⚘7. Rejeki Anak Baik⚘

Bieru masih mengecek proposal penelitian mahasiswanya yang lain, saat pintu ruang dosen terbuka. Deriknya berkumandang di semua sudut ruangan yang hanya dihuni oleh dirinya.

"Papiii!!" Seruan Violet membuat senyuman Bieru terurai. Namun, satu detik kemudian tarikan bibirnya memudar ketika melihat Nilla ada di belakangnya.

Violet berlari menghampiri Bieru. Gadis kecil itu mengernyit dengan bibir mengerucut. "Ih, Papi kok diam aja dipanggilin? Mukanya jelek banget! Mana senyumnya?" Tangan kecil itu menarik pipi Bieru agar bibirnya tertarik membentuk senyuman.

Namun, alih-alih membentuk garis senyum, yang tergambar justru bibir yang mirip boneka Sesame Street yang panjang.

Dosen dan mahasiswa itu bersirobok. Wajah Bieru memerah, sementara Nilla mengerjap melihat wajah aneh karena pipi yang ditarik Violet.

"Vio, jangan begini, ah!" Bieru menepis pelan tangan sang putri. "Besok nggak boleh ikut lagi loh!"

"Lagian Papi ilang senyumnya. Vio nggak suka Papi cemberut, nanti cepet tua. Cepet mati. Nanti Vio sama sapa?" Violet mulai memanyunkan bibirnya.

Nilla mengulum senyum. Dia melipat bibir sambil memalingkan wajah. Tapi, tetap saja matanya dengan nakal melirik reaksi Bieru yang tak berkutik di depan putri cerdasnya.

"Papi kan masih muda. Nggak secepet itu mati. Papi mau nemenin Vio sampai besar."

"Sampai Violet menikah?" Mata Violet melebar. Dia sangat menyukai pernikahan. Otak kecilnya membayangkan upacara pernikahan seorang putri dan pangeran di seri putri-putri Disney.

"Iya. Pastilah!" Bieru melingkarkan tangan kekarnya di tubuh Violet dan menghadiahi gadis itu dengan kecupan di pelipis.

Nilla terkesiap dengan polah ayah dan anak itu. Dia tidak menyangka sosok Bieru yang killer dan tegas pada mahasiswanya adalah tipe ayah penyayang. Seketika gadis itu menggigit sudut bibir kiri dengan meremas map yang ia peluk di depan dada. Matanya di balik kaca mata mengerjap mengusir rasa panas karena teringat dengan bapak  yang sangat mengasihinya.

Bieru mendongak. Awalnya dia rikuh karena citranya sebagai dosen killer buyar di depan Nilla. Namun, melihat mata Nilla memerah, ia mengerutkan alis.

"Nill, makasih udah nemanin Violet. Maaf ngrepotin." Bieru bingung mengatur ekspresi. Haruskah dia tersenyum. Atau justru menampakkan wajah datar seperti biasa.

Kala mendengar suara Bieru, Nilla menghirup napas dalam-dalam. Dia menoleh sambil tersenyum tipis. "Nggak papa, Dok. Violet anaknya manis kok. Nggak bikin repot sama sekali."

Mata Bieru tak bisa mengerjap. Senyum tipis di wajah Nilla itu begitu manis di mata lelaki dewasa itu. 

"Ehm, proposalmu sudah sempat saya koreksi. Tapi ada beberapa yang perlu diperbaiki. Sepertinya jadwal saya seminggu ini full. Kalau mau konsultasi, kamu bisa ke rumah."  Bieru memiringkan badan, merogoh sesuatu dari saku belakang celana. Dikeluarkannya dompet lalu ia menarik sebuah kartu nama.

"Ini kartu nama saya. Ada alamat dan nomor telepon. Kamu bisa ke rumah malam nanti untuk bimbingan. Karena seminggu besok saya ada ngisi pelatihan dengan Cak Kus ke Makassar."

Sebuah kartu nama disodorkan di permukaan meja. Nilla yang masih berdiri, kemudian berjalan mendekat. Ia mengambil kartu nama biru dongker dengan tulisa di atasnya. Matanya menyipit kala membaca kertas berlaminasi glossy itu. 

Alexander Bieru Sagara, dr, M.Sc
Jln. Dharmahusada 5B Surabaya
No HP 081393185596

“Kalau mau konsultasi, nanti saya tunggu jam 7 malam sehabis praktik sore,” imbuh Bieru sambil menutup salah satu proposal yang sudah ia teliti.

“Baik, Dok. Nanti malam saya akan ke sana.”

***

Sejak dari pukul lima sore Nilla sudah mandi dan kini duduk di meja belajarnya. Dia mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas dengan perngering rambut, sambil otaknya berpikir hendak memakai baju yang mana untuk bimbingan malam nanti.

Nilla mendesah. Dia menatap bayangan dirinya di dalam cermin. “Nill, kenapa kamu bersemangat sekali? Apa yang kamu harapkan?”

Gadis itu mematikan hair dryer lalu menurunkan tangan ke pangkuan. Dia menggigit bibir, mengingat wajah Bieru yang tersenyum lebar saat menyambut putrinya. Entah kenapa, Nilla menjadi rindu sang ayah. Senyuman itu mirip dengan senyuman bapaknya yang meninggal karena ingin membelikan kejutan di hari ulang tahunnya.

Benar-benar suatu kejutan. Karena setelah membelikan sebuah kue ulang tahun, bapaknya ditabrak oleh seorang perempuan yang mengendarai mobil sambil menelepon. 

Nilla melirik jarum jam dinding. Waktu tinggal dua jam lagi sebelum jam tujuh malam, saat Dara meneleponnya. Sahabat baiknya itu terkejut karena Bieru memberi undangan bimbingan ke rumah. Setahu Dara, hanya Bieru yang tidak pernah melakukan bimbingan di rumah atau di tempat praktik. 

Nilla segera meraih gawai dan jarinya menggeser tanpa menerima panggilan. Tak lama kemudian suara Dara menyeruak pendengaran.

“Nill! Cie, cie, yang mau kencan!” Suara cempreng Dara terdengar melengking.

“Ih, kencan apaan?” Nilla mengerucutkan bibir. Pipinya memerah. 

“Hilih! Jelis kode keras itu! Vio kan nempel sama lu, makanya si babe mulai pedekate nyari maminya Vio,” komentar Dara dengan logat ibukota yang kental.

“Sembarang!”

“Nill, dandan yang cantik! Muka lu kan katanya udah cantik tuh, tapi lebih cakep lagi kalau dipoles-poles dikit. Biar Bang Bie terpesona. Hahaha!” Tawa Dara menguar keras. Nilla mengernyit sambil menjauhkan ponselnya.

“Apaan sih, Ra! Kelewatan banget imajinasinya. Daripada mikir itu, tuh kerjain proposalnya. Atau kalau nggak, bikin tugas Trauma dan Kegawatdaruratan Medik.” 

“Ish, nggak asyik banget sih lu. Jadi inget tugas yang belum kerjain kan? Ya udah, sono berangkat! Jangan telat! Biar bisa pedekate sama anak dan keluarganya!”

“Daraaa!! Apaan sih?!”

“Hahaha, iya, iya! Udahan ya. Selamat kencan Ondel-ondel.” 

Nilla mendengkus. Kadang Dara memanggil dengan nama Ondel-ondel, karena wajahnya hanya ada satu ekspresi seperti boneka ondel-ondel. Gadis itu menyandarkan punggungnya dengan kasar di kursinya. Namun, sekilas senyum tipis terukir di wajahnya. 

Nilla pun mengikuti saran Dara tak terlambat datang ke rumah dosennya. Dia segera mengeringkan rambutnya kembali kemudian segera memoles wajah. Satu hal yang jarang Nilla lakukan, karena gadis itu selalu tampil polos hanya dengan bedak dan polesan lipstik warna bibir.

Kali ini Nilla sengaja memulas matanya dengan eye shadow warna coral yang mempercantik mata almond di balik kaca mata. Pipinya disapukan blush on untuk menimbulkan kesan segar dan alisnya cukup ia sisir dengan eyebrow kit. Setelahnya Nilla mengulaskan kuas eyeliner berujung lancip di tepian kelopak mata untuk membentuk mata kucing.

Nilla mengerjap, lalu menarik bibir. Dia cukup puas dengan tampilan riasannya walau hanya samar saja menghias wajah. Entah kenapa gadis itu ingin tampil lebih segar saat menghadap dosennya.

***

Hampir setengah jam, Nilla mengaduk-aduk isi lemarinya. Dari awalnya memakai rok dan blus akhirnya ia kini memutuskan memakai kaus bergambar Donald kiriman Om Aga dan celana jeans pensil. Pukul 06.15 akhirnya gadis itu keluar dari kos.

Sebelum ke rumah Bieru, Nilla mampir ke sebuah toko di depan gang kosnya. Dia sebenarnya hendak membeli alat tulis. Tapi saat melihat sebuah jepit rambut berbentuk Elsa Frozen, gadis itu teringat Violet. Tanpa pikir panjang, dia membeli jepit untuk buah tangan anak sang dosen.

Di depan gang, dia memanggil ojek online untuk mengantarnya pergi ke rumah sang dosen. Dia tidak mempunyai motor seperti teman-temannya yang lain. Setelah sepuluh puluh menit perjalanan, akhirnya Nilla sampai di depan pagar berwarna hitam. 

Rumah itu terlihat mewah dan berada di depan jalan yang cukup besar. Cahaya lampu taman menerangi taman berumput Jepang yang subur. 

Nilla mendekat ke arah pintu masuk gerbang. Dia menjulurkan tangannya masuk ke terali logam untuk menekan bel. Tiga kali dia menekan hingga akhirnya seorang perempuan muda datang tergopoh untuk membukakan.

"Mbak Nilla ya?" tebak Desta, asisten rumah tangga keluarga itu.

"Iya, Mbak. Dokter Bieru ada?" tanya Nilla.

"Masih praktik. Kata Pak Bieru suruh nunggu dulu." Tangan Desta sibuk membuka gerendel pintu pagar. Derik pagar terdengar keras saat pintu terbuka. “Mari masuk, Mbak.”

Nilla masuk dengan langkah ragu. Bola matanya bergulir ke kiri dan ke kanan. Halaman yang ditata bebatuan coral itu menyambut kedatangannya. Tak lama kemudian pekikan keras Violet memenuhi halaman. Gadis kecil itu berlari untuk menyongsongnya.

“Kak Nilllaa!!” 

Tubuh Nilla terhuyung karena Violet menghambur dan menubruknya. Anak kecil itu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Nilla. 

“Hallo, Vio. Ini kakak ada oleh-oleh.” Nilla merogoh jepit rambut. Dia mengulurkannya pada Violet. “Nggak mahal kaya yang Vio punya sih.”

Violet mengambil jepit itu dari tangan Nilla. Matanya membulat lebar saat melihat karakter favoritnya. Mulut mungilnya menganga tak bisa menyembunyikan rona bahagia. “Makasih, Kak. Vio sayangggg sama Kakak!”

Saat Nilla dipeluk lebih erat oleh Violet, seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama. “Violet, siapa itu?”

Violet mengurai pelukannya. Dia berbalik dan berseru, “Ini Kakak Incess yang Vio cerita, Oma!” Violet pun menarik Nilla. 

Nilla bingung. Dia hanya menurut saja ke mana Violet menarik tangannya. 

“Ini Kakak Nilla, Oma. Cantik kaya Vio, kan?” Mata besar itu mengerjap. 

Pernyataan Violet itu disambut oleh gelak tawa Aruna. Wanita itu memandang gadis berambut panjang yang kini berdiri dengan sikap canggung di depannya. “Nilla, kenalin, saya maminya Dokter Bieru. Kebetulan kami sedang makan malam. Ayo, sekalian bergabung. Tante yakin kamu belum makan malam.”

Nilla tersenyum tanggung. “Nggak usah, Tante. Saya mau bimbingan kok.”

Aruna memberengut. Dia menarik tangan Nilla tiba-tiba. “Sudah. Nggak usah sungkan!”

Sungguh, Nilla benar-benar tidak enak hati saat diseret masuk ke dalam rumah. Saat melalui ruang tamu, matanya sempat memindai foto yang terpajang di dinding. Sebuah foto pernikahan tergantung di sana. Dengan Bieru dengan beskap putih tersenyum lebar dan memandang dengan tatapan penuh cinta pada seorang wanita yang sangat anggun dibalut kebaya pernikahan putih.

Nilla akhirnya duduk di kursi yang mengelilingi meja makan. Matanya mengerjap saat melihat menu yang terhidang di meja makan. Udang goreng tepung, cah kangkung, sambal, lalapan, tahu goreng, terong goreng, dan lele. Gadis itu menelan ludah. Makanan yang masuk lambungnya tadi siang sepertinya sudah tercerna habis tak bersisa, menyisakan bunyi gaduh dari perutnya. 

“Ayo, makan!”

Perut Nilla bergolak. Ludahnya terangsang memenuhi rongga mulut. Dia melirik jarum jam di dinding.

Masih kurang seperempat jam. Nggak papa lah mumpung Duren Mateng belum datang. 

Kalau sudah seperti ini, mental anak kosnya meronta. Tanpa sungkan dia mengambil piring dan mengisinya dengan nasi menggunung, udang, tahu dan lele. Terong, lalapan, sambal dan sayur pun tak lupa dia ambil.

Tak dimungkiri Nilla benar-benar lapar. Dia menganggap tawaran makanan Aruna sebagai rejeki yang tidak boleh dilewatkan. Gadis itu akhirnya  melahap makanan yang sangat cocok di lidahnya.

“Pelan-pelan, Nill. Masih banyak.” Aruna tersenyum melihat Nilla yang lahap makannya. Dia rindu bisa ditemani makan seperti itu. Setelah anak-anaknya dewasa, kesempatan makan bersama seperti ini menjadi berkurang. 

 “Kamu udah datang, Nill?” 

Suara yang sangat Nilla hafal tiba-tiba terdengar saat gadis itu mengunyah lele dengan sambal yang relatif pedas. Sontak, Nilla terbatuk karena terkejut tak menyangka sang dosen datang sebelum  waktunya.

💕Dee_ane💕💕

Sudah ada part lanjutannya di KK dan KBM yak ...

Hai, kenalin aku Violet Senja Sagara😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top