⚘14. Menjenguk Violet⚘
Nilla buru-buru menghabiskan makanannya. Bahkan ia tak sempat mengunyah hingga lembut. Gadis itu sangat menyesal karena tidak bisa menikmati rendang limpa kesukaannya.
"Kenapa lagi sama Dokter Duren, Nill? Perasaan hidup lu nggak tenang sejak jadi mahasiswa bimbingannya. Dokter Bieru neror kamu mulu?" tanya Dara sembari menggigit peyek udangnya.
Alis Bona terangkat satu, saat menyimak pembicaraan dua gadis di depannya. "Neror? Neror apaan?"
"Bukan neror. Tapi aku nggak nepatin janji karena seharusnya ngasih revisi setelah seminggu. Makanya dia nagih. Sama kemarin ternyata dia nanya pita buat Vio." Mulut Nilla masih penuh saat menerangkan apa yang terjadi pada Bona.
Tiba-tiba kunyahan Dara terhenti saat ide aneh menyusup di kepala. Gadis itu tersenyum lebar membuat pipi chubbynya menggelembung. "Jangan-jangan, Dokter Bieru suka lu!"
"Gendheng! Nggak lah, Ra. Aku nggak bakal sebaper itu!"
Bona menjitak dahi Dara dengan jari tengah yang tertekuk. "Dara itu diembekin kambing udah baper ngira kambingnya suka dia!"
Dara meringis sambil melirik Bona tajam. "Nggak segitunya juga kali, Bon! Lu belum tahu aja pesona gue."
"Emang apa pesona kamu?" Dagu Bona bergerak ke atas.
Bibir Dara mengerucut. Kepalanya meneleng seraya bola matanya bergerak ke atas. "Ehm, badanku sintal, empuk kalau dipeluk." Dara terkikik.
Sontak Bona tergelak mendengar jawaban Dara. Namun, keriuhan dua orang itu tak bisa menyurutkan rasa penasarannya.
Tak sampai sepuluh menit, seorang laki-laki bertubuh tinggi memasuki warung tenda beratap rendah. Wajahnya langsung semringah ketika melihat Nilla yang masih duduk sambil menyedot cairan di dalam gelas berembun.
"Dokter Bieru." Seketika Dara bangkit dan menyapa sang dosen.
Nilla mendongak. Ia bangkit, lalu mencangklong tasnya. "Ra, kamu yang traktir kan?"
"Iya. Beres." Dara mengacungkan jempolnya.
"Aku duluan ya!'
"Tiati." Yang menjawab hanya Dara. Sedang Bona masih sibuk memindai dosen yang rela datang menjemput mahasiswanya.
Bieru tersenyum simpul saat Nilla menghampirinya. Mereka pun keluar dari warung tenda dengan segudang rasa penasaran yang bercokol di batin Nilla.
"Ayo," kata Bieru yang berbelok ke kanan ke bahu jalan raya.
Nilla menghentikan langkah. Gadis itu berpikir mereka akan memperbincangkan sesuatu di kos.
Melihat Nilla yang hanya berdiri mematung di tepi jalan, Bieru pun terpaksa menjeda jalannya.
"Mau ke mana, Dok?"
"Ke rumah ... ku." Ia berbalik lalu meraih tangan gadis itu.
"Kita mau ngapain?" Nilla semakin kebingungan, tapi ia hanya pasrah ditarik sang dosen. Mata di balik kacamata itu menatap tangan berjari besar itu.
"Violet sakit," jawab Bieru masih menarik Nilla. Posisi Bieru lebih di depan.
Nilla mempercepat langkah, menyandingi Bieru berjalan. Mata gadis itu memicing ingin menyelisik ekspresi Bieru. Jantung Nilla berdetak kencang saat mengamati wajah berahang tegas itu pipinya memerah.
Begitu sampai di depan mobil SUV, Bieru melepas gandengannya dan mengambil sapu tangan dari saku celananya untuk mengelap telapak yang basah. Lelaki itu layaknya seorang remaja laki-laki yang grogi bila berhadapan dengan gadis cantik.
"Jadi, kita nggak ngobrolin proposal?" tanya Nilla membuat Bieru mendesah panjang.
"Masih kurang jelas omonganku?"
Nilla menggeleng. Ia merasa aneh saja Bieru menghubunginya. "Kalau Violet sakit, kenapa hubungin saya, Dok?"
Keduanya masih berdiri di samping mobil. Bieru tampak kebingungan menjawab pertanyaan Nilla. Ia hanya mengusap tengkuknya.
"Ehm, Vio ... Violet." Bieru menggigit sudut kiri bibir bawahnya. Ia merutuk dalam hati. Di depan Nilla citranya sebagai dosen killer kini telah runtuh. Setelah mengembuskan napas panjang, akhirnya ia melanjutkan bicaranya. "Violet kangen Kakak Nilla."
Nilla mengernyit. Kepalanya meneleng seraya menaikkan bingkai kacamatanya hingga bertengger manis di pangkal hidung mancungnya. "Kangen?"
Bieru menarik bibir. Ia lupa Nilla ini 'spesial'. Mungkin bila gadis lain, Bieru tidak akan bersusah payah menjelaskan. Namun, Nilla dengan kekakuan, kenarsisan, dan otak logisnya, membuat gadis itu tidak mudah terbawa perasaan.
"I-iya. Ayo, Nill." Bieru hendak membukakan pintu bagi Nilla, tapi Nilla menolak.
"Saya aja, Dok. Dokter kan bukan sopir saya."
Bieru hanya mengerjap, lalu mengangkat bahu. Ia tidak ingin berlama-lama karena Dara dan Bona kini sudah keluar dari warung tenda dan menatap ke arah mereka. Lelaki itu pun akhirnya berlari kecil, memutari moncong mobil bagian depan, untuk menempatkan diri duduk di belakang kemudi.
Setelah Nilla duduk dengan manis di sebelahnya, Bieru akhirnya melajukan mobil bersatu dengan jalanan yang padat sore itu. Suasana ramai jalan raya berbanding terbalik dengan keheningan di dalam kabin mobil. Keduanya sama-sama membisu. Bieru canggung karena merasa melibatkan Nilla terlalu jauh dalam urusan rumah tangganya. Sementara Nilla masih kebingungan kenapa Violet justru mencarinya.
Dehaman Bieru memecah kesunyian di antara mereka. Lelaki itu membasahi bibirnya untuk melancarkan kata yang akan lolos dari bibirnya. "Nill, sorry ya. Sebenarnya saya nggak enak ngajakin kamu ke rumah. Tapi Violet merengek terus."
"Iya, Dok. Nggak pa-pa. Saya pikir sih urusan proposal," ujar Nilla.
Mereka terdiam lagi. Bieru melirik Nilla yang kini sedang menikmati pemandangan di balik jendela mobil.
"Dok, proposal saya gimana kabarnya?" tanya Nilla.
"Itu ... saya belum sempet koreksi." Bieru merasa tak enak sambil mengusap kepalanya yang berpomade.
Nilla diam. Pandangannya tertuju pada profil Bieru yang ternyata mampu membuat jantungnya berdetak kencang. Tangan kiri Nilla yang mencengkeram ujung tas, untuk menahan gejolak di dalam dadanya. Gadis itu segera memalingkan wajah yang memanas. Berdekatan dengan sosok Bieru sekarang, membuat kinerja jantungnya bekerja terlalu keras.
Sepanjang sisa perjalanan, tak ada percakapan antara Bieru dan Nilla. Mereka sama-sama memilih mengunci bibir dalam kecanggungan. Nilla lebih memilih menatap ke luar, sementara Bieru fokus melajukan mobil dan mencari celah di antara kepadatan kendaraan.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di rumah orang tua Bieru. Untuk kedua kalinya, Nilla menginjakkan kaki di rumah itu. Begitu mobil terparkir di halaman depan, Nilla turun dengan ragu. Langkahnya terhenti saat melihat sosok yang ia kenal di kampus. Prof. Aditya
Nilla masih berdiri di sisi mobil setelah menutup pintu. Ia bingung bersikap. Sungguh, sikap kakunya kadang menyulitkan ia berinteraksi dengan lingkungan baru.
Bieru yang sudah turun dari mobil akhirnya menghampiri Nilla. Ia refleks menggandeng tangan mahasiswinya. Gadis itu hanya terbengong dan sekali lagi menatap kosong tangan Bieru yang melingkar di pergelangannya. Jantungnya yang belum stabil itu menggila kembali hanya karena sentuhan tangan Bieru.
Nilla belum bisa mencerna situasi. Ia masih diam dan memperhatikan, sampai akhirnya mereka tiba di depan sosok lelaki tua yang wajahnya terlihat bijak.
"Pi, ini Nilla."
Pi? Berarti Prof. Adit ini bapaknya Dokter Bieru? Nilla hanya mengerjap saja, mengatasi keterkejutannya.
"O alah, ini to mahasiswi yang dicariin sama Violet. Ayo, masuk, Nill. Maaf ya ngerepotin."
Aditya merangkul Nilla, dan membimbingnya masuk seperti seorang bapak yang menyongsong anaknya pulang. Nilla semakin tidak enak hati. Keluarga Bieru ternyata adalah keluarga akademisi yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Nilla melangkah masuk. Matanya kini beredar kembali ke arah dinding-dinding yang digantungi foto. Ternyata memang dekannya adalah kepala keluarga itu. Memang benar yang ia sebut Prof. Aditya itu adalah papa sang "Dosen Killer". Sewaktu datang pertama kali, Nilla tidak terlalu memperhatikan karena sudah ditarik Violet menuju meja makan dan selanjutnya fokus bimbingan di ruang kerja Bieru.
Mereka pun memasuki ruang tengah. Saat hendak diajak masuk ke ruang tidur, langkah Nilla terhenti. Dia bukan siapa-siapa bagi Bieru. Dia orang luar yang tak tahu apa-apa. Ruang tidur adalah bagian rumah yang sangat pribadi bagi Nilla. Tidak semua orang bisa masuk di kamar peristirahatan.
Kaki Nilla terpaku di lantai saat berada di ambang pintu. Ia enggan melangkah masuk, walau tahu ada Violet dengan wajah yang pucat terbaring di sana.
"Dok, maaf. Tapi saya nggak enak masuk ...."
"Nill, Violet butuh kamu. Dia nyariin kamu terus. Kalau dia nggak rewel, nggak bakal aku bela-belain ngejar kamu."
Nilla tersenyum simpul dengan hati yang miris. Untung saja dia tidak baper. Bieru mencari dirinya demi Violet. Tidak lebih.
Nilla mengembuskan napas halus. Kedua lelaki di depannya itu memandang penuh harap seolah ia adalah sang penyelamat yang diharapkan. Akhirnya, Nilla pun melangkahkan kaki masuk ke ruang tidur tempat Violet beristirahat.
Bieru masuk lebih dahulu. Ia duduk di tepi ranjang sambil menyeka anak rambut di dahi Violet. Kepalanya menggeleng saat mendapati suhu tubuh Violet yang masih memijar.
"Vi, Kakak Nilla datang tuh."
Violet menggeliat. Ia membuka mata perlahan dan saat melihat bayangan seorang perempuan ada di depannya, ia merengek dengan mata berkaca-kaca. "Mami."
Nilla menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada perempuan lain selain dirinya di kamar itu.
"Itu bukan Mami. Itu Kakak Nilla sayang."
Violet mengusap matanya kasar, hingga bayangan Nilla kini jelas terbentuk di penglihatannya. "Kakak Nilla."
Nilla mendekat, dan berlutut di sisi tempat tidur. Ia menyibak anak rambut Violet di dahinya. "Kamu panas, Vi."
Violet mengangguk. "Kakak Nilla temani Vio ya? Vio kesepian."
Nilla mengangguk. "Iya. Kakak Nilla di sini buat nemenin Violet."
Violet mengangkat tangan kanan yang menggenggam pita stroberi yang masih terbungkus plastik. "Makasih pitanya, Kak. Vio bakal simpan."
Hati Nilla mencelos. Nilla tersenyum, dan mendekatkan badannya untuk memeluk Violet.
Sementara itu Bieru terkesiap. Senyuman Nilla itu menggetarkan batinnya. Membuat detak jantungnya berirama cepat. Mungkin benar nasihat papinya. Sudah saatnya bagi Violet untuk mempunyai Mami. Tapi, apakah Nilla akan menerimanya bila sebuah rahasia besar di masa lalu terbuka?
Mungkin demi Violet, lebih baik Bieru mengunci rapat rahasia itu.
💕Dee_ane💕
Sudah ada di KK dan KBM ya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top