⚘5. Bieru vs Nilla⚘
"Papi, berhenti!"
Titah putri kecil Bieru Sagara itu mutlak. Tak bisa dibantah. Bila ia tetap melajukan mobil, Bieru bisa membayangkan gadis mungil itu akan merajuk dan tak mau berbicara dengannya. Tapi, kalau ia tiba-tiba menghentikan mobil di depan halte untuk menyapa seorang mahasiswi sepertinya merupakan ide yang buruk. Bieru tak ingin ada rumor tak sedap yang beredar. Sudah cukup ia digosipkan dengan Goreti. Ia tidak ingin menambah daftar gadis yang menjadi sasaran perbincangan hangat di kampus.
"Papi! Berhenti!" Violet mengguncangkan lengan Bieru saat mobil mereka berlalu dari halte.
"Vio Sayang, bahaya! Ini di jalan raya!" Bieru sesekali menoleh ke arah Violet.
"Papi ini! Tadi ada Kakak Incess. Kasihan dia di halte sendiri! Gimana kalau diculik orang jahat?"
Bieru melipat bibir, mengulum senyuman. Diculik orang jahat? Sepertinya mereka akan berpikir dua kali saat melihat wajah datar Nilla.
"Kakak Incess kan udah besar, Vi. Bisa jaga diri."
Kini Violet mengeluarkan jurus pamungkasnya. Ia menaikkan kaki yang masih bersepatu ke jok berlapis kulit warna abu-abu. Tangannya bersedekap dengan bibir maju lima senti.
Bieru melirik Violet. Ia tidak suka bila Violet mengotori jok kulit itu dengan sepatunya. Lelaki itu akhirnya hanya mendesah, sambil berpikir cara membujuk putrinya.
"Eh, kita ke swalayan yuk? Mampir beli es krim?" Suara Bieru dibuat seceria mungkin walau hatinya dongkol. Kalau sudah begini ia seperti membutuhkan pil sabar yang sayangnya tidak dijual di apotek terdekat.
Violet masih mengunci bibir. Kini bibirnya berkerut seperti bisa dikuncir.
"Vio?"
Violet menggeleng. "Kita berputar. Kasihan Kakak Incess sendirian."
Bieru mendengkus, tak memedulikan putrinya. Namun, kini Violet memulai dramanya.
"Papi jahat! Padahal Papi bilang kita harus baik sama orang lain. Masa kita lihat Kakak Incess di halte nggak ditebengin?" Mata Violet memerah. Bibirnya kini melengkung ke bawah.
Bieru merutuk anaknya yang kukuh pendirian. Ternyata Ella, sang istri tak hanya menurunkan paras cantiknya kepada Violet tetapi juga sifat ngenyel dan teguh pendirian.
Bieru berusaha menulikan telinganya. Tapi, kini anaknya mengguncangkan lengan kekarnya.
"Papi, please!"
Bieru tak tahan dengan rengekan putri semata wayangnya. Mau tidak mau dia berbelok ke kiri mengitari jalan luar kampus agar bisa kembali ke halte tempat Nilla menunggu.
Entah kenapa jantung Bieru berdetak kencang. Otaknya sudah merencanakan kalimat sapaan saat membuka kaca jendela mobil. Ia menggigit bibirnya, dengan mata tertuju ke halte warna biru yang ada di depan kampus saat mobil sudah memasuki lagi jalan utama depan kampus.
Begitu menepi di depan halte, decakan kecewa dari Violet terdengar kencang. Nilla sudah tidak ada di situ. Namun, embusan lega justru terdengar halus dari mulut Bieru.
***
Nilla melihat beberapa kali ke arah pergelangan tangannya. Waktu sudah hampir pukul empat sore. Ia sedang malas berjalan kaki ke kosnya karena merasa badannya tiba-tiba lemas.
Nilla masih memikirkan bagaimana bisa memperbaiki kesalahannya. Lidahnya yang tak bertulang itu menjegal di saat proses perkuliahannya selama ini berjalan mulus. Ia tidak pernah bermasalah dengan dosen, dan track record-nya pun selalu baik karena dipandang sebagai mahasiswi yang cerdas dan berprestasi.
Namun, ia kemudian mendengkus, merasa konyol karena seolah ia kecewa Bieru tak jadi dosen pembimbingnya. Bukankah di bagian Anatomi masih ada dosen lain yang tak kalah pintar? Bahkan, kalau dipikir-pikir, lebih baik Nilla mendapat dosen lain daripada dibimbing oleh Bieru, karena dosen muda itu seolah ingin mempersulitnya.
"Nilla!" Seruan itu membuyarkan lamunan gadis itu.
Seorang lelaki dengan mengenakan helm, duduk di atas sadel vespa berwarna merah metalik. Nilla mengernyit tetapi ia masih saja duduk di bangku halte.
"Ada apa?"
"Ayo, pulang bareng!" ajak Bona, sambil menggerakkan dagu menunjuk ke boncengan belakang yang kosong.
"Nggak usah. Makasih," tolak Nilla halus. Ia tidak ingin memberikan harapan pada Bona yang berkali-kali menyatakan cinta padanya.
Bona berdecak. Ia menatap ke langit-langit yang sudah tak lagi terik. "Udah terlalu sore. Lagian kos kita juga berhadapan. Aku sekalian pulang."
Nilla melirik ke ujung jalan. Angkutan kota tak juga tampak. Gadis itu hanya mengembuskan napas kasar karena tak punya dalih menolak ajakan Bona. Akhirnya ia pun berdiri lalu menghampiri Bona yang tersenyum lebar.
"Kok bawa dua helm?" Nilla mengernyit, saat menerima pelindung kepala dari Bona.
"Feeling aja. Kayanya bakal ada penumpang VIP." Alis Bona naik turun tapi seperti biasa Nilla hanya melengos.
Hanya selisih beberapa detik, mobil yang dikendarai oleh Bieru berkurang kecepatannya dan perlahan menepi di depan halte.
"Papi kan! Gimana kalau Kakak Incess diculik penjahat?" Pekikan Violet memenuhi seluruh kabin.
"Kakak Incess sudah pulang, Vi. Kan sudah sore." Bieru mengembangkan senyuman sambil mengelus lembut rambut yang kepangannya berantakan.
Violet memicing memandang sang papi. "Papi kok happy gitu?"
Bieru menaikkan alis. Ia menepuk pipi menyembunyikan perasaan leganya. Lantas lelaki muda itu mengatur ekspresi seolah ikut bersimpati dengan apa yang dirasakan Violet. "Papi juga kecewa, Sayang. Karena itu, kita sepertinya butuh es krim. Ok?"
Violet mengerutkan alis. Bibir yang mengerucut diketuk-ketuk seolah berpikir keras. Beberapa detik kemudian ia berkata, "Baiklah. Aku mau ... dua!" Violet mengacungkan jari membentuk huruf "V".
"Beres, Tuan Putri!"
Bieru pun akhirnya melajukan kembali mobil SUV. Saat mobil mereka berhenti di perempatan, Bieru menoleh ke kanan mengamati sekeliling. Alisnya mengerut saat melihat seorang gadis duduk di boncengan vespa dengan seorang laki-laki yang tak bisa menghentikan senyumnya kala bicara.
***
Keesokan paginya, saat Bieru sampai di ruang dosen sebelum mengajar kelas pertama, Rina mendatangi Bieru.
"Dok, saya sudah memberitahu tahu Dokter Yuli perihal revisi pembagian mahasiswa bimbingan. Sepertinya beliau keberatan karena beliau justru tertarik dengan judul yang diajukan mahasiswa bimbingan Dokter Izmi. "
Bieru mengerutkan alis saat mendengar penjelasan Rina. Ia kini duduk di mejanya, lalu mempersilakan Rina duduk dengan gerakan tangannya. "Maksudnya?"
"Maksudnya, Dokter Yuli ingin meminta mahasiswa bimbingan Dokter Izmi karena beliau tertarik untuk mengembangkan judul penelitiannya. Biar Dokter Bieru tetap membimbing Nilla," lanjut Rina.
Bieru melirik proposal yang tergeletak di mejanya. Di bawah cover mika transparan itu sudah ada memo berisi tulisan tangan Bieru.
Rina menangkap gerakan bola mata dosen muda itu. "Lagi pula sepertinya dokter tertarik dengan judul penelitian yang diajukan oleh Nilla."
Bieru mengembuskan napas. "Dokter Yuli belum bilang ke saya sih?"
"Sebenarnya sejak awal Dokter Yuli sudah menyukai judul penelitian mahasiswa bimbingan Dokter Izmi. Tapi awalnya karena beliau masih punya mahasiswa bimbingan yang belum selesai sidang, ia hanya mendapat jatah sebagai dosen pembimbing kedua. Makanya begitu ada kabar Dokter Izmi mundur karena akan berangkat ke Jerman, Dokter Yuli mau membimbingnya."
"Baiklah. Nanti saya bicarakan dengan beliau."
Rina mengangguk. Ia pun bangkit untuk kembali ke bangkunya.
Bieru menarik bendel proposal yang kemarin sempat ia koreksi. Senyum tipis tergambar di wajahnya, mengakui ketelitian dan kecerdasan Nilla membuat proposal penelitiannya terbilang rapi dan terkonsep dengan apik.
Bieru akhirnya merogoh gawai. Jempolnya menari membuka kunci dan mengetikkan sebuah pesan pada teman sejawatnya.
[Bieru]
Mas, aku udah dikasih tahu Bu Rina. Entar mahasiswa Bu Izmi nggak jadi aku handel.
[Yuli,dr]
Oke. Thanks ya, Bie. Aku ntar bilang Bu Izmi.
***
Siang ini, Nilla, Bona dan Dara kembali melihat pengumuman dosen pembimbing. Tak ada perubahan banyak. Dara yang awalnya mendapat dosen pembimbing Izmi akhirnya dialihkan dibimbing Yuli. Sementara formasi yang lain tetap sama.
Mata almond Nilla membeliak saat melihat dosennya tidak berubah. Sementara Dara justru kebingungan, karena ternyata hanya dirinya yang berubah dosen pembimbingnya.
"Kata lu, dosbing lu bukan Dokter Duren? Kok tetep, Nill? Malah gue yang ganti." Dara mengerutkan alis.
Nilla hanya mengangkat bahu. Melihat diamnya Nilla, ia menarik Nilla untuk diajak menemui Rina. Dara ingin mendapat penjelasan, kenapa ia yang dioper-oper seperti bola. Dua mahasiswi itu masuk ke ruang dosen yang masih sepi karena beberapa dosen ada tugas mengajar.
"Bu, dosbing saya kok bisa ganti Dokter Yuli? Padahal saya udah happy dapat dokter malaikat sebaik dokter Izmi." Dara memulai curhatnya.
Rina menggeleng-geleng. Sudah sering ia menjadi sasaran curhat para mahasiswa. "Iya. Judul yang kamu ajukan itu disukai sama Dokter Yuli. Awalnya Dokter Izmi mau kasih kamu buat dibimbing ke Dokter Bieru, terus Nilla yang dikasih ke Dokter Yuli."
Dara mengerjap. Ia menggeleng. "Nggak. Ampun deh. Nggak kelar-kelar nanti skripsi saya kalau sama Dokter Bieru."
Nilla mengernyit. "Nggak segitunya kali?"
"Lu nggak tahu Nill kalau Dokter Bieru itu terkenal perfectionist. Nggak suka ada typo, trus dia juga idealis banget. Ngganteng sih ngganteng ... tapi idealisnya itu loh yang nggak nguatin."
Nilla berdeham, saat melihat Bieru tiba-tiba muncul dari luar. Dosen muda itu berdiri di ambang pintu. Nilla berusaha memberi tanda pada Dara yang terus saja mencerocos.
"Pantas saja Si Duren nggak dapat istri, saking pilih-pilih," tambah Dara.
"Wah, kasihan sekali ya, saking pilih-pilih nggak dapat istri? Ck, ck, ck ...."
"Iya, bener kan kata gu-" Saat Dara berbalik, seketika matanya membeliak mendapati Bieru yang sudah ada di belakangnya dengan mata yang tajam menatap gadis pendek dan bulat itu.. "Dok-dokter ...."
"Siapa namamu?" tanya Bieru menunjuk dengan dagu.
"Da-Dara, Dok." Dara meringis.
"Daripada kamu nggosip di sini, kedengaran sama orang yang digosipin mending belajar." Bieru kini mengalihkan pandang kepada Nilla. "Oh, ya. Kamu Nilla? Saya udah baca proposal kamu. Ayo, ke meja saya."
Bieru berlalu dari mereka. Sementara Dara dan Nilla saling pandang.
"Nill, gimana nih nasib gue?" tanya Dara sambil menepuk bibirnya.
"Kenyataan juga sih yang kamu bilang. Tapi nggak papa, Ra. Biar beliau introspeksi juga sehingga nggak nyulitin mahasiswa."
Rina terkikik mendengar pembicaraan dua sahabat bertolak belakang sifat itu. "Udah, Nill. Tuh, Dokter Bieru nunggu. Dia nggak suka nunggu terlalu lama kecuali nunggu anak sama istrinya. Bisa disemprot kamu!" kata Rina.
"Iya, Bu. Tapi, kayanya nggak ada alasan beliau buat nyemprot saya kalau soal proposal."
Nilla pun akhirnya berjalan menghampiri Bieru. Sementara itu sang dosen yang sudah duduk di belakang mejanya, hanya melirik mahasiswa cantik yang mengikis jarak dengannya.
"Bagaimana, Dok?" tanya Nilla begitu sampai di depan mejanya.
"Duduk dulu."
Nilla duduk dengan anggun walau jantungnya bergemuruh. Ia tetaplah seorang perempuan muda dengan hormon yang bergejolak bila melihat lelaki bertampang bening.
"Saya sudah baca proposal penelitianmu. Namun, sayangnya, kamu harus banyak melakukan perbaikan." Bieru mengambil proposal bersampul mika transparan. Ia menarik memo yang sudah penuh berisi masukan perbaikan. Tak hanya satu lembar tapi dua lembar.
Nilla menelan ludahnya. "Perbaikan yang mana, Dok?"
"Judulmu bagus. Tapi coba cek lagi jumlah sampel dengan ketersediaan kadaver kita. Kenapa kamu bikin jumlah sampelnya banyak sekali? Atau kamu mau gali kubur? Kamu tahu kan kadaver baru bisa dipakai setelah direndam formalin kira-kira 8 bulan sampai dua tahun?"
Nilla mengambil proposalnya kembali. Ia mengambil catatan yang ditulis serupa sandi rumput oleh Bieru. Ini kali pertama ia melihat tulisan Bieru.
"Trus, metode penelitianmu. Siapa yang akan melakukan prosection-dissection pada kadaver? Karena harus didampingi oleh orang yang terlatih. Kalau kamu yang bikin bisa jadi abon karena kamu suwir-suwir!"
Telinga Nilla memerah. Baru kali ini ia dikritik habis-habisan. "Trus kamu yakin mau meneliti selama satu bulan? Emang dosen yang kamu membantu kamu prosection-dissection itu nggak ada kerjaan lain, cuma nungguin penelitian kamu?"
Nilla hanya mengeratkan rahang. Ia memandang kosong beberapa catatan Bieru di kertas itu. Gadis itu tak menjawab. Belum apa-apa, lelaki itu sudah membanjiri dengan kritikan.
"Baik, Dok. Saya akan menghubungi Pak Kus."
"Ngapain kamu hubungin Pak Kus?" tanya Bieru dengan suara meninggi.
"Dokter bilang tadi sampel saya kebanyakan. Makanya saya nanya ketersediaan sampelnya."
"Kenapa tidak tanya saya? Saya ini dosen pembimbingmu!"
"Kemarin dokter bilang bukan dosbing saya. Sekarang dokter minta diakui dosbing saya."
Lagi-lagi Nilla merutuk karena lidahnya yang kepleset saat melihat pelototan mata Bieru dengan wajah yang memerah.
💕Dee_ane💕
_______
Prosection adalah pembedahan mayat oleh ahli anatomi berpengalaman untuk menunjukkan struktur anatomi siswa, namun dalam penelitian ini tanggung jawab berada pada kelompok siswa untuk melakukan dan mendemonstrasikan pembedahan tersebut kepada kelompok siswa lainnya.
Dissection adalah pemotongan tubuh hewan atau tumbuhan yang telah meninggal untuk mempelajari struktur anatominya yang dilakukan oleh mahasiswa sendiri.
Ikutin ceritaku yang lain yuk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top