⚘8. Menghindar⚘
Violet menepuk punggung Nilla, sementara Bieru menuangkan air pada sebuah gelas dan memberikan pada Nilla. Wajah gadis itu terasa panas dan memerah. Selain karena merasakan pedas yang menyengat tenggorokan, Nilla juga merasa malu karena kedapatan makan dengan porsi kuli dan dosennya menyodorkan gelas minum.
Namun, Nilla berusaha memedulikan malunya. Ia hanya butuh menggelondorkan makanannya yang tiba-tiba tersumbat. Gadis itu meneguk cairan hingga tandas tak bersisa. Dia menggigit bibir bawahnya, sementara matanya melirik Bieru.
Lelaki itu mencuci tangan terlebih dahulu, lalu ikut duduk mengitari meja makan.
"Udah makan, Mas?" tanya Aruna yang sedari tadi memperhatikan interaksi dosen mahasiswa itu.
"Belum, Mi." Bieru mengambil piring, kemudian mengisinya dengan menu yang terhidang.
Nilla seperti alien di tempat itu. Gadis itu merasa sangat tak enak hati terjebak di ruang makan keluarga itu.
Rasa lapar Nilla sontak menguap. Perutnya terasa penuh. Pp0Mendapati reaksi Nilla yang canggung, Bieru tersenyum miring. "Santai aja, Nill. Makan dulu, biar bisa mikir waktu diskusi nanti."
Pipi Nilla yang terpoles blush on semakin merona.
Mau tak mau, Nilla memaksakan diri makan di depan Bieru. Kunyahannya tak sampai tiga puluh dua kali karena dia langsung menelan masuk ke lambung. Wajahnya kini begitu kaku dan kembali datar.
Bieru melipat bibir. Matanya melirik ke arah Nilla. Lelaki itu mendapati tampilan Nilla yang tampak berbeda. Polesan make up tipis yang terulas di wajah mampu menonjolkan kesan feminin seorang gadis muda yang bergairah dan bercita-cita tinggi.
Selama makan, Nilla hanya mengangguk atau menjawab "iya" dan "tidak" atas pertanyaan yang diajukan Aruna. Lidah Nilla rasanya mati rasa dan kelu. Sungguh, Nilla ingin sembunyi di balik meja saja karena kesan baik yang ingin dia tunjukkan semakin hancur.
Bimbingan malam itu ternyata berlangsung sangat lama. Nilla berusaha bisa melupakan insiden di meja makan tadi dan fokus mengikuti diskusi malam itu. Namun, pikirannya tetap tak tenang. Duduknya gelisah.
Bieru tetap bercakap panjang lebar memberitahu metode penelitian yang pas untuk judul penelitian Nilla. Namun, melihat wajah Nilla yang mengerucutkan bibir, dengan alis yang mengerut serta peluh tipis mengucur di pelipis, Bieru terkekeh. "Kamu tegang banget! Santai aja. Paham kan?"
"Saya santai, Dok. Otak cerdas saya menangkap kok apa yang Dokter katakan." Nilla meringis, lalu mengusap peluh. "Cuma dari tadi Dokter ngomong mulu, saya kebelet."
Bieru mengerjap.
Melihat Bieru yang sekarang tak lagi bicara tanpa henti, Nilla berdiri. Badannya sedikit membungkuk, sambil menggigit sudut bibir kiri dan meremas perut. "Toilet di mana, Dok? Saya udah nggak tahan."
Bieru tak bicara. Dia hanya menunjuk pintu yang tertutup di dekat dapur.
Nilla memelesat tak memedulikan tatapan bingung Bieru. Gadis itu merutuk dalam hati kenapa kebiasaan buang air setelah makan selalu datang tepat waktu.
***
Beruntung selama seminggu ini Nilla tidak ada bimbingan skripsi karena Bieru dinas di luar kota. Bila teringat apa yang terjadi saat bimbingan di rumah sang dosen, wajah Nilla selalu panas. Dia kapok kalau disuruh bimbingan ke rumah Bieru, karena seperti kuliah private 3 SKS.
Akhirnya Nilla paham, kenapa Bieru dianggap dosen killer. Gaya mendidik yang tegas dan menuntut kecepatan berpikir serta kemampuan mengkritisi mahasiswa membuat mahasiswa sering dimarahi. Beruntung walau sakit perut, otak Nilla yang cerdas masih bisa mengikuti ritme diskusi. Kalau tidak, gadis itu yakin Bieru akan uring-uringan seperti di kampus.
Rupanya harapan Nilla untuk menghindari Bieru tidak bisa terlaksana. Sudah satu bulan ini, Nilla menghilang walau sebenarnya dia sudah merevisi berdasarkan masukan Bieru.
Siang ini saat dia keluar dari ruang kuliah B selepas mengikuti kuliah materi blok Kedokteran Komunitas dan Sistem Kesehatan, gawai yang ada di saku tas Nilla bergetar. Sambil berjalan di lorong kampus yang dipenuhi mahasiswa semester lima yang akan memasuki ruang kuliah B, Nilla merogoh saku tasnya sambil memperhatikan celotehan Dara yang tiada habisnya. Begitu melihat nama "Biru Laut" ada di layar gawainya, alis Nilla mengerut.
"Ra,bentar. Ada telegram masuk dari Dokter Bieru nih." Nilla menepi di sisi dinding lorong karena tak ingin mengganggu pengguna jalan lain.
"Sambil jalan aja napa, Nill?" Gadis bertubuh subur itu sudah tidak sabar ingin mengisi perut. Walau begitu ia tetap mengikuti Nilla menepi.
"Bahaya tahu!" Mata Nilla masih tertuju ke layar gawainya sementara jarinya bergeser untuk membuka pesan.
Begitu pesan terbuka, Nilla membetulkan letak kaca matanya agar bisa membaca tulisan dengan jelas.
[Biru Laut]
Saya tunggu revisian proposalnya.
Nilla mengembuskan napas panjang. Dia memang berjanji akan mengumpulkan revisi seminggu setelah bimbingan, tapi tidak dilakukan karena Nilla masih tak nyaman bertemu dosen idealis itu. Rasa malu masih membekas di batinnya.
"Ada apa?" Dara mengangkat alisnya. Belum sempat melongok ke layar ponsel Nilla untuk ikut membaca isi pesan yang membuat rona sahabatnya memudar, Nilla sudah menekan tombol power-nya.
"Disuruh ngumpulin revisian. Sebenarnya sih udah dari dulu kelar."
Dara mengernyit. Dia susah menebak ekspresi datar Dara. Nadanya suara juga susah ditebak. "Trus?"
Nilla menarik bibir menunjukkan senyum kaku. Dia pun menceritakan apa yang terjadi saat bimbingan di rumah Bieru, dengan tampang yang seolah menceritakan hal biasa.
"Kata lu malu. Tapi muka lu lempeng kek jalan tol, Nill. Datar," komentar Dara.
"Udah kejadian. Kemarin sih mukaku rasanya panas," kata Nilla sambil mengembalikan gawainya di saku tas. "Mau ikut?"
Dara menggeleng berulang. Bahkan judul penelitiannya baru dia ketikkan kata "Bab I". Sedang isinya, sama sekali belum terpikirkan. "Aku mau isi perut aja. Habis itu pulang. Mumpung nggak ada jadwal siang."
Akhirnya dua sahabat itu berpisah. Nilla pun bergegas menuju ke ruang dosen untuk mengumpulkan proposalnya.
***
Seperti biasa, ruang dosen terlihat sepi. Hanya ada Rina yang ada di meja kerjanya dan Violet yang bermain engklek di lantai yang digambar dengan kapur. Violet melempar gacuk yang ternyata adalah penghapus karet tipis ke kotak ketiga. Saat akan melompat dengan satu kaki, derit pintu yang terbuka menjeda apa yang akan dia lakukan.
Begitu melihat Nilla masuk mata Violet melebar. "Kakak Nilla!"
Violet berlari menghambur ke arah gadis muda itu hingga badan Nilla terhuyung. "Mau cari Papi?" tanya Violet dengan mata bulat yang mengerjap.
Nilla membetulkan kaca mata yang melorot ke hidung. Lalu ia menjawab, "Mau ngumpulin tugas aja, Vi."
"Kak Nilla nggak nungguin Papi?" tanya Violet dengan wajah yang mendongak.
"Nggak, Sayang."
Wajah Violet sontak memberengut. Padahal ia berharap Nilla menunggu papinya sehingga ia tidak bosan bermain sendiri. "Kak Nilla, habis ini mau belajar?"
"Nggak. Habis ini mau makan terus pulang," jawab Nilla mulai tak nyaman karena Rina terus saja tak bisa menyembunyikan kikikannya.
Mata Violet semakin melebar dengan binar cerah. "Vi ikut ya?"
Nilla menelan ludah kasar walau wajahnya masih sedatar permukaan lantai keramik. Mau menolak, tapi Violet sudah menunjukkan tanda-tanda mengeluarkan jurus maut.
"Kakak Nilla ...." Seperti yang Nilla tebak, gadis kecil itu sudah mengedip-ngedipkan mata untuk merangsang kelenjar air matanya. Nilla mengembuskan napas kencang. "Iya, ayo."
Violet bersorak ringan. Ia meninggalkan engkleng dan gacuknya begitu saja, lantas menggandeng tangan Nilla.
Tentu saja selama dalam perjalanan ke kantin, mereka berdua menjadi pusat perhatian. Banyak yang berbisik dengan tatapan iri. Nilla sudah mendengar rumor tak sedap tentang dirinya sejak skill lab komunikasi medis khusus yang lalu. Tak Nilla tak peduli. Kalau berani hadapi Nilla satu lawan satu. Dia tidak terlalu memusingkan omongan mahasiswa lain karena tidak berdampak pada kelulusannya.
Begitu sampai di kantin kampus, sekali lagi semua mata tertuju pada mereka. Sejujurnya Nilla canggung, walau ia menyukai dengan anak kecil. Dia bingung memperlakukan Violet bila bertemu di kampus. Bagaimana pun gadis kecil ini adalah putri sang dosen. Bisa saja satu traktiran akan dianggap gratifikasi mengingat Bieru adalah dosen pembimbingnya.
"Kak, aku mau makan nasi goreng seafood yang itu!" Violet menunjuk ke arah stand yang menawarkan menu chinese food.
Nilla teringat uang sakunya sudah menipis. Kalau ia makan nasi goreng seafood seharga dua puluh ribu, bisa-bisa nanti malam dia tidak makan.
"Ehm, yang lain aja ya, Vi?"
"Emoh!"
Saraf-saraf Nilla menegang. Kalau Violet adalah adiknya Nilla akan menghardiknya. Tapi, bagaimana bisa ia menyergah Miss Drama Princess yang disayangi sang papi ini?
"Oke. Vio duduk di sini. Kakak pesankan dulu."
Nilla mengalah. Dia akhirnya menuju ke stand nasi goreng dan memesan satu porsi.
"Pak, nasi goreng satu porsi dibagi dua. Satunya nggak pake isi, banyakin kerupuk. Satunya pake seafood," kata Nilla.
"Tumben pesan di sini. Biasanya ditraktir Dara. Bonusnya seafood dan nasi," komentar sang penjual.
Nilla hanya menarik bibir tipis dengan tatapan datar. "Lagi bokek."
"Pak, kasih porsi yang kek biasa! Tiga nasgor seafood yang dua nasi ekstra, plus isinya, sama kerupuk!" Suara Bona menyeruak dari belakang Nilla.
Nilla menoleh. Mata berbentuk almond itu mengerjap. Kenapa Bona selalu datang di saat yang tepat?
💕Dee_ane💕💕
Cerita ini sudah pernah tamat yak. Silakan mampir di KBM atau KK untuk mendapatkan cerita selengkapnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top