⚘18. Kebimbangan Nilla⚘

Holla, Deers ....
Apakah kalian menanti Bieru, Nilla, n Violet?
Semoga kalian terhibur yak? Jangan lupa ramaikan yak. Di KK dan KBM sudah tamat. Happy reading.

⚘⚘⚘

Nilla tersenyum. Ia membalikkan badan tak menjawab pertanyaan Bieru. Padahal sesungguhnya dada gadis itu bergemuruh. Gadis mana yang tidak leleh saat ada lelaki yang ia suka menembaknya? Ah, bukan! Ini adalah sebuah lamaran. Bukan sekedar menembak untuk dijadikan pacar.

Namun, tetap saja otak logisnya meraung. Kalau bukan karena Violet, pasti Nilla tidak akan terjebak di sini. Mata bulat yang mengerjap dari gadis kecil yang supel itu mampu membuat Nilla tak berkutik.

Sementara itu, melihat reaksi Nilla, Bieru hanya mendesah. Baru kali ini rayuannya tak ditanggapi. Bahkan dulu sewaktu dengan Ella, hanya dengan senyuman gadis itu luluh begitu saja. Ya, mungkin waktu itu mereka tak terpaut usia yang cukup jauh. Sama-sama mahasiswa pula. Sedang dengan Nilla selain rentang umur yang cukup jauh, tak dipungkiri posisi Bieru sebagai dosen membuat mereka sama-sama canggung.

Bieru bergegas keluar dari kamar, hendak mengantar Nilla pulang. Jangan sampai Nilla seperti jelangkung. Datang karena dijemput, pulang tak diantar.

"Nilla, tunggu dulu ya. Aku mau cuci muka sama sikat gigi. Ntar aku antar." Bieru buru-buru menyambar handuk di jemuran handuk depan kamar mandi dan langsung masuk tanpa sempat Nilla menjawab.

Nilla baru saja akan menolak, tapi seakan mengerti apa yang dipikirkan oleh gadis muda itu, Aruna langsung berkata, "Sarapan dulu, ya? Tante udah masak nih. Sup kamu kemarin Tante panasin, tinggal bikin lauk."

Awalnya Nilla enggan. Ia juga memperkirakan waktu, jangan sampai ia terlambat di kuliah pagi. Namun, melihat Aruna yang sudah mengambilkan piring dan menyendok nasi, mau tak mau Nilla langsung meletakkan tas dan map.

"Udah, Tante. Biar Nilla yang ambil sendiri aja." Nilla merasa tak enak hati.

"Nggak usah sungkan. Nasinya seberapa?"

Nilla hanya bisa mengembuskan napas kasar. "Dikit aja, Tante. Nilla nggak biasa sarapan. Lagian Nilla nggak sempet bongkar muatan pagi pastinya hari ini."

Aruna lantas memperlihatkan nasi yang ia ambil di depan Nilla.

"Sudah cukup, Tante." Nilla mengambil alih piring yang disodorkan Aruna lalu duduk di kursi yang mengelilingi meja makan.

"Pantas kamu kurus, Nill. Maem yang banyak. Kamu kan butuh gizi dan energi buat belajar," kata Aruna sambil menumpukan lengannya di permukaan meja. Wanita itu prihatin melihat tulang selangka Nilla yang menonjol.

Nilla hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Tangannya sibuk mengambil sop yang kemarin sore ia buat. Ya, maunya dia ingin banyak makan makanan yang bergizi. Tapi mau bagaimana lagi kalau uang sakunya pas-pasan. Padahal itu sudah disokong uang bulanan yang dikirim oleh omnya.

"Kamu kesukaannya apa?" tanya Aruna menatap Nilla yang lahap makannya.

"Ehm, Nilla suka daging merah sih. Seafood juga suka." Nilla mulai memasukkan makanan ke dalam mulut.

"Ya udah, daging empal yang Tante masak itu kamu bawa, ya? Kalau mau maem, kamu tinggal beli nasi sama sayur. Buat tambahan gizi." Aruna berbalik hendak memanggil asisten mereka, tapi Nilla buru-buru menolak.

"Nggak usah, Tante!"

Namun, sekali lagi, penolakan Nilla disambut geraman Aruna yang serupa herder.

***

Akhirnya, Nilla pulang diantar Bieru dengan membawa daging empal yang sudah dibumbui di dalam wadah plastik. Di dalam perjalanan, Nilla merasa tak nyaman terlebih karena Bieru tak bicara apa pun tentang lamarannya. Tapi untungnya, jalanan masih relatif sepi sehingga mobil yang ditumpangi Bieru bisa berhenti di depan gang lebih cepat.

"Makasih, ya, Dok," kata Nilla sambil hendak membuka sabuk pengaman. Tapi yang terjadi seolah sabuk pengaman pun enggan bersahabat dengannya karena macet saat hendak diurai.

Tangan Nilla berusaha menekan keras kunci sabuk pengaman, tapi tetap saja nihil. Sampai akhirnya Bieru yang sedari tadi melihat apa yang dilakukan mahasiswinya turun tangan.

"Kalau kesulitan sebaiknya kamu minta tolong. Aku kan udah bilang kemarin."

Nilla mendongak. Seketika mata almond yang dibingkai kacamata itu menangkap sangat jelas wajah berahang tegas Bieru yang sedang berusaha membuka kunci sabuk pengaman.

Nilla hanya bisa menahan napas. Matanya mengerjap berulang saat mereka bersirobok. Tetap saja wajah yang berjarak kurang dari sejengkal dari ujung hidung mancungnya itu selalu bisa memacu jantung Nilla berdetak kencang.

Bieru tersenyum memperlihatkan lesung pipi yang ingin Nilla colek. Ia lalu menegakkan tubuh.

"Te-te-terima kasih, Dok." Nilla menaikkan bingkai kacamata ke pangkal hidungnya.

"Sama-sama."

Saat Nilla mau menarik handel pintu, Bieru menahan lengannya. "Yang tadi, aku tunggu keputusannya. Kamu butuh waktu berapa lama?"

Alis Nilla mengerut, menyembunyikan kegugupan. "Saya belum bisa pastikan. Bagi saya pernikahan bukan hal yang main-main."

Sesudah berkata demikian, Nilla turun dari mobil meninggalkan Bieru yang termangu saat mendengar jawaban mahasiswinya.

***

Nilla berjalan menyusuri lorong gang menuju kosnya. Kebetulan saat itu, Bona yang biasa berangkat setengah jam sebelumnya keluar dari halaman kos. Ia terkesiap melihat Nilla yang tampak lelah masih manggunakan pakaian yang sama yang ia kenakan kemarin.

"Nill, kamu dari mana?"

Suara Bona menyentak kesadaran Nilla. Nilla gelagapan saat mencari jawaban. Roan di wajah datarnya seketika menguap.

"Kamu dari kemarin nggak pulang kos?"

Pandangan Nilla bergulir ke segala arah, seolah takut ketahuan melakukan hal yang tak benar. Baru sekali ini Nilla pulang pagi. Baru sekali ini pula, ia tidak tidur di kos bukan untuk urusan kuliah.

"Udah jam segini. Aku siap-siap dulu. Takut telat!" Nilla lantas berlari menuju kosnya untuk menghindari cecaran pertanyaan Bona.

Nyatanya Bona masih menunggu saat Nilla keluar tergopoh dari kos setelah mandi cepat-cepat. Bahkan ia hanya sempat mengulaskan bedak tipis karena takut terlambat.

"Ayo, Nill, berangkat samaan." Bona duduk di atas motor.

Nilla menengok jam yang melingkar di pergelangan tangan. Mengetahui waktu kurang sepuluh menit lagi, Nilla pun tak menolak ajakan Bona.

Saat memakai helm, dengan suara datarnya Nilla berkata, "Bon, please nggak usah nanya macem-macem ya?"

Bona pun mengangguk walau rasa penasaran mendesak ingin keluar dari mulut.

***

Siang ini, Nilla menghubungi Bieru untuk menanyakan kabar Violet. Pesannya hanya dibaca, tapi tidak ada tanggapan.

Bahkan sepulang kuliah pun, pesan Nilla tak ada tanggapan dari Bieru. Dalam hati Nilla merutuk karena sepertinya Bieru sengaja tidak membalas pesannya mengingat status aplikasi pesannya dalam keadaan online.

Setelah mengistirahatkan badan sejenak dan mandi sore menjelang malam, Nilla kembali dengan rutinitasnya belajar. Ia membuka laptop untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh salah satu dosen di mata kuliah bencana di blok kedua.

Namun, saat Nilla sedang menunggu program microsoft word terbuka, pikirannya tertuju pada lamaran Bieru tadi pagi. Gadis itu menggigit-gigit bibir bawah, sambil jemarinya menggeser kursor untuk membuka surat elektronik.

Entah kenapa di saat galau seperti ini, Nilla perlu konsultasi dengan Aga, yang sudah seperti ayahnya sendiri. Dengan cekatan ia membuka surat baru lalu mengetikkan sebuah pesan. Detik berikut, suara jari beradu dengan tuts keyboard yang menguasai ruangan kamar Nilla.

Dear, Om Aga,
Om, Nilla bingung banget nih. Akhir-akhir ini Nilla deket sama dosen yang pernah Nilla ceritain itu. Duda ... masih muda. Ya, Nilla akui dia keren banget. Bikin jantung Nilla copot kalau deketan sama Pak Dosen. Nah, Nilla juga deket sama anaknya. Dari awal lihat Violet yang ramah, Nilla jadi inget sama Leoni. Tapi, rasanya kami juga 'klik' gitu.

Masalahnya, dokter Bieru ngelamar trus bilang supaya Nilla jadi maminya Violet. Aneh banget kan ya? Masa iya, ngelamar gitu? Ya, kalau bilang "Nill, aku sayang kamu, bisa nggak kamu jadi istriku." Mungkin otak logis Nilla akan mati rasa.

Enaknya Nilla jawab apa ya, Om? Dokter Bieru juga bilang mau juga biayain adik-adik. Jujur, kalau mengandalkan Ibu yang nguliahin Nilla sama Deska, pasti Ibu sangat berat. Padahal, Jenar mau masuk kuliah, dan Wilis mau masuk SMA. Walau sudah banyak dibantuin sama Om, tetep aja kan Ibu berat.

Apa perlu Nilla nikah biar beban Ibu berkurang? Setidaknya kan Om nggak kerasa berat juga bantuin kami karena pasti Dokter Bieru bakal bantu Nilla.

Om, please, kasih tahu Nilla. Nilla harus gimana?

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top