku langsung khitbah kamu tanpa ta'aruf dulu!"
Gaya bicaranya mulai berubah. Mungkin dia ingin percakapan ini tidak kamu. Dan pastinya tidak terlalu formal.
"Iya enggak apa-apa!" Jujur, meski ditemani adiknya, aku masih saja merasakan suasana yang awkwar.
"Zulfa, aku enggak berharap kamu terima aku. Jika kamu tolak pun, insyaallah aku akan siap. Aku datang ke sini atas istikharah. Atas izin Allah aku memberanikan diri menghadap kedua orang tuamu. Jika kamu menerima, itu Alhamdulillah. Tapi aku tak berharap lebih kata terima terlontar dari bibirmu. Semuanya sudah aku serahkan pada Allah. Apa pun itu hasilnya, akan aku terima," jelasnya panjang lebar dengan suara yang cukup keras karena jarak kami cukup jauh. Mungkin hampir satu meter.
"Arjuna, aku tahu, aku belum mengenalmu. Tapi apa salahnya mencoba kenal. Maaf, aku tak bisa langsung menjawabnya sekarang. Beri aku waktu satu Minggu untuk mengenalmu, kamu mau kan?"
Dia mengangguk pelan.
"Maaf, aku juga tidak sempurna!" katanya membuatku menunduk.
Aku mendongak menatapnya, "Aku enggak minta yang sempurna sama Allah. Aku cuman mau, Allah kirimkan dia yang bisa menutupi kekurangan aku. Lelaki yang bisa membuatku berjalan ke surga bersamanya, itu lebih dari cukup daripada lelaki sempurna. Lagipula, tidak ada manusia yang sempurna, kan?"
Mata kami bertemu, dan dia mengangguk.
Ya Allah, apakah dia lelaki yang akan menuntunku menuju Surgamu?
SELESAI
Gimana sama endingnya?
Maaf mengecewakan.
Endingnya enggak jelas, ya?
Tenang, insyaallah aku bakalan posting 2 extra part biar kalian enggak bingung.
Jangan lupa komen tentang endingnya, ya!
Terima kasih saya ucapkan pada Allah yang telah menggerakan hati kalian untuk membaca cerita ini dari awal hingga akhir. Tidak ada yang saya harapkan selain kalian mendapat manfaat dari cerita yang saya tulis.
Mohon maaf, yang sebesar-besarnya jika tulisan ini pernah menyinggung kalian atau membuat kalian bingung.
Jadikanlah Al-Qur'an sebagai sebaik-baiknya sahabat dunia akhirat yang tak akan pernah mengecewakan.
Jangan lupa dzikir sore, jaga kesehatan, dan jangan lupa perbanyak doa pada Sang Pencipta Semesta.
Ada yang mau ditanyain?
Bandung, 19 Maret 2020
🌺 Jazakumullahu Khayran🌺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top