16: Perlakuan Manis

Percikan api cemburu mulai menghinggapimu, semoga tak ada keraguan untuk kedepannya.

-Muhammad Zikri Zainul Muttaqin-

"Kenapa, Kak?" tanya Rafa yang berada di sampingnya.

Zulfa hanya menggeleng tanpa menatap adiknya.

Karena Rafa merasa kurang memuaskan atas jawaban dari Zulfa, dia sedikit mencondongkan badan pada Zulfa.

Oh, itu, alasan kak Zulfa liatin terus ke samping.

Rafa tersenyum melihat kakaknya yang sedang cemburu itu.

"Kalo jodoh itu enggak bakalan ke mana kak! Buktinya Nabi Adam sama Siti Hawa udah terpisah lama, kalo ditakdirkan mereka berjodoh akhirnya keduanya bersatu juga!" bisik Rafa tepat pada telinga Zulfa.

Zulfa hanya menatap Rafa, tanpa membalas ucapannya.

****

Lagi-lagi, sesaat sebelum pergi ke alam mimpi matanya kembali terbuka mendengar suara dari hp-nya. Dengan cepat wanita dengan piyama ungu itu bangun untuk mengambil hp yang terdapat di nakas.

Di hp-nya tertera nama, Calon Imam.
Siapa lagi jika bukan nomor hp Zikri yang Zulfa namai seperti itu. Zulfa kemarin sebelum tidur mengubah nama kontak Zikri di hp-nya.

Melihat nama itu bibirnya mengembangkan senyuman, dan bersegera menggeser panel berwarna hijau.

"Halo, Assalamu'alaikum?" tanyanya sembari melendekatkan benda pipih itu pada telinganya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saya ganggu enggak, Bu?"

"Enggak kok, Pak! Susah tidur lagi, Pak?" Zulfa hanya takut Zikri bercerita tentang perempuan tadi yang sedang bermesraan bersama Zikri. Dia hanya takut, hatinya patah untuk yang pertama kali saat dia mulai membuka hati.

"Enggak juga kok, Bu!"

"Terus?"

"Rindu sama Ibu ajah!"

Senyuman manis mulai terukir di wajahnya.

Jujur, kali ini Zulfa sedang merasakan bahagia. Ketika untuk pertama kalinya ada seorang lelaki yang berani berbicara di hadapannya dengan berbicara tentang rindu.

"Kenapa kangennya enggak ke wanita yang udah bapak khitbah ajah?" Intonasi dari bicaranya sedikit marah disertai malu. Bagaimanapun juga, Zulfa harus berani bertanya agar tidak menduga-duga tentang Zikri.

"Siapa yang udah saya khitbah, Bu?" Zikri sedikit terhenyak mendengar perkataan Zulfa yang tidak benar. Bukankah Zikri yang akan mengkhitbah Zulfa?

Sungguh, cinta itu membuat wanita seperti Zulfa tersesat sesaat ketika api cemburu bergejolak dalam dada.

"Tadi yang lagi sama bapak lah, masa saya?" ucapnya dengan wajah merona karena malu.

Zikri terdiam beberapa menit memikirkan ucapan Zulfa. Tunas harapan dalam hatinya mulai membesar. Sunggingan di bibirnya kini terpancar mengingat Zulfa yang sedang cemburu.

Rasanya Zikri ingin tertawa terbahak-bahak mendengar kata masa saya? Dengan nada putus harapannya.

Tadinya, Zikri ingin menjahili Zulfa, tapi mengingat dia akan menjadi calon imam yang harus berbuat baik, lelaki itu mengurungkan niatnya dan berkata sejujur-jujurnya.

"Emang tadi ibu liat?"

"Iya, makanya saya tau, pak!" Rasanya Zulfa ingin berteriak di hadapannya bahwa saat ini dia sedang cemburu. Tapi sayang, ucapan itu hanya bisa menggema dalam dada, karena jika diucapkan rasanya sangat sulit.

"Ibu lagi cemburu, ya?" tanya Zikri yang menahan kekehan di seberang sana.

Zulfa hanya diam. Membisu dan menyatu dalam keheningan malam.

"Yang tadi itu adik saya, Bu! Dia Widya!" papar Zikri yang tak mau membuat Zulfa membisu dan penasaran.

"Tenang ajah, Bu, saya belum mengkhitbah siapapun kok. Jadi ada harapan buat ibu!"

Deg! Mendengar ucapan Zikri rasanya Zulfa ingin lompat-lompat di kasur. Tapi itu tak mungkin karena dia sudah besar.
Wanita itu hanya bisa mengembangkan senyum juga diiringi warna udang rebus dibuntalan kulitnya.

"Udah, ya, Bu! Mendingan ibu tidur besok kalau kesiangan kan berabe!"

Setelah Zulfa menyetujui dan keduanya meningkat acara teleponan dengan ucapan salam, detik selanjutnya Zikri langsung memutus sambungan terlebih dahulu.

****

"Assalamu'alaikum!"
Karena mendengar suara itu, Zulfa yang tenggelam pada ponselnya mendongak ke arah suara.
Lantas dengan cepat dia menjawab salamnya.

"Sendiri ajah, Bu?" Zikri berjalan menghampirinya lalu duduk tepat di depan Zulfa.

Zulfa hanya menatap sekilas Zikri lalu kembali menunduk dan mengangguk.

Hening, belum ada percakapan diantara mereka. Hanya ada suara dentingan jam yang membuat suasana tidak canggung.

Sebuah cokelat berbentuk persegi panjang melayang tepat dihadapannya.

"Nih!"

Zulfa menatap lelaki berwajah tegas yang memberinya sebungkus cokelat.

"Buat saya?"

Zikri hanya mengangguk, lalu tersenyum.

Karena tak enak menolak rezeki, Zulfa mengangkat tangan kanannya untuk mengambil cokelat itu. Tak lupa, dia juga mengucapkan terima kasih. Yang langsung dibalas anggukan oleh Zikri.

Detik selanjutnya, Zulfa kembali tenggelam pada ponselnya.

Zikri hanya bisa memandang Zulfa dalam diam, hatinya terasa sakit saat merasa diabaikan oleh orang yang dia cintai diam-diam.

Teknologi yang canggih benar-benar membuat orang yang jauh terasa dekat, dan menjauhkan orang-orang yang dekat di sekitar kita. Astaghfirullahaladzim, jangan sampai tali silaturahim merenggang karena teknologi yang semakin canggih.

Ujung mata Zulfa menangkap sebuah kotak nasi yang melayang di udara. Merasa itu tertuju untuknya, Zulfa mendongak. Lagi-lagi yang dia dapati adalah laki-laki yang tadi memberikan sebungkus cokelat.

"Buat siapa, Pak?" tanya Zulfa yang heran menyodorkan sekotak nasi.

"Buat kamu lah! Kata ibu, buat calon mantu kesayangan," ucap Zikri dengan penuh percaya diri dengan suara cukup pelan. Walaupun pelan, suara Zikri sangat terdengar di indera pendengaran Zulfa.

Zulfa yang mendengar itu hanya terdiam, setelah dia mengerti maksud Zikri, dia tersenyum samar. Rasa bahagia mulai menyapanya dalam diam.

"Apa?" Zulfa mendongak, seakan-akan tak mendengar apa yang Zikri utarakan tadi.

"Enggak. Itu tadi bekel buat Widya, cuman ketinggalan di mobil aku!" alibinya yang memang benar bahwa itu bekal Widya yang tertinggal.

"Terus kenapa dikasih ke aku?" Raut wajah Zulfa yang tadinya sangat senang kini kembali normal. Mengingat dia yang hanya teman sejawatnya Zikri, dan kemungkinan besar hanya berteman tanpa bersatu. Tapi apa salahnya berharap? Pikirnya yang sudah membuat benih cinta itu tumbuh.

"Katanya buat calon mantu kesayangan, Zulfa!"
Zulfa dan Zikri menoleh ke arah suara, tepatnya dari arah pintu.

Keduanya benar-benar terkejut saat Zafran masuk dan mendengar ucapan Zikri tadi.

"Apaan sih Om?" tanya Zulfa dengan nada kurang suka seperti biasanya. Walau hatinya Zulfa juga merasa senang sekaligus malu, apalagi jika sampai Zafran berbicara tentang ini duluan pada Abram. Zulfa akan sangat malu.

Zikri hanya tersenyum kearah Zafran yang hanya melewatinya saja, karena dia langsung menyibak gorden dan merekap nilai murid seperti biasanya.

Zikri masih menggerak-gerakkan kotak bekal yang dia pegang kearah Zulfa yang masih menatap segala arah dengan pikiran yang berterbangan ke sana ke mari.

Sadar dari lamunannya, Zulfa kembali menerima apa yang diberikan oleh Zikri.

"Syukron," ucapnya diiringi sunggingan senyum yang membuat dia semakin cantik bak bidadari.

"Afwan," balas Zikri dengan membalas tatapan dan senyuman dari Zikri.

Beberapa detik mereka beradu tatapan, dengan pikiran dan harapan yang sama.

Saat menyadari Zulfa dan Zikri sedang berzina mata, dengan cepat Zulfa menunduk menatap kotak bekal yang dipegangnya.

"Bu Zulfa, nanti sehabis kajian kita diajak makan bareng sama Rega dan Maya, ya?"

Zulfa kembali menatap Zikri lalu mengangguk.

****

Assalamu'alaikum. Gimana masih sabar menuju konflik?

Mungkin dua atau tiga part lagi konfliknya.

Afwan baru bisa update, ya!

Jangan lupa kasih semangat, ya heheh.

Author juga manusia yng moodnya naik turun.

~12, Mei 2019~

🌸Jazakumullaahu Khayran🌸

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top