⚘13. Nasihat Sang Papi⚘
Hayoo, siapa yang rindu cerita warna warni?
Jangan lupa taburan bintang dan komennya ya.
Happy reading
Pssst ... di KK dan KBM udah tamat yak
⚘⚘⚘
Semalaman Violet tidur dengan gelisah. Semua orang dewasa yang ada di rumah bergiliran berjaga untuk menemani Violet. Namun, Bieru memilih bangun semalaman karena tidak ingin kecolongan lagi.
Aditya, Cyan yang pulang tengah malam, dan Bieru bergantian menggendong balita yang tubuhnya panas, sementara Aruna ikut begadang karena memilih menemani putranya. Ia tetaplah seorang ibu. Melihat putranya gelisahnya memikirkan sang buah hati, tentu saja wanita itu tidak bisa tidur nyenyak.
Sekarang jarum pendek jam dinding sudah menunjuk ke angka 4. Suara azan subuh sudah berkumandang mengikis kesunyian.
"Mi, Mami tidur gih. Kasihan Mami belum tidur." Bieru menggendong Violet yang merintih pelan. Ditepuknya pantat sang putri seolah ingin mengusir rasa nyeri. Parasetamol baru saja masuk lagi karena suhu tubuh Violet kembali merangkak naik mencapai 39,5 derajat celcius.
"Mana bisa Mami tidur, sementara kamu sendirian gendong Violet." Aruna menjeda aktivitas mengisi buku TTS untuk mengusir kantuk.
"Udah aman terkendali kok, Mi."
"Mas, Mami nggak bisa bantu gendong. Biasanya ya nemenin. Lagian udah mau jam empat. Habis ini mau masak. Tuh, Desti udah bangun mau salat subuh."
Bieru mengangguk saja.
"Hari ini kamu izin dulu aja kalau nggak ada jadwal. Seharian kamu belum istirahat loh." Raut prihatin tak bisa ditutupi oleh Aruna. Selain cemas dengan kondisi putrinya, Aruna juga khawatir terhadap kesehatan sang putra. Masih mending bila ada istri, kalau sakit ada yang memperhatikan, sementara Bieru cenderung menahan sendiri karena merasa tidak ingin merepotkan orang tuanya.
"Iya, Mi. Mami santai aja."
Aruna mendengkus. "Gimana Mami bisa santai, Mas. Lihat wajahmu sekarang! Macam zombie saja. Sama pucatnya dengan anakmu. Ya Tuhan, kirimkan rusuk anak sulungku yang hilang, setelah itu hamba bisa tenang."
"Mami, semua indah pada waktunya. Tenang aja." Bieru memberikan cengiran pada sang Mami. Namun, tetap saja tak semudah itu menenangkan Aruna. Selama Bieru belum menggandeng perempuan yang dikenalkan menjadi kekasihnya dan kemudian melamar gadis itu, sepertinya hidup Aruna tak akan tenang.
***
Pagi ini, Bieru tetap berangkat ke kampus karena ia ada tugas menjadi pembimbing praktikum. Tak hanya itu, menjelang siang, akan ada rapat antar bagian bersama dekan sehingga ia tidak bisa izin hari ini. Padahal, Violet sudah memohon-mohon papinya untuk menemaninya.
Walau Aditya adalah seorang profesor yang sekarang menjabat sebagai dekan, tetap saja Bieru tidak mau mengenyampingkan tugasnya. Jangan sampai orang mengatakan mentang-mentang anak dekan jadi semaunya sendiri. Sejak kuliah S1 dan profesi dulu, Bieru benar-benar berusaha menyembunyikan hubungannya dengan sang ayah supaya pencapaiannya tidak dianggap karena numpang nama besar papinya. Ia mendapat beasiswa pun atas kerja kerasnya sendiri dan selanjutnya diterima menjadi di bagian yang sama dengan papinya pun tanpa ada rekomendasi sang guru besar.
Melihat anaknya yang tidak ingin "aji mumpung" itu, kadang Aditya merasa kasihan. Beban anak seorang profesor cukup berat ia tanggung. Bila berhasil, orang akan menganggap biasa tanpa menghargai usahanya. "Oh, pantas! Anaknya Profesor Adit gitu loh!" Kalimat itu sering terdengar bila Bieru mendapat pencapaian gemilang.
Namun, kalimat sebaliknya bisa juga diucapkan oleh orang lain bila Bieru gagal atau berbuat salah. Seperti peristiwa enam tahun lalu, yang membuat Aditya terpukul. "Anaknya Profesor kok menghamili anak gadis orang? Pinter tapi nggak berakhlak sama aja boong."
"Mas, kamu izin aja dulu. Minta tolong Ezra buat gantiin. Untuk rapat nanti biar yang lain yang datang. Urus anakmu dulu." Aditya memberi solusi. Melihat rengekan Violet, lelaki tua itu tidak tega.
"Pi, nggak bisa gitu kali. Ezra hari ini ngajar. Trus Dokter Noel minta aku ikut rapat karena beliau ada undangan di UnHas. Dosen yang lain ... Papi tahu sendiri 'kan? Aku sungkan minta tolong senior." Bieru meringis.
Aditya menggelengkan kepala. "Yang ada kamu disuruh ini itu sama seniormu. Lagake kereng ndek ngarep mahasiswa, jebul ndek ngarep senior meneng (Lagaknya aja garang di depan mahasiswa, ternyata di depan senior diam)."
Lelaki tua itu mengulurkan tangannya untuk mengambil udang asam manis yang ada di tengah meja. Setelah mengambil satu sendok untuk menghabiskan sisa nasi, ia berkata lagi pada putranya. "Kamu itu terlalu diandalkan seniormu karena pekerjaanmu selalu beres dan rapi. Tapi sekarang kamu itu jadi single parent, Mas. Nggak gampang mengurus anak sambil bekerja dari pagi sampai malam tanpa pendamping. Lihat saja, walau mamimu bekerja sewaktu pagi, sorenya dia mengurus kalian, jadi Papi bisa nyaman saat cari tambahan rejeki."
Bieru hanya membisu sambil mulutnya mencerna makanan seiring otak yang mencerna nasihat sang papi. Mempunyai Violet memang tidak disengaja, karena sedianya Bieru akan melamar Ella setelah ia selesai menjalani pendidikan S2 dengan beasiswa di Australia. Hanya saja, begitu Ella hamil, mereka akhirnya menikah di usia Bieru yang terbilang muda. 25 tahun.
Setelah menikah, mereka terpaksa LDR. Bieru tidak bisa menemani selama Ella hamil sehingga tidak tahu perkembangan kesehatannya secara langsung. Yang ia tahu, pada bulan kelima, tensi Ella tiba-tiba naik drastis. Bahkan, belum sempat Bieru pulang untuk menemani persalinan Ella, Tuhan berencana lain. Semua rencana yang sudah disusun Bieru sirna. Violet terlahir prematur pada usia kehamilan 34 minggu dengan berat 2 kilogram, sementara Ella mengalami kejang dan tidak bisa tertolong.
Sesudah menandaskan isi piring, Aditya mendorong piring kosong itu ke depan, lalu mengelap bibir dengan tisu yang tersedia di atas meja. Ia menatap sendu putranya. "Kamu tahu yang terbaik untuk hidupmu dan Violet, Bie. Papi sih setuju usul Mami, Ore menjadi istrimu karena dia sayang sama Violet dan kamu, tapi Vio sepertinya menyukai mahasiswimu itu. Siapa namanya, Mi?"
"Nilla, Pi."
Bieru tersenyum miring. Rupanya orangtuanya sudah saling bercakap sebelumnya.
"Papi kok penasaran dengan gadis itu, ya? Menurutmu gimana?" tanya Aditya.
Bieru menyudahi makannya. Nafsu makannya entah kenapa menguap. Ia mengembuskan napas, sembari mengingat sosok Nilla di kepalanya. "Entahlah, Pi. Aku sendiri nggak tahu apa yang aku rasakan. Hanya Violet yang menjadi perhatianku. Tapi, jujur, gadis itu menarik bagi kami, karena memang ada sejarah masa lalu yang bahkan Nilla pun tak tahu."
***
Selesai skill lab hari itu, Nilla ingin segera makan karena tadi siang tidak ada waktu luang. Jadwal yang padat hari itu membuatnya bergegas ke ruang ketrampilan klinik dengan tak mengindahkan perutnya yang keroncongan.
Untuk urusan makan, jelas Dara selalu mudah untuk diajak. Sedang Bona ikut bergabung karena lelaki itu juga kelaparan. Ketiganya akhirnya memutuskan untuk makan di sebuah warung tenda Padang yang sudah buka menjelang sore itu.
Mata Nilla membulat saat melihat gunungan nasi di piring datarnya diberi daun singkong, gulai nangka, limpa yang disiram dengan aneka kuah. Setelah mencuci tangannya, Nilla berdoa, dan segera melahap makanan. Bagi Nilla, makanan yang disantap saat lapar sungguh terasa nikmat. Apalagi traktiran sahabat.
"Pelan-pelan, Nill. Kamu ini kalau makan lahap banget," ujar Bona sambil mengambil kerupuk dari toples kaleng yang ada di ujung meja.
"Lapar banget, Bon."
Namun, saat Nilla membuka mulut lebar, hendak memasukkan makanan ke dalam mulut dengan tangan, gawainya berdering dengan nyaring. Alis Nilla mengerut. Ia urung memasukkan nasi yang sudah di-puluk dengan jari tangannya. Gadis itu sangat hafal dengan nada dering khusus yang sedang didengar.
"Bon, ambilin hpku, gih. Kamu kan tangannya bersih sendiri."
Bona mengambil tisu toilet yang salah alamat nangkring di meja makan, untuk membersihkan tangannya. Ia merogoh saku tas Nilla, dan alisnya ikut mengernyit karena membaca nama yang tertera di atas layar.
"Ehm, dari Dokter Bieru. Gimana? Diangkat?" tanya Bona balik dengan kedua alis terangkat.
"Iya. Udah tahu. Tolong angkat, Bon, tempelin ke telingaku gih," pinta Nilla yang tidak ingin membuat masalah dengan dosennya.
Sambil mencuci tangannya di dalam kobokan, Nilla menyapa Bieru yang meneleponnya. "Hallo."
"Nill, kamu di mana? Masih di kampus?" tanya Bieru dengan nada tergesa.
Setelah mengeringkan tangannya, ia mengambil alih gawainya agar Bona bisa melanjutkan makan. "Saya sudah pulang, Dok. Gimana?"
"Saya bisa minta tolong?"
Nilla meraih gagang gelas dan menyedot cairannya sebelum menjawab. Minta tolong yang dimaksud Bieru dikhawatirkan bahwa lelaki itu telah memberikan banyak koreksi di proposal terakhir yang ia kumpulkan.
"Ehm, i-iya, Dok. Gimana? Apa proposal saya masih ada yang salah?"
"Kamu di mana? Saya ke tempatmu!"
Alis Nilla semakin mengerut karena pertanyaannya tak dijawab. "Dok, saya masih di luar kok. Masih makan."
"Ya udah. Kamu makan di mana? Saya susul!"
Wajah Nilla memucat. Dia menatap Dara yang sedari tadi menyimak pembicaraan teleponnya dengan penasaran.
"Ehm, saya di warung Padang depan kos."
"Ok, tunggu saya ya?"
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top