⚘3. Penyerahan Proposal⚘

Semua memandang iri ke arah Nilla saat beberapa mahasiswi lain membaca pengumuman dua dosen kece itu menjadi pembimbingnya. Namun, Nilla hanya menunjukkan wajah datar saja saat berbalik hendak keluar dari gerombolan.

Akhirnya Nilla dan Dara memilih berlalu dari lorong ruang dosen, meninggalkan beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang masih melihat pengumuman. Dara yang kelaparan mengajak Nilla makan di warung bakso kampus. Sementara itu, Bona sudah bergabung dengan teman-teman laki-laki yang untuk makan di kantin lapangan tenis.

"Daebak! Mimpi apa lu, Nill? Dapat duo dosen kece. Gue mayan sih dapat Dokter Ezra, tapi tetaplah para mahasiswi di sini rela dimarahin lama-lama sama Dokter Bieru!" kata Dara sambil menepuk keras lengan Nilla ketika mereka turun ke lantai satu.

"Nggak mimpi apa-apa? Heran ya, gitu aja heboh? Aku juga nggak tahu kenapa aku bisa sama dua dosen ganteng itu," jawab Nilla dengan wajah biasa.

Ekspresi Nilla itu justru mendapat lirikan sinis dari beberapa mahasiswi yang berjalan di belakang mereka. Tapi Nilla tak peduli. Ia memang tidak tahu kenapa bisa mendapat dua pembimbing itu.

"Mungkin karena mereka suka sama salah satu judulku yang berbobot kali ya?" Nilla mengangguk-angguk sendiri sambil menatap sahabatnya yang pendek dan bulat. Bila mereka berjalan persis seperti angka sepuluh.

"Sayangnya yang berbobot cuma badan gue. Bukan judul skripsi gue," kata Dara lirih. Melihat wajah temannya yang merengut, Nilla merangkulnya.

"Nanti aku bantuin biar berbobot. Judulmu udah oke. Idenya bagus. Kamu aja yang nggak pernah pede."

Karena Nilla fokus berbicara dengan menghadapkan wajah ke arah Dara, ia tidak tahu di depannya berjalan dosen muda yang sibuk membalas chat. Mereka bertabrakan, hingga akhirnya gawai sang dosen melayang dan jatuh terseret di lantai.

Saat menoleh dan mendongak, Nilla terkesiap. Tapi, tetap saja yang ditampakkan Nilla hanya wajah datar yang diam membalas tatapan sang dosen. Ia tak menyangka bertabrakan dengan Bieru yang wajahnya sudah memerah.

"Maaf, Dok." Dara cepat-cepat mengaku dosa karena melihat Nilla yang hanya membisu.

Bola mata Bieru bergulir bergantian menatap Nilla dan Dara.

"Kenapa yang minta maaf kamu? Temanmu yang menabrak saya?" ujar Bieru dengan nada dingin.

Kuduk Nilla meremang mendengar sergahan Bieru. "Maaf, Dok," jawab Nilla tak kalah datar suaranya dari Bieru. "Dokter sepertinya juga yang menabrak saya, karena Dokter bermain hp sambil berjalan. Apa saya tidak bisa menerima permintaan maaf dari Dokter?"

Kasak kusuk di sekitar mereka terdengar seperti lebah berdengung. Walau senyum tipis terukir di wajah Nilla berusaha memberikan keramahan, tapi wajah pucat gadis itu masih terlihat serius.

Melihat sorot mata tajam yang beradu dari dosen dan mahasiswa itu, Dara pun beringsut mengambilkan gawai Bieru. Ia bisa melihat sekilas retakan di kaca layarnya. Begitu dibalik Dara terkesiap mendapati merek ponsel dengan logo apel tergigit.

Bieru mengernyit. Lantas ia tertawa. Baru kali ini ia tahu ada mahasiswa yang berani menegur dosen. "Kamu?"

"Saya Nilla, Dok. Daniella Sekar Arum. NIM 0115-"

"Nilla." Bieru mengangguk-angguk. "Baiklah. Saya minta maaf. Hati-hati juga kalau berjalan."

"Ehm, Dok. I-i-ini ponselnya. Agak retak ya?" Satu alis Bieru terangkat. Diterimanya gawai yang disodorkan Dara.

"Waduh, gimana nih? Kok retak? Apa saya perlu minta pertanggung jawaban yang menabrak saya?" tanya Bieru membalik-balik ponselnya. Sekilas ia melihat wajah Nilla semakin putih. Ia tersenyum miring.

"Itu bukan sepenuhnya salah saya," cicit Nilla.

"Begitu ya?" Bieru mengangguk-angguk sambil terkekeh ringan. Namun, di mata Nilla, kekehan itu membuat kuduknya merinding.

"Makasih, ya," kata Bieru pada Dara. Sesudah berkata begitu Bieru berlalu memasuki ruang dosen.

Nilla mengembuskan napas dengan sangat halus hingga tak terdengar oleh Dara. Wajahnya yang memucat tegang itu kembali lagi ronanya. Ia meremas samping celana kain yang dikenakan sambil merutuki lidahnya yang berani menegur dosen killer.

"Nill, dia kan dosen pembimbing lu? Gimana kalau lu dipersulit?" Justru Dara yang terlihat cemas.

"Nggak lah. Kalau aku bisa ngerjain proposal dengan baik, nggak ada alasan dong dia mempersulit aku?" Respon Nilla itu terdengar sumbang. Ia juga tak yakin dengan pemikirannya.

Dara hanya menepuk punggung Nilla seolah ingin mengusir gundah.

"Nilla, ponsel dokter Bieru layarnya retak tuh. Gimana kalau lu disuruh ganti?" Tenggorokan Nilla terasa kering mendengar ucapan Dara. Ia tahu harga ponsel dosennya pasti sangat mahal. Kalau disuruh ganti, Nilla tidak tahu apakah uang tabungannya akan cukup.

Melihat Nilla yang dilanda kegalauan, Dara segera mencari topik lain. "Oh, ya, gue tadi sempet liat di wallpapernya ada gambar kolase cewek cantik sama balita lucu. Ih, gamon banget ya tuh cowok."

Tapi rupanya Dara gagal mengalihkan perhatiannya. Nilla cemas dengan kemungkinan ia dipersulit sang dosen. Bisa-bisa skripsinya terhambat dan akhirnya ia molor mendapat gelar Sarjana Kedokteran.

***

Sesampainya di kos, Nilla segera mengambrukkan badan di kasur kecil bersprei Winnie The Pooh warna biru. Kamar berukuran 3x4m itu telah menjadi tempatnya berteduh selama ia menjalani perkuliahan di fakultas kedokteran.

Sebuah jam dinding berbentuk bunga warna biru yang tergantung di dinding menunjukkan pukul 4. Nilla langsung menegakkan tubuh. Ia teringat harus mencetak proposal agar besok bisa memberikan proposal itu kepada Bieru.

Setelah mandi sore, Nilla menyalakan laptop, dan menyempatkan lebih dulu membuka e-mail. Ia harus menghubungi Aga yang selama ini memberi bantuan pendidikan sejak ayahnya meninggal. Omnya akan rutin menghubungi untuk mengabarkan bila sudah mengirimkan uang bulanan atau uang semesteran.

Namun, saat ini Nilla kecewa. Tak ada email balasan masuk di inbox. Padahal pada email terakhir, gadis itu sempat menceritakan kegalauannya tentang sang ibu yang sering sakit. Biasanya e-mail curhatannya akan dibalas, walau dengan kalimat pendek.

"Pasti, Om Aga sibuk," desah Nilla sambil menaikkan kaca matanya, berusaha memaklumi profesi Aga sebagai pengacara.

Walau begitu, jari Nilla masih menari di atas touchpad mengarahkan kursor pada menu compose. Nilla kembali menuliskan sebuah pesan pada omnya.

Dear, Om Aga,

Apa kabar, Om? Nilla sehat. Terima kasih uang yang sudah dikirim bulan ini. Om, Nilla galau. Tadi Nilla menegur dosen yang menabrak Nilla. Reflek aja gitu. Padahal dia dosen pembimbing Nilla. Kira-kira Nilla bakal dipersulit nggak ya? Apa sebaiknya Nilla ganti bagian?

Salam

Nilla

Walaupun Nilla galau, ia tetap mengerjakan proposal skripsinya. Setidaknya saat mengumpulkan proposal besok, tidak ada alasan Bieru marah padanya. Gadis itu benar-benar mengecek kembali semua bab jangan sampai ada salah pengetikan.

Menjelang tengah malam, tiga proposal sudah dijilid dengan rapi. Senyum puas tergambar di wajah lelah Nilla. Ia berharap bisa melewati masa skripsinya dengan mulus tanpa hambatan, sehingga bisa lulus tepat waktu.

***

Dara dan Bona berdecak kagum melihat tiga bendel proposal yang sudah diletakkan dengan rapi di map plastik, saat diskusi kecil selesai dilaksanakan.

"Wah, hebat judulmu 'Variasi Percabangan Facial Artery pada Kadaver di Laboratorium Anatomi FK Dharmawangsa'." Bona mengambil satu proposal Nilla dan membaca judulnya dengan keras.

"Biasa aja kali. Aku cuma modal ngetik gitu aja dan jadilah proposal dengan judul yang katamu hebat ini." Bona melirik Nilla. Ia terkekeh sambil terheran-heran. Kadar sombong level tinggi itu diucapkan dengan wajah datar.

"Nill, kan kita kemarin baru tahu usulan judul yang disetujui. Kok lu udah jadi aja?" Dara kalut membuka-buka proposal skripsi Nilla yang sangat rapi. Gadis itu hanya setor judul saja, belum mempersiapkan semuanya.

"Tenang, Ra. Kan masih ada seminggu buat ngumpulin proposal," kata Bona lebih menghibur diri sendiri.

"Iya. Aku iseng aja bikin. Nggak tahunya udah jadi aja proposal ini," kata Nilla sambil mengumpulkan alat tulisnya dan memasukkan ke dalam tas.

Dara mengerjap berulang. Pipi gembul yang biasanya merah itu memudar warnanya. "Nill, kek biasa. Lu bantuin gue ya?"

"Iya. Asal kamu juga usaha. Jangan perut aja yang diisi. Ilmu juga tuh!" Nilla berdiri. Dia mengebaskan kain rok selututnya. "Kalian mau ikut?"

Bona dan Dara menggeleng. Untuk apa mereka ikut Nilla yang mau mengumpulkan proposal? Yang ada mereka akan disindir karena belum mengerjakan. Berteman dengan Nilla memang harus kuat bila dibandingkan oleh dosen mereka. Nilla selalu mengumpulkan tugas pertama kali, dan selalu mendapat sanjungan karena pekerjaan yang memuaskan.

Sambil menaikkan bingkai kaca matanya, Nilla berkata. "Ya udah. Aku duluan. Ketemu di ruang skill lab, ya?"

Dengan langkah mantap, Nilla bergegas ke ruang dosen. Dadanya berdegup kencang karena akan berhadapan dengan dosen yang sudah ia singgung kemarin.

Nilla memasuki lorong sepi deretan ruang dosen. Begitu sampai di depan pintu, ia berhenti sejenak. Ia menyugar rambut untuk merapikan penampilannya, sebelum gadis itu mengetuk pintu.

Terdengar suara dari dalam memperbolehkan Nilla masuk. Nilla pun membuka pintu dan menyapa seorang perempuan yang duduk di meja di samping pintu.

"Siang, Bu. Bisa bertemu Dokter Bieru?" tanya Nilla dengan sopan.

"Itu, beliau di belakang mejanya," kata Rina yang merupakan staf di bagian Anatomi. Di samping, Bu Rina duduk seorang gadis kecil berkepang dua dengan baju TK sedang sibuk menggambar. Nilla gemas sekali dengan pipi chubby anak itu.

Nilla tersenyum tipis. Ia menoleh ke arah yang ditunjukkan Rina. Mata almondnya mengerjap di balik bingkai kacamata saat menatap Bieru yang tertawa renyah. Satu hal yang baru kali ini gadis itu lihat.

Sambil menghela napas panjang, Nilla mengikis jarak, menghampiri sang dosen. "Selamat siang, Dok. Maaf mengganggu."

Tawa keras Bieru dan Ezra terhenti. Mereka menoleh ke arah gadis yang mendekap map merah muda. Alis keduanya mengerut.

"Ada apa?" tanya Bieru dengan suara berat dan ekspresi serius.

"Saya mau mengumpulkan proposal skripsi."

Saat Nilla mau mengambil bendel proposalnya, tiba-tiba Bieru berkata, "Memangnya kamu mahasiswa bimbingan saya? Mahasiswa saya bukan kamu."

Seketika mata Nilla membeliak. Wajah yang awalnya menunduk hendak mengambil proposal, kini mendongak untuk menatap Bieru. Jantungnya berdentum kencang. Betul ternyata kata Dara, dosen killer itu berusaha menjegalnya.

***

Sumber :

VARIASI PERCABANGAN FACIAL ARTERY PADA KADAVER DI LABORATORIUM ANATOMI FK UNAIR

Oleh : Mahmud Hidayatullah

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top