27: Mencoba Ikhlas

Mengikhlaskanmu bukan pilihan hati, tapi pilihan pikiran yang telah lelah memberi kesempatan tetapi tak digunakan sebagai mestinya.

_DewiMaharani_

Zulfa menatap kosong ke luar jendela kamar yang menampakkan tumbuhan-tumbuhan hijau di luar sana. Pikirannya dipenuhi dengan kebingungan.

Beberapa Minggu lalu, Zulfa menjelaskan alasan kenapa dia tidak menerima Zikri dengan sedetail-detailnya. Tentang sebuah perbedaan yang memisahkan mereka walau tak kasat mata. Jelas, Abram tidak setuju dengan alasan Zulfa. Abram bilang, itu hanya masalah kecil, dan tidak perlu dibesar-besarkan. Hanya saja, Zulfa  tetap kekeuh dengan pendiriannya.

Penjelasan Zulfa memancing emosi Abram, karena menurut Ayahnya, itu adalah alasan yang tidak logis. Dan, sekarang Zulfa tahu kenapa Ayahnya sangat setuju dirinya dengan Zikri.

Pertama, karena Ayah Zulfa dan Ayah Zikri bersahabat dari SMP. Mereka sama-sama menjadi anggota militer. Dan mereka juga berniat, jika suatu saat diantara keduanya memiliki anak lelaki dan perempuan entah dari Abram atau Ayahnya Zikri, mereka sepakat untuk menjodohkan mereka. Dan benar saja apa yang pernah mereka ucapkan dulu. Imbasnya adalah Zulfa dan Zikri, karena mereka kebetulan seumuran.

Kedua, karena Abram telah mengenal Zikri sebelum dirinya. Hanya saja dia tidak pernah bercerita pada Zulfa. Abram juga berkeyakinan sama seperti Zikri.

Alhamdulillah, pertengkaran mereka tidak berlangsung terlalu lama. Walau beberapa hari setelah pertengkaran tersebut Abram tidak menyapa Zulfa sama sekali. Sedangkan Zulfa, dia sengaja menyapa Ayahnya terlebih dahulu. Dia mengutamakan akhlak sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mencontohkannya.

Minggu kemarin, Abram mulai berbicara sepatah dua patah pada anak sulungnya. Zulfa kira, Abram setuju tentang keputusan Zulfa. Nyatanya, dia hanya berusaha melupakan pertengkaran itu. Dan kembali bersikap biasa seperti semula. Menganggap semuanya tidak pernah terjadi.

Setelah jam menunjukkan pukul tujuh, Zulfa bergegas untuk berangkat  mengajar. Menebar ilmu yang menjadi sumber pahalanya hingga ke akhirat kelak.

***

"Lagi ngapain, Zul?"

"Astaghfirullah," desisnya yang langsung tersadar ke dunia nyata.

"Iya, Om?" Zulfa menatap Omnya yang barusan mengagetkan.

"Enggak, cuman tanya aja, kamu lagi ngapain! Gitu."

Zulfa tersenyum menganggapinya dan mengangguk kecil.

"Emangnya kamu lagi kenapa, sih? Om ucapin salam malah enggak dijawab! Lupa kalau menjawab salam itu hukumnya wajib?"

"Wa'alaikumusallam warahmatullahi wabarakatuh," ujar Zulfa diiringi kekehan kecil.

"Telat!" Omnya tertawa kecil.

"Lagi mikirin apa, kamu? Mikirin laki-laki ajnabi yang udah kamu buat patah hati?" Zafran mengambil kursi agar duduk di samping Zulfa.

Karena berbohong bukan kebiasaannya, Zulfa mengangguk.

"Dia kemana, Om? Kok enggak kelihatan ngajar?"

"Dia udah resign, Zul. Dari dua Minggu yang lalu!"

"Beneran, Om?" Zulfa bereaksi dengan kerutan di dahinya yang mengisyaratkan kebingungan.

"Iya! Pak KS juga langsung setuju, Zul! Makanya dia resign. Apalagi udah ada  yang mau gantiin!"

Zulfa masih belum percaya, tapi mana mungkin Omnya berani berbohong. Lagi pula, seminggu terakhir ini Zulfa tak melihat batang hidungnya. Jadi, sekarang Zikri resign? Karena? Itu sepertinya masih tanda tanya besar! Atau jangan-jangan karena dia enggan untuk bertemu Zulfa setiap saat? Padahal sebelumnya dia yang ingin berdamai dengan Zulfa, kan? Lalu apa sebenarnya alasan Zikri resign?

"Emang siapa yang mau gantiin dia, Om?"

"Katanya, sodara Pak KS, Zul!"

Zulfa mengangguk cepat, "Pantesan langsung di acc, ya, Om?"

Zafran mengangguk mantap.

"Udahlah, sekarang jangan pikirin terus laki-laki ajnabi itu! Zina pikiran, Lo! Enggak, boleh!"

Zulfa membalasnya dengan anggukan, "Makasih udah ingintein, Om!"

"Fokusin belajar agama! Inget, perempuan itu madrasah pertama buat anak-anaknya. Jodoh kan udah ada yang ngatur, enggak usah risau masalah itu! Yang perlu kamu siapin itu, gimana biar anak-anak kamu hisa Sholeh dan sholehah! Inget aja, Zul, selama kamu baik, Allah akan sandingkan kamu dengan yang baik juga. Atau bahkan yang terbaik buat kamu. Skenario-Nya enggak ada yang bisa nebak, Zul, dan pastinya selalu indah!"

Zulfa kembali mengangguk dengan kata-kata yang barusan Zafran lontarkan. Benar, sekaligus membuat dia tertampar dengan kalimat-kalimat sederhana barusan.

***

"Bukannya itu Zikri, ya?" Zulfa bermonolog sendiri di belakang kemudi. Matanya menatap fokus pada sesosok lelaki yang mengenakan jaket hitam dengan tatanan rambut yang disisir rapi ke belakang. Dari gaya berbicara dan pakaiannya, Zulfa yakin itu Zikri. Ya, lelaki itu sangat mudah diingat oleh orang yang mengenalnya. Dia memiliki ciri jika berbicara, anggota badan yang lainnya ikut bergerak-gerak. Terkhususnya tangan. Ditambah lagi, ketika berbicara di sebuah tempat yang ramai, kaki kanannya selalu ditumpangkan pada kaki kiri yang ditekuk hinggga membentuk sudut 90°.

Tetapi, anehnya, kenapa di depan lelaki itu terdapat seorang perempuan berpakaian hijau terang? Zulfa belum pernah melihat dia sebelumnya. Lalu itu siapa? Sepertinya jika saudara tidak mungkin. Zulfa yakin, itu adalah calon istri Zikri, calon ibu untuk anak-anaknya kelak.

"Itu siapa sih?" Zulfa menatap perempuan itu tengah tersenyum manis ke arah Zikri, dan dibalas senyuman yang tak kalah manis dari lelaki dihadapannya.

Zulfa rindu senyuman itu, jika bisa dia ingin memilikinya, dia ingin melihatnya lebih jelas. Tapi sayang, senyuman itu bukan untuknya. Itu untuk orang lain.

Dia memutar memori pada kejadian beberapa waktu lalu. Berarti yang dilontarkan Zikri waktu itu hanya omong kosong? Dasar, lelaki buaya!

"Astaghfirullah!" Zulfa berdesis.

Dia kembali fokus saat lampu hijau menyala. Dia berusaha ikhlas walau hatinya masih menyebut nama lengkap Zikri. Dia mencoba merelakan karena sebuah kesempatan yang tidak pernah Zikri gunakan. Zulfa berpasrah pada Penguasa Alam, Pengatur Takdir, agar dia dipertemukan dengan lelaki yang akan membawanya ke surga. Meraih  ladang amalan yang mampu membawanya ke surga dari laki-laki yang Allah takdirkan untuk menemaninya sampai tua nanti. Yang akan menjadi kekasih halal untuk pertama dan terakhir. Yang akan menjadi imam dari buah hatinya nanti. Dan pastinya, dia yang sepemahaman dengannya.

Zulfa tak ingin merubah takdir, tapi dia akan mencoba mengubah hidupnya agar dia digolongkan menjadi wanita shalihah yang dikenal di langit dan menjadi perempuan yang dirindukan surga.

Dia pamit, dari kekangan gombalan yang tak berniat untuk menjadi pelengkap agamanya. Dia mundur, dari apa yang dia impikan. Sekarang yang hanya bisa dia perbuat adalah merelakan dan kembali belajar. Belajar dari masa lalu yang akan digunakan untuk masa depan, dan merelakan yang lalu sembari menunggu Allah memberikan dirinya seseorang yang menjadi pelengkap iman di masa yang akan datang.

Jujur, dia sakit, tapi dia tidak akan pernah terlena dengan cinta yang belum nyata. Dia akan bangkit, untuk menjalani hidup yang masih menjadi rahasia.

Alhamdulillah, bisa nyempetin hari ini buat publish. Sengaja publish sekarang karena hari Senin mau UAS. Jadi besok bakalan banyak belajar, dan kalaupun nulis mau nulis KH yang mau diterbtiin, insyaallah.
Mohon doanya, ya, biar UAS aku dilancarkan dan mendapat hasil yang memuaskan.

Sekadar info nih, kalo cwrita ini bakalan segera tamat. Cuman beberapa part lagi, kayaknya, tapi nanti bisa ditambah extra part kalo pada mau.

Udah, ya, infonya segitu.

Happy Saturday Night!

Sebelumnya makasih buat kalian yang udah luangin waktu buat baca.

Jangan jadikan cerita ini sebagai bacaan utama, karena sebaik-baiknya bacaan adalah Al-Qur'an yang akan menemanimu menghadap-Nya.

Bandung, 14 Maret 2020

🌺Jazzakallahu khayran 🌺





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top