13: Pertanyaan Yang Mengganggu

Pertanyaan tidak mewajibkan untuk dijawab seluruhnya. Tapi, kita harus memiliki jawaban itu untuk kedepannya. Karena kita tak tahu kedepannya.

_DewiMaharani_


"Pagi semuanya!" sapa seseorang lelaki dengan seragam gurunya yang langsung menarik kursi untuk sarapan bersama keluarganya.

"Pagi juga!" jawab tiga makhluk yang berada tengah duduk menyantap sarapannya.

Lelaki itu mengambil nasi putih beserta lauk pauknya. Setelah membaca doa sebelum makan dia langsung menyantapnya.

"Mas berangkat sekolah bareng aku, ya! Aku lagi pengen dianterin sekolah sama Mas!" Suara gadis dengan seragam SMA itu membuat pandangan laki-laki tertuju kearahnya.

Lelaki itu hanya mengangguk diiringi ukiran senyum di bibirnya.

"Nak, kapan kamu mau khitbah Zulfa?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Ibunya membuat dia menatap beliau.

"Aku kurang tau. InsyaAllah secepatnya, doain ajah, Bu!" ucap lelaki itu.

"Niat baik jangan ditunda-tunda, Zikri! Apalagi niat kamu mau mengkhitbah Zulfa, wanita yang terkenal salehah, cantik dan memiliki sifat dewasa. Kalau kelamaan nanti bisa-bisa Zulfa diambil orang duluan," ujar Ayahnya yang membuat Zikri mengangguk.

"Bener tuh, Mas, kata Ayah! Mending cepetan khitbah Mbak Zulfa!" imbuh Widya-adik perempuan satu-satunya Zikri yang masih duduk di kelas sepuluh SMA.

"Kamu pengen cepetan punya kakak ipar, Wid?" tanya Zikri yang telah menelan makanannya.

Widya mengangguk, "Iyalah Mas!"

"Doain aja, ya!"

"Iya."

Acara sarapan di keluarga Zikri selesai.

Zikri langsung mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di meja makam. Kali ini, dia sengaja membawa mobil dengan dalih agar tidak terkena hujan. Karena cuaca saat ini sepertinya kurang mendukung.

Setelah pamit kepada orang tuanya, Zikri dan Widya langsung pergi.

Zikri membuka pintu mobil, lalu langsung duduk di belakang kemudi. Sedangkan Widya dia duduk di samping Zikri yang tengah siap melajukan mobilnya di jalanan.

"Mas?" panggil Widya saat melihat Zikri menginjak pedal gas.

"Iya?" Zikri masih fokus menatap jalanan, tanpa melirik adiknya sedikitpun.

"Kapan khitbah Mbak Zulfa?" tanya tiba-tiba yang membuat Zikri menoleh kearahnya.

"Mas kan udah bilang, InsyaAllah secepatnya! Emang kenapa, Wid?" Tatapan Zikri sekarang kembali beralih ke jalanan.

"Kalau ada masalah, aku bisa bantu! Misalnya kaya kasih kode gitu!"

Mata Zikri kembali melirik Widya.
Bantuan yang sekarang tengah Zikri harapkan untuk mendekati Zulfa. Kebetulan sekali Zikri memiliki adik perempuan yang sangat baik dan perhatian.

"Beneran?"

Widya mengangguk mantap.

"Kalau gitu, bantuin Mas, ya!"

****

Zulfa terduduk sendiri sembari memangku dagunya, menatap lurus ke tembok yang berdominasi warna biru tua dan putih.
Pikirannya berlalu-lalang memikirkan pertanyaan yang pernah dilontarkan Ayahnya tentang Zikri.

Perlu diakui, untuk saat ini Zulfa tidak memiliki rasa apa-apa untuk lelaki yang tengah mendekatinya.
Ya, Zikri. Seorang qori yang sedang berusaha merobohkan dinding tinggi nan kuat hatinya.

Tapi entahlah untuk ke depannya, Zulfa benar-benar tak tahu perasaannya tentang laki-laki itu.

Acara lamunannya terhenti saat sebuah tangan menyodorkan sebungkus cokelat dari belakangnya.

Zulfa langsung melirik ke arah sang penyodor cokelat.

Matanya kini menangkap sesosok lelaki berwajah tegas tengah tersenyum kearahnya.

"Pak Zikri?"

Dalam hati, Zulfa bertanya-tanya, kenapa Zikri memberikannya sebuah cokelat? Jarang-jarang sekali. Dan ini cukup membuat Zulfa aneh.

Zulfa mengerutkan keningnya, "Buat siapa?"

"Buat bidadari dunia yang tak bersayap!" jawabnya.

Zulfa hanya membulatkan mulutnya berkata 'oh'.

"Buat Bu Zulfa lah, masa buat kucing!" ucapnya diiringi kekehan diakhir kalimat.

Jika saja Zulfa telah membuka hatinya untuk Zikri, sudah dipastikan lagi pipi Zulfa akan tampak seperti udang rebus. Namun, untuk sekarang, wanita itu masih belum membuka hatinya untuk siapapun.

Zikri menggerak-gerakkan cokelat yang digenggamnya. Berharap agar Zulfa segera meraihnya.

"Beneran?" tanyanya yang masih ragu.

Zikri mengangguk.

"Iya, daripada ngelamun enggak jelas mending makan cokelat. Lumayan kan cokelat bisa membuat hormon endorfin meningkat. Jadi buat mood lebih baik," tuturnya.

Zikri memberikan Zulfa cokelat itu adalah saran dari adiknya. Dia bilang kalau perempuan itu suka cokelat. Cokelat seakan-akan melambangkan bahwa wanita harus mendapat perlakuan manis, semanis cokelat.
Dan Zikri langsung menjalankan saran adiknya itu.

Karena tak baik menolak rezeki, Zulfa meraih sebungkus cokelat berbentuk persegi panjang itu.

"Syukron!"

Zikri membalasnya dengan tersenyum.

"Bu Zulfa ngapain ngelamun? Sendirian lagi!"

Rasanya tak perlu Zulfa berkata jujur tentang lamunannya. Karena itu menyangkut tentang dirinya dan Zikri.

"Enggak kok, Pak! Permisi saya mau duduk di sana karena kalau di sini takut ada fitnah!" Zulfa langsung pergi menyibakkan gorden, lalu duduk di kursi kantor.

Tadi Zulfa duduk di kursi yang banyak terdapat buku-buku pelajaran yang tertutup gorden. Sekarang dia duduk di kursi tempat para guru masuk. Atau ruang tempat sekadar guru-guru makan atau hanya duduk.

Sebungkus cokelat yang tadi dia masukkan saku, dirogohnya. Berniat untuk memakannya sebelum guru-guru selesai mengajar.

"Zulfa, lagi ngapain?" Suara bariton dari ambang pintu itu membuatnya menoleh.

"Eh, Om!" Yang barusan datang adalah Zafran.

Zafran berjalan kearahnya. Lalu duduk tepat di depan Zulfa.

"Cokelat dari siapa tuh? Tumben makan cokelat!" tanya Zafran yang aneh melihat ponakannya makan cokelat, karena biasanya Zulfa jarang makan cokelat.

"Dari Pak Zikri, Om!" jawabnya jujur. Jika tak menjawab itu pemberian Zikri, lantas dari siapa lagi? Dari jin yang sedang membujuknya untuk memikirkan Zikri? Itu kan tak mungkin!

"Kayaknya dari orang spesial tuh! Biasanya kamu kan jarang makan cokelat!" godanya yang membuat Zulfa menghentikan aktivitas memakan cokelatnya.

"Apaan sih Om? Pak Zikri kan sama kaya guru-guru lainnya! Om bener-benee bikin Zulfa enggak ngeri deh!"

Sakit. Itu yang dirasakan Zikri dibalik gorden saat ini. Mendengar ucapan Zulfa yang masih kurang peka terhadap kodenya. Dia masih harus sabar untuk membuat hati Zulfa untuknya.

Lantunan doa terpanjang dari dasar hatinya. Berharap agar Zulfa segera membuka hati dan peka akan kode-kode yang Zikri lontarkan.


Disisi lain, Zulfa kembali digoda oleh Zafran.

"Zulfa, kamu suka sama Zikri?"

Astaghfirullah, hanya itu yang bisa dia ucapkan dalam hati. Ketika mengingat pertanyaan Ayahnya tentang Zikri, dilanjut dengan pertanyaan yang tak ingin Zulfa yang terlontar dari bibir Omnya.

Zulfa hanya menggeleng. Karena pada dasarnya Zulfa entah belum atau memang tidak akan menyukai Zikri.

Jika banyak wanita di luar sana sangat ingin menjadikan Zikri sebagai imamnya, tapi Zulfa yang didekatinya seolah-olah tutup mata tentang lelaki itu. Zulfa seakan-akan wanita paling bodoh karena belum membuka hatinya. Membuka hatinya untuk lelaki yang menjadi rebutan para akhwat. Hati Zulfa tak bisa dibohongi jika sekarang dia masih tak menaruh perasaan untuk Zikri. Dia hanya mengangguk Zikri sebagai teman sejawat, tidak lebih.

"Kalau Zikri khitbah kamu, kamu mau gimana?"

Allahu Akbar, Zulfa benar-benar kaget saat mendengar pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda untuk kedua kalinya?

****

Bersiap buat konflik sesungguhnya, ya!

Harap kuat mental tentang tulisan yang bisa saja membuat kalian ambigu.

Syukron udah baca, jangan lupa share ke teman-teman, keluarga dan siapapun yang suka membaca.

~7 Mei 2019~

🌸Jazakumullaahu Khayran🌸

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top