23: Sedikit Keraguan

Harap baca part sebelumnya, biar nyambung sama yang sekarang!

***

Akhiri perdebatan dengan kata maaf, bukan saling menghindar yang hanya akan membuat masalah semakin rumit.

-DewiMaharani-

Dengan terpaksa Zulfa menghentikan langkah kakinya. Dia tidak berbalik, seakan menyuruh Zikri agar menyejajarkan badannya dengan Zulfa jika ingin berbicara.

Melihat Zulfa berhenti, Zikri langsung mempercepat langkahnya. Tak lama kemudian, tubuh Zikri berada di sebelah kiri Zulfa.

Zikri menatap Zulfa lekat tanpa kedip sampai suara Zulfa mengagetkannya.

"Mau bicara apa, Pak? Katanya mau bicara. Saya gak bisa lama-lama di sini!" Zulfa membuka suara, ucapannya yang keluar terkesan ketus dan cukup membuat Zikri sedikit sakit hati.

"Mmm." Zikri terdiam sesaat. Lelaki itu tengah mengolah kata dalam hati yang pas untuk memulai percakapan.

Setelah membuat Zulfa menunggu cukup lama, akhirnya dia bersuara, "Maaf!" ucapnya tertunduk yang membuat Zulfa kesal.
Bagaimana tidak, setelah menunggu lelaki itu untuk bersuara, hanya satu kata, empat huruf yang dia keluarkan.

"Maaf, buat?" Zulfa mencoba tetap tenang, walau dalam hatinya dia sudah mulai kehabisan stok sabar karena hanya ucapan yang membuat ambigu yang keluar.

"Maaf, buat kesalahan saya!"

"Saya sudah memaafkannya dari dulu, sebelum Bapak minta maaf." Zulfa terdiam sejenak, merasakan dadanya yang mulai terasa sesak mengingat semuanya, "kalo gitu, saya duluan, Pak. Assalamu'alaikum."

Tanpa bertanya sudah selesai atau belum apa yang ingin Zikri bicarakan, kaki perempuan itu langsung diseret pergi, meninggalkan Zikri yang masih mematung.

Melihat Zulfa pergi, Zikri hanya bisa menjawab salamnya dengan posisi yang masih mematung. Sebenarnya dia ingin menggenggam tangan Zulfa agar perempuan itu tidak pergi, apalah daya, angannya tak sampai kenyataan. Harapannya gugur di tengah jalan. Sungguh mengenaskan. Yang hanya bisa dia lakukan ada menatap punggung wanita yang masih menempati deretan paling atas di hatinya dengan perasaan kecewa.

Tatapannya berhenti saat Zulfa telah tak terlihat netranya. Zikri langsung mengambil langkah untuk menjalankan tugasnya dengan perasaan kecewa yang masih menetap dalam diri.

Dalam hatinya Zikri berujar, "Jika kamu berharap terlalu tinggi tentang mimpi, lalu terjatuh, bangkitlah! Ada doa sebagai trampolin yang membuatmu lebih tinggi dari sebelumnya. Jangan pernah menyerah karena direndahkan, dan jangan pernah berhenti mengejar karena sebuah penolakan."

***

Z

ulfa terduduk di kursi guru. Membiarkan anak didiknya mengerjakan tugas yang baru saja dia berikan. Ingatannya masih tertuju pada Zikri yang tadi meminta maaf. Kejadian tadi itu seperti busur panah yang tepat sasaran. Karena dari tadi, Zulfa tak konsentrasi dalam menjelaskan. Bayangan wajah Zikri juga selalu tergambar jelas dalam bayangan abstrak. Jujur, Zulfa belum melupakan Zikri dengan sempurna, semua tentang lelaki itu masih membekas dalam sebuah ruang bernama kenangan. Terkadang dalam dirinya selalu hinggap rasa penyesalan saat mengingat dirinya menolak Zikri, di sisi lain, ada juga sebuah bisikan hati yang membuat dia harus menerima ini semua dengan alasan ini adalah keputusan yang tepat.

"Bu?"

"Iya, Pak Zikri?" Zulfa mengalihkan pandangannya pada sumber suara.

"Astaghfirullah," desisnya melihat orang yang bersuara adalah anak didiknya.

"Maaf, kenapa, Bim?" Zulfa senang melihat Bima-anak didiknya-tersenyum tanpa berteriak-teriak untuk mengumbar ucapan Zulfa yang salah.

"Mau ngumpulin ini, Bu! Aku udah ngerjainnya!" Zulfa mengangguk dan tersenyum melihat Bima yang selalu mengumpulkan tugas paling awal.

"Bu, jangan dipikirin terus pak Zikrinya, ada murid-murid Ibu yang harus diperhatikan! Kalo gitu, aku balik lagi ke kursi, ya, Bu!" Lantas kaki jenjang anak SMP kelas IX itu mulai melangkah.

Zulfa hanya diam. Mencerna setiap kata yang terlontar dari anak remaja yang mungkin mengerti apa yang dia pikirkan. Setelah mencoba mencerna satu persatu kata yang tadi terdengar, Zulfa mulai membenarkan apa yang anak didiknya katakan. Untuk apa aku harus mikirin Zikri, dia kan bukan siapa-siapa aku! Lagian aku harus merhatiin murid-murid yang lagi belajar, bukannya fokus mikirin dia yang bukan siapa-siapa. Kata-kata itu tersusun dengan sendirinya dalam logika yang masih berpikir keras.

Tatapan matanya kini mulai beralih pada buku yang tergeletak berisi jawab atas apa yang Zulfa perintahkan.

***

Kumpulan awan berwarna putih dan warna jingga yang belum terlalu jelas menghiasai langit yang berwarna biru. Hari menunjukkan sore dengan suasana sepi. Entah hati Zulfa yang sepi atau suasana sekitar yang memang seperti ini. Perempuan itu saat ini sedang terduduk di balkon menatap langit dengan penuh rasa kesepian diiring rasa syukur.

Sepi, karena biasanya dia selalu mendapat chat dari seseorang yang namanya masih ada dalam hati pada jam seperti ini. Juga bersyukur atas anugerah Sang Pencipta yang memperlihatkan penghiasi bumi yang sungguh menakjubkan. Padahal, di setiap sudut bumi, masih ada orang-orang yang tak beribadah pada-Nya, berbuat maksiat sesuai nafsu dari dalam diri yang dibantu syetan untuk berbuat hal yang tak pernah dicontohkan Rasulullah. Begitu baiknya Allah pada manusia, namun masih sedikit di antara mereka yang bersyukur, bukannya semakin bersyukur yang ada hanyalah semakin kufur. Kasih sayang Allah itu luas, ampunannya juga luas. Tak ada alasan bagi orang-orang yang ingin berubah menjadi baik agar segera meminta ampunan-Nya, karena pintu taubat Allah selalu terbuka lebar. Kasih sayang yang masih Allah beri masih belum putus sampai saat ini walau kadang diri berlumur dosa. Manusia, benar-benar tak akan pernah bisa menghitung semua apa yang Allah beri dari saat dia lahir sampai saat ini. Kenikmatannya tak akan pernah terhitung logika, karena sangat besarnya. Dimulai dari di mana jantung berdetak untuk pertama kali, sampai saat sekarang di mana bisa merasakan nikmatnya berpijak di atas tanah dengan tegap tanpa cela ataupun terjatuh. Semua itu terjadi atas seizin-Nya yang membuat manusia mampu berdiri tegak di atas tanah yang datar dengan prediksi bumi yang berbentuk bulat.
Semua itu terjadi karena gravitasi bumi? Bukankah gravitasi bumi itu diatur oleh Allah. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak bersyukur atas segalanya. Bukan hanya tersadar saat terjadi bencana alam seperti gempa, yang mampu membuat orang-orang berdzikir pada sang Maha Segalanya. Harusnya sebelum kejadian tersebut manusia banyak berdzikir, karena itu juga terjadi akan kemaksiatan manusia yang semakin merajalela. Jangan lupa beribadah, karena tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah.

Awan putih kini telah berganti menjadi warna jingga yang lebih pekat. Sang surya tengah pergi ke peraduannya atas seizin yang Maha Kuasa. Cahaya jingga yang mulai pekat juga ditemani dengan gema adzan yang menyuruh orang-orang muslim bersujud penuh penghambaan pada Illahi Rabbi. Dengan penuh pengharapan agar esok bisa melihat cahaya senja kembali.

Terkadang, manusia itu memiliki tingkat percaya tinggi di atas rata-rata. Bagaimana tidak, kebanyakan manusia berharap esok dia masih hidup hingga akhirnya melupakan perbuatan baik yang masih menjadi rencana, padahal tidak pernah ada jaminan bahwa orang-orang itu esok masih menghirup oksigen atau tidak. Dan akhirnya jika umur itu tak sampai esok hari, rencana kebaikan itu ikut bersama jasad yang terkubur dalam lubang berdindingkan tanah. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk tidak berbuat baik.

***

Setelah Zulfa melaksanakan salat Isya yang sebelumnya diisi dengan tilawah beberapa surat dan salah satunya adalah surat Al-Mulk yang memiliki keistimewaan sebagai berikut, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


"Satu surat dalam al-Qur'an (yang terdiri dari) tiga puluh ayat (pada hari kiamat) akan memberi syafa'at (dengan izin Allah Ta'ala) bagi orang yang selalu membacanya (dengan merenungkan artinya) sehingga Allah mengampuni (dosa-dosa)nya, (yaitu surat al-Mulk): "Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu". Dalam riwayat lain: "...sehingga dia dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga"[1].

Setelah beberapa saat Zulfa terdiam, terdengar suara beberapa pesan dari WhatsApp-nya. Karena telah melaksanakan salat, Zulfa meraih handphonenya. Di deretan paling atas tertera nama lengkap Zikri. Karena berpendapat itu penting, Zulfa langsung menjatuhkan ibu jarinya pada pesan dari Zikri.

Ekspektasi Zulfa ternyata salah karena yang ada hanya sebuah audio yang Zikri kirim. Karena audio tersebut membuat Zulfa penasaran, akhirnya Zulfa memutuskan untuk mengunduhnya.

Tak lama kemudian, unduhan selesaian dan Zulfa mulai mendengarkan audio tersebut.



"Tiada berbeda apa yang ku rasakan.
Tajam menusuk tak beralasan.
Kita sudah dingin hati."

Lagu "Anganku Anganmu" yang dipopulerkan oleh Raisa ft Isyana mulai memenuhi kamar Zulfa. Suara merdu keduanya mulai memecah keheningan malam.

"Dulu kita pernah saling memahami.
Sekian merasa telah menyakiti.
Kita telah lupa rasa."

Semua kata itu seakan menceritakan tentang kisah dirinya dan Zikri. Yang pernah memahami walau tak begitu lama, tapi sekarang malah berubah menjadi saling menyakiti.

"Setiap katamu cerminan hatimu
Jadikan berarti
Jangan sia-siakan waktumu tuk membenci."

Tak ada rasa saling benci dari keduanya, karena mereka sama-sama terpengaruh cinta bertopeng nafsu belaka. Yang ada hanya rasa kecewa yang masih menggerogoti jiwa.

"Satu jadikan tujuan kita.
Hilangkan segala perdebatan yang sia-sia.
Berlari ke arah yang sama bukan masalah.
Semua punya ruang lukis yang kau mau.
Karena ceritamu milikmu."

Harusnya, mereka tak saling membenci karena itu perbuatan yang sia-sia. Tujuan mereka adalah mengikat janji suci yang menggetarkan Arsy Illahi Rabbi, bukan malah saling menyakiti karena sebuah perbedaan yang berdiri tinggi yang entah bisa disatukan atau malah dilupakan bersama angan yang belum pernah terwujud.

"Kutahu celamu tak sengaja berjiwa.
Amarah dan benci beri kesempatan.
Kita telah lupa rasa."

"Jangan sia-siakan waktumu tuk membenci."

"Satu jadikan tujuan kita.
Hilangkan segala perdebatan yang sia-sia.
Berlari ke arah yang sama bukan masalah.
Semua punya ruang lukis yang kau mau
Karena ceritamu milikmu."

"Semua asa ...."

Suara lagu yang diputar berhenti. Sedangkan pikiran Zulfa berkelana entah ke mana. Lagu yang Zikri kirim berhasil membuat Zulfa merenung hebat. Dia kembali mencoba berpikir akan keputusannya yang pernah diambil. Apalagi Zulfa tadi sempat dibujuk oleh ayahnya agar menerima Zikri. Hanya saja, Zulfa tadi tak terlalu menghiraukannya. Sekarang, hinggap beberapa penyesalan pada dirinya. Dia juga mulai bertanya-tanya tentang keputusan yang dia ambil salah atau benar. Apalagi dia tidak beristiqarah terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Hanya ucapan bismillah yang keluar sebelum Zulfa membuat keputusan sepihak. Dan sekarang, sebuah penyesalan yang terlampau dalam menghinggapi dirinya.

Apakah aku akan menerima Zikri jika dia mengkhitbahku kembali?

1. Hr Abu Dawud (no. 1400), At-Tirmidzi (no. 2891), Ibnu Majah (no. 3786), Ahmad (2/299), dan Al-Hakim (no. 2075 dan 3838) dinyatakan shahih oleh imam Al-Hakim dan disepakati Adz-Dzahabi serta dinyatakan hasan oleh imam At-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.

Kalo si Zulfa nerima si Zikri terus gimana perbedaan di antara mereka? Lenyap begitu saja?

Ayoo tebak, gimana kelanjutannya.

Btw, maaf ya baru bisa publish. Lagi bentrok sama RL.

Jangan lupa mampir ke cerita baru aku, ya! Judulnya, Kembalikan Hafalanku

Kalo ada yang bilang crta ini aja blm beres, malah buat lagi. Husnudzon dulu, ya, crta yang KH itu InsyaAllah diterbitkan. Nah, sebelum ke versi cetak, aku harap kalian bisa bca dlu di Wp. Sambil kasih krisar juga.

Jangan lupa bersyukur, ya, karena masih bisa denger takbiran, tahun depan, entah masih bisa denger atau enggak.

Bandung, 10 Agustus 2019

🌸Jazakallaahu Khayran 🌸

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top