⚘15. Sup Manten vs Sup Krim⚘
Siapa yang menanti Nilla Bieru? Hahaha, maafkan lama apdet. Kejar setoran nulis project yang satu. Makasih yang udah menanti. Peyuk onlen atu2 dulu. Kek biasa jangan lupa tinggalin jejak cinta kalian ya. Biar cemungud nih. Ok, ok? 😉👌
⚘⚘⚘
Nilla menatap sendu bocah yang akan melepas masa lima tahun pertamanya. Ketika melihat bibir Violet pecah-pecah karena panas, gadis itu teringat adik bungsunya di rumah yang berusia 7 tahun. Saat ayahnya meninggal, Leoni masih berumur 3 bulan. Sebelum ia kuliah, Nilla–lah yang membantu sang ibu merawat bayi Leoni.
"Violet, udah maem?" tanya Nilla sambil tersenyum sendu. Ia mengelus dahi Violet yang panas.
Violet menggeleng.
"Mau bubur? Biar Kakak yang masakin?" tanya Nilla dengan kedua alis terangkat hingga mata berbentuk almond itu melebar.
Violet mengangguk.
Nilla bangkit. "Dok, saya ke dapur dulu ya?"
Bieru hanya mengangguk berulang. Lidahnya kelu. Ia masih terperangah dengan transformasi Nilla. Gadis kaku itu tampak luwes bila berhadapan dengan Violet.
Aruna yang baru saja mandi, menyusul ke kamar Bieru. Melihat ada Nilla di situ matanya berbinar. Seolah ia melihat oase di tengah padang gurun yang bisa melegakan dahaganya.
"Tante." Nilla menyalami Aruna dengan mencium punggung tangannya.
"Syukurlah kamu datang, Nill. Violet pengin ketemu kamu." Aruna mengelus lengan Nilla dengan wajah semringah.
"Iya, Tante. Dokter Bieru sudah bilang tadi. Oh, ya, bisa saya pinjam dapur untuk memasakkan bubur buat Violet?"
"Bisa banget!" Aruna merangkul Nilla dengan senyuman yang tidak bisa lekang dari parasnya.
Aruna mengantar Violet ke bagian dapur rumah itu. Mulut Nilla menganga lebar saat melihat dapur bersih dan tertata apik dengan perabotan yang terlihat mahal. Dapur itu ada di sisi ruang makan berbatasan dengan dinding. Hanya saja, sewaktu datang pertama Nilla tak terlalu memperhatikan karena fokus melahap hidangan.
Ruangan untuk memasak itu tidak terlalu luas. Bentuknya memanjang dengan deretan kabinet di atas dan di bawah meja. Ada kompor tanam empat tungku di salah satu sisi dapur. Di atas kompor ada exhaust untuk menghisap asap agar tidak menyebar ke seluruh ruangan. Di sisi kiri terdapat sinc di sebelah meja racik, tanpa ada tumpukan piring kotor yang menggunung.
Benar-benar holang kaya.. Mewah, rapi, dan bersih. Pikir Nilla.
Rasa terpesona Nilla dibuyarkan oleh seruan Aruna. Wanita itu membuka kulkas dua pintu. Bukan dua pintu atas bawah melainkan dua pintu di kanan dan kiri. Semua bahan makanan tersimpan rapi mulai dari bahan mentah mulai dari sayur, bumbu, dan daging atau ikan.
"Kesukaan Violet apa, Tante?" tanya Nilla sambil memindai isi di dalam kulkas.
"Sup ayam. Tadi belum sempet Tante bikinkan karena ayamnya habis. Ini juga baru belanja."
Nilla memindai satu per satu bahan di dalam kulkas sebelum memutuskan untuk memasak salah satu menu. "Nilla coba masakin ya, Nte. Kali aja Vio mau maem."
Aruna mengangguk. "Tante tinggal ya? Biar nanti dibantuin Mbak Desti."
"Siap, Nte."
Begitu Aruna berlalu, Nilla mengambil beberapa bahan dari kulkas. Beberapa buah wortel ukuran besar, jamur keriting, kacang kapri, dan kentang. Dengan cekatan Nilla mencuci kemudian mengupas dengan pisau kupas. Kulit sayur ia kumpulkan di dalam sink agar tidak bececeran lalu diambil dan dimasukkan plastik sebelum dibuang. Ketrampilan ibunya yang bekerja di dapur hotel membuat Nilla tahu cara memasak dengan rapi dan bersih. Setidaknya dia tidak ingin membuat kerusuhan di dapur rumah orang tua Bieru.
Saat melihat Desti datang, Nilla meminta tolong untuk mengambil daging ayam untuk membuat kaldu dan memasak bubur. Sedangkan Nilla mengupas bawang putih dan bawang merah. Agar menarik Violet mau makan, Nilla sengaja membentuk wortel seperti bentukan bunga.
Setelah menumbuk bawang putih, bawang merah, sedikit pala dan lada, Nilla mulai menumis bumbu. Wangi tumisan menguar di seluruh ruangan, menggugah rasa lapar bagi siapa pun yang menciumnya. Nilla pun segera memasukkan dalam kuah kaldu dan mengoreksi rasa. Nilla mengatup-mengatupkan mulut saat merasakan kaldu. Merasa rasa sudah pas, ia mengangguk puas.
Irisan tipis kentang telah siap, Nilla lantas menggoreng di dalam minyak panas. Empat tungku menyala apinya. Satu untuk membuat bubur, satu untuk merebus kaldu, sisi depan kanan merebus sayuran dan sisi depan kiri menggoreng kentang.
Tanpa sadar, Bieru dan Violet sudah di belakangnya. Ayah dan anak itu memperhatikan gerak gerik Nilla yang cekatan meramu makanan.
Melihat Nilla yang sibuk di dapur, membuat batin Bieru menghangat. Ia teringat Ella yang memasakkan makanan saat ia pulang ke Indonesia atau ketika Ella ke Australia menjenguknya.
"Loh, Violet kok ke sini?" Saat berbalik, Nilla baru menyadari kedatangan mereka. Ia mengambil saringan untuk menyaring sayuran.
"Pengin lihat Kakak Nilla," kata Violet sambil merangkul leher sang papi.
"Desti!!" Teriakan Aruna menggema di seluruh ruangan.
"Mbak, saya dipanggil Ibu." Desti melepas mengaduk bubur. "Bisa saya tinggal?"
"Iya, Mbak. Dimatiin aja. Udah jadi juga buburnya."
Desti akhirnya buru-buru keluar dari dapur menyisakan Nilla, Bieru, dan Violet.
Ruangan dapur itu senyap. Bunyi desisan air mendidih dan minyak panas yang mengisi keheningan. Bieru memilih duduk di salah satu kursi kayu. Bingung mau bicara apa. Sedang Violet masih terpukau dengan Nilla yang sudah bisa menyatu dengan dapur itu.
Bieru berdeham, untuk mengatur suara. "Nill, kamu masak apa?"
"Bikin bubur sama sup manten. Kebetulan Tante tadi beli ayam." Perhatian Nilla masih tertuju pada gorengan kentangnya.
"Kamu bisa masak ya ternyata?" komentar Bieru basa basi.
"Iya. Kan saya anak sulung, Dok. Bapak dan ibu kerja, jadi saya yang masak buat adik-adik," kisah Nilla.
"Bapak kerja di mana?"
Pandangan Nilla menerawang. "Udah meninggal kira-kira 7 tahun lalu. Kalau ibu saya kerja di resto hotel."
Bieru mengangguk-angguk. "Berarti kamu mandiri sekali ya, Nill."
"Jelas, Dok. Kalau nggak, kasihan adik-adik saya. Selama saya kuliah, adik cowok saya yang gantiin tugas saya. Dia milih kuliah di Solo daripada di luar kota."
Mendengar cerita Nilla, entah kenapa hati Bieru terenyuh. Terlebih saat melihat Nilla rela memasak demi sang putri.
Saat Bieru baru akan membuka mulut untuk menanggapi cerita Nilla, suara Goreti menyeruak di dalam dapur.
"Selamat sore Violet Tante yang cantik." Seketika Bieru terlonjak. Ia kembali menutup mulut.
"Tante!" Violet terpekik.
Goreti mengambil alih Violet dari gendongan Bieru. "Violet katanya sakit ya? Tante bawa oleh-oleh loh. Mau?" Melihat anggukan semangat Violet, wanita itu terkekeh senang. Ia membawa keponakannya ke ruang tengah untuk menunjukkan oleh-oleh yang dia bawa.
Nilla menoleh sejenak. Ia mengernyitkan alis. "Itu Dokter Ore kan, Dok?" tanya Nilla mulai tak enak hati. Jangan-jangan benar rumor kedekatan Bieru dengan Ore. Selama ini Nilla tidak terlalu senang bergosip di kampus.
"Iya. Adik iparku." Bieru sengaja memperjelas.
Nila hanya menganggut. Ia kembali larut dengan gorengan kentangnya. Tangan yang menggenggam sutil itu mengerat.
“Aku bisa bantu apa, Nill?” Bieru berusaha memecah kecanggungan.
“Ehm, bisa angkat dan meniriskan jamur ini, Dok?”
Bieru bangkit untuk melakukan instruksi Nilla. Ia tidak mengindahkan statusnya sebagai seorang dosen. Toh, citranya sudah luluh lantak di depan Nilla. Dengan kikuk dia menyaring jamur keriting yang berwarna putih itu.
“Ini ditaruh di mana, Nill?”
"Dok, piring saji di mana ya?" Pandangan Nilla beredar ke seluruh dapur.
"Di atas sepertinya," jawab Bieru sambil meyakinkan jamur itu benar-benar kering.
Kepala Nilla melongok ke kabinet. Ia membuka salah satu pintu, lalu kakinya berjinjit untuk melihat lebih jelas isi di dalamnya. Setelah melihat piring saji ada di dalam situ, Nilla berusaha mengambilnya.
Walau tubuh Nilla terbilang tinggi tetap saja dia kesusahan. Namun, seketika ia terkejut saat mendapat lengan kekar terulur dari belakang. Tubuh langsingnya kini terkungkung oleh kedua lengan Bieru.
Nilla menoleh dan mendongak. Wajahnya kini langsung berhadapan dengan ujung hidung mancung Bieru dalam jarak hanya satu jengkal. Jantung Nilla tiba-tiba meronta di rongga dadanya. Embusan napas beraroma mint mampu dihidu oleh Nilla.
Tenggorokan Nilla terasa kering saat netranya memindai wajah Bieru dengan sangat jelas. Ia bahkan bisa melihat ada bulu halus yang mulai tumbuh di bawah hidungnya.
"Kalau kamu nggak sanggup atau kemampuanmu terbatas, ada baiknya kamu minta tolong. Bukan sebuah dosa, minta tolong ke orang lain."
Kuduk Nilla meremang, saat napas Bieru menyapa daun telinganya. Ia tak mampu menjawab karena lidahnya terasa kaku.
"Nilla?" Kedua alis Bieru terangkat menanti jawaban Nilla.
"I-iya, Dok." Suara serak terdengar dari bibir Nilla. Pipinya sontak merona dan terasa panas.
Bieru tersenyum sambil menurunkan piring saji. Sedangkan Nilla segera menundukkan wajah untuk menyembunyikan perasaan aneh yang menyusup di hati. Ia segera menyibukkan diri mengangkat kentang goreng untuk menghindari tatapan Bieri yang menusuk.
Ya, Bieru masih berdiri di sampingnya dan menatap tajam ke arah gadis berkucir ekor kuda itu. Ia melipat bibirnya ke dalam saat mendapati rona wajah Nilla seperti kepiting rebus. Semburat rona di pipi itu justru membuat jantung Bieru seolah ingin meloncat dari rongga dada. Dengan senyum simpul, Bieru segera menuju sink untuk mencuci piring saji sebelum digunakan.
Beberapa detik kemudian Goreti masuk ke dalam dapur hendak menaruh cangkir kotor. Melihat Bieru sibuk mencuci piring, alis Goreti mengernyit. "Tumben sibuk di dapur, Mas.”
Bieru tersenyum sambil mengeringkan piring dengan lap bersih yang ia ambil dari laci kabinet di bawah meja. “Sesekali boleh, kan?”
“Violet udah makan. Aku suapin barusan pakai zuppa soup buatanku. Aku juga bawa creme soup sama garlic bread buat semuanya." Goreti memberi laporan dengan masih menggendong Violet. Saat melihat Nilla yang memunggunginya, gadis itu bertanya, “Ada pembantu baru ta?"
💕Dee_ane💕
Udah tamat di KK dan KBM yak
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top