⚘11. Permintaan Violet⚘
Auuu, sepi sekali ya komennya. Tak menarikkah? Atau kalian larut dengan ceritanya. Boleh minta komen dan votenya?
Happy reading ya, Deers. Mari semangatin para othor dengan taburan bintang dan komennya.
💗💗💗
Nilla tak menerima panggilan dari Bieru. Ia sangat kesal karena sang mahasiswa seolah mengabaikan panggilannya. Bagaimana bisa mahasiswinya tidak menjawab panggilannya? Bahkan Sang Dosen Killer itu berusaha menghubungi sampai sepuluh kali lebih. Mau ditaruh mana mukanya! Namun, demi Violet, balita yang selalu ada di hatinya itu, Bieru rela mengenyampingkan citranya sebagai dosen yang disegani.
Bieru mengembuskan napas lega, bertepatan dengan rengekan Violet yang telah reda. Suara Violet yang melengking itu seperti ranjau yang mampu membuat geger seluruh isi rumah.
Tak ingin berlama-lama, akhirnya Bieru bangkit dan bersiap. Sebuah kemeja kotak-kotak biru yang sudah berusia hampir lima tahun ia kenakan. Saat mengancingkan baju, Bieru teringat bahwa baju itu kenang-kenangan terakhir dari mendiang sang istri. Semua barang-barang dari Ella masih bagus tersimpan di lemari.
Setelah memakai pelembab wajah dan menata rambut dengan pomade akhirnya lelaki itu keluar dari kamar untuk sarapan.
Violet sudah bisa tenang dan mau sarapan walau sedikit berkat bujukan semua orang dewasa di rumah itu. Namun, gadis kecil itu tetap kukuh berangkat dengan rambut tanpa dikucir. Setidaknya Bieru bisa lega karena tak ada drama sewaktu perjalanan menuju ke sekolah yang letaknya di daerah Ngagel itu.
Akhirnya, mobil yang mereka tumpangi, tiba di depan halaman sekolah yang merupakan kompleks dari Play Group sampai SMA. Bieru menepikan mobil di bahu jalan tepat di depan gerbang sekolah.
"Pi, janji ya cariin pita stroberi." Suara Violet terdengar sengau. Matanya masih sembab karena menangis pagi tadi. Gadis kecil itu membuka sabuk pengaman sebelum membuka pintu.
"Iya. Pasti Papi cariin," kata Bieru mantap, walau di otaknya dia tak ada ide di mana akan membeli pita yang sama persis dengan pita lama. "Kiss Papi."
Bieru mengetuk pipinya seraya membungkuk dan menunggu sang anak mencium pipi kiri dan kanan Bieru. Lelaki itu tersenyum lebar sambil menangkup wajah anaknya setelah mendapat ciuman. Ia menggesek ujung hidung Violet dengan ujung hidung mancungnya.
"Belajar yang rajin ya, Anak Sayangnya Papi."
Violet tak menjawab. Dia hanya memberengut lalu turun begitu saja dari mobil.
Pandangan Bieru masih tertuju pada punggung balitanya yang menarik tas troli bergambar My Little Pony warna pastel yang dihadiahkan Cyan, dengan lesu, untuk masuk ke halaman sekolah. Lelaki itu mendesah. Melihat Violet bersedih, hatinya itu perih. Baginya, kebahagiaan Violet segalanya.
Melirik angka yang ada di layar media player, Bieru akhirnya melajukan mobilnya memecah kepadatan jalanan kota Surabaya menuju kampus FK Dharmawangsa.
***
Suasana di ruang diskusi sudah ramai. Pagi ini mahasiswa semester tujuh yang sudah terbagi menjadi kelompok kecil akan mengikuti tutorial pada blok Kedokteran Komunitas di minggu kedua. Topik bencana akan dipelajari pada jam pertama diskusi mereka. Para mahasiswa akan mendapat skenario yang akan dibimbing oleh seorang tutor.
"Nilla, lu ke mana aja sih? Gue telepon dari tadi nggak diangkat!" Suara melengking Dara memenuhi ruang diskusi yang tidak terlalu lebar.
Nilla yang sedang tekun membaca sebuah buku yang berkaitan dengan topik hari ini pun mendongak. Ia menaikkan kaca matanya yang melorot agar bisa melihat dengan jelas penampakan Dara.
"Oh, ya, kapan?" Alis Nilla mengernyit, lantas merogoh saku depan tas, tempat ia menyimpan ponsel.
"Tadi pagi! Gue belum belajar buat SGD (Small Group Discussion) pagi ini. Ketiduran semalam."
Dara nyengir, tapi Nilla terlihat tak mengindahkannya. Ia masih sibuk merogoh gawainya di setiap kantung tas.
"Nill, denger nggak gue ngomong?" Dara kesal merasa dicueki.
"Denger! Aku punya telinga. Emang yang ndengerin mata?"
Dara kembali meringis. Sahabat Dara satu ini memang spesial pakai sambal. Kalau tidak narsis, ya nylekit. Tapi tetep saja Dara yang otaknya tak banyak kerutan dibanding Nilla itu tak bisa menyanggah. "Aku padamu, Nilla Sayang."
"Bilang sama Bona. Kamu kan suka Bona!"
"Ish, apaan sih! Gue mau bilang, kalau ntar bantuin gue kalau beloon gue kumat. Tutor pagi ini kan dokter Bima. Sebelas dua belas sama Bieru Laut."
Nilla mengembuskan napas kasar. "Dara, kamu ini nggak sadar-sadar sih! Belajar dong. Mau jadi apa kualitas dokter Indonesia kalau mahasiswa kedokterannya beloon."
Bibir Dara sudah manyun. Mencap-mencep ke kanan ke kiri. "Lu tahu kan, Nill. Gue ke sini tuh dipaksa sama Bokap. Ibarat kata gue dijodohin paksa kek zaman Siti Nurbaya supaya jadi dokter. Gue kan pengin sekolah di Akuntansi, trus punya bisnis e-commerce. Ah, nasib ... nasib." Dara mengelus dadanya sendiri.
"Napa kamu, Ra? Pagi-pagi udah merutuki nasib." Bona yang baru saja datang, langsung bergabung dan duduk di sebelah Dara.
"Tuh, kasih tahu idaman lu biar bagi-bagi ilmu dikit. Gue belum belajar nih buat SGD ntar." Dara pun mengadu dengan gaya manja.
"Tenang aku bantu." Bona menepuk dada bangga karena semalam ia sempat belajar.
"Ogah! Apaan, kemarin nyontek lu, ujian akhir blok gue dapat jelek. Bayangin, Bon! Dapat nilai lima! Mana jawaban gue yang gue hapus itu yang bener pulak! Ck, ck, ck, gimana nasib dokter Indonesia kalau mahasiswa kedokteran yang ngakunya belajar aja jawab ujian blok salah."
Nilla terkikik. Interaksi Dara dan Bona selalu bisa mengurai ekspresi dinginnya.
"Ada yang ketawa nggak sih?" tanya Bona sengaja mengedarkan pandang.
Dara langsung ngeh. Ia menoleh. "Patung lilin doang. Kok ada kikikan ya?"
"Udah, ah! Daripada ngobrol, mending belajar napa, Ra?" Nilla mengulum senyum. Ia senang sekali mempunyai sahabat seperti mereka yang selalu bisa menghiburnya secara tak langsung lewat interaksi keduanya.
Namun, tawa Nilla terhenti saat seorang gadis, teman seangkatannya menghampirinya memberikan kabar.
"Nill, dicari dokter Bieru. Katanya jam 12 ntar suruh ngadep."
Mata Nilla mengerjap. Ia memandang dua sahabatnya.
"Ada apa?" tanya Nilla.
"Koen takon ae langsung karo dokter Bieru. Lha mosok aku ngerti (Kamu tanya aja langsung sama dokter Bieru. Lha masa aku tahu)?"
Nilla menggosok telinganya. Tiga tahun lebih tinggal di Surabaya, tetap saja Nilla belum terbiasa bahasa Suroboyoan.
"Lu salah apa sama dosen pembimbing lu? Baru kali ini gue denger mahasiswa diteror dosen trus lu malah menghindar gitu."
Nilla menatap lurus jauh ke arah jendela ruang sidang yang terbuka. Dia justru berpikir Bieru mencarinya karena tidak puas dengan revisi proposalnya? Seingat Nilla, gadis itu sudah memperbaiki proposal sesuai arahan sang dosen.
Nilla akhirnya tidak bisa berkonsentrasi mengikuti diskusi pagi itu. Saat minikuis di akhir tutorial pun dia kerjakan dengan cepat sehingga ia keluar pertama kali dari ruang diskusi. Walau waktu belum menunjukkan pukul dua belas, tapi gadis itu sudah bergegas ke ruang dosen Anatomi.
Nilla berlari di lorong yang sepi karena kebanyakan mahasiswa masih ada kelas kuliah ataupun praktikum. Rambut yang dikucir kuda itu bergerak ke kanan kiri seiring derap kaki melangkah. Tak lama kemudian Nilla sampai di depan ruang dosen. Napasnya tersengal dengan peluh tipis membasahi dahi. Dia menyeka keringatnya dengan punggung tangan kanannya, lalu merapikan poni samping agar tidak terlihat berantakan.
Setelah menghela napas panjang, Nilla mengetuk sambil mendorong daun pintu. Tak tampak Rina di situ. Gadis itu menoleh ke kiri dan tampaklah Bieru dengan kaca mata yang melorot di ujung hidung. Tatapan Nilla dibalas dengan sorot mata Bieru yang tajam, membuat dada sang gadis bergemuruh karena segan. Sambil melangkah dengan salah tingkah, Nilla menaikkan gagang kaca mata untuk menutupi rasa cemas.
Sungguh, pandangan Bieru saat itu sangat mengintimidasi Nilla, sehingga gadis itu memilih melipat bibir dengan erat agar lidahnya tidak terpeleset lagi.
Sementara itu, pandangan Bieru tak beralih dari gadis berambut ekor kuda. Ia menunggu sang gadis tiba di depannya.
"Duduk dulu." Bieru mempersilakan sambil melepas kaca matanya.
Nilla pun duduk di depan sang dosen. Sesaat tak ada percakapan karena Bieru sibuk menyingkirkan kertas-kertasnya. Jantung Nilla sudah berdetak kencang layaknya genderang perang, saat menunggu kata dari bibir Bieru.
"Ehm, Nill. Kamu kok nggak angkat telepon saya?" tanya Bieru memulai percakapan.
"Hp saya ketinggalan, Dok." Nilla mulai cemas. Ia memelintir ujung kemejanya, namun rautnya masih tetap datar. "Ada apa ya, Dok?"
Bieru tak lantas menjawab. Nilla sudah mulai khawatir Bieru akan memberi kuliah panjang lebar lagi padahal siang ini dia akan mengikuti skill lab.
Bieru berdeham, kemudian membuka suara. "Ehm, pita stroberi kemarin belinya di mana ya?"
"Heh?" Alis Nilla mengerut merasa salah dengar.
"Pita yang kamu kasih ke Vio kemarin belinya di mana ya?" Bieru canggung saat melihat reaksi Nilla.
"Di Pasar Karang Menjangan deket kos, Dok? Ada apa emang?" Dada Nilla masih bergemuruh tapi otaknya masih kebingungan karena dosennya menanyakan hal aneh.
Bieru mengangguk-angguk. "Toko apa?"
"Bukan di toko, Dok. Orangnya jual pas pasar buka aja."
Bieru mengembuskan napas panjang. Raut kecewa tak bisa ia sembunyikan.
"Ya udah. Kamu boleh keluar. Masih ada jadwal skill lab kan?"
"Iya, Dok." Namun, saat Nilla ingin bangkit dari duduk, ia tiba-tiba urungkan. "Ehm, saya dipanggil ke sini cuma nanyain pita? Bukan proposal?"
Akhirnya mau tidak mau Bieru menceritakan kerewelan Violet karena terbuangnya pita pemberian Nilla. Nilla hanya terkikik kecil mendengar cerita Bieru. Melihat ekspresi gadis itu, Bieru terkesiap. Jakunnya naik turun dan senyuman tipis tergambar di wajah.
"Kamu harus lebih sering tertawa dan tersenyum, Nill. Lebih nyaman lihatnya," saran Bieru yang mampu membuat wajah Nilla merona.
Nilla menunduk, menyembunyikan kuluman senyum. Hatinya berbunga. Tangannya kini merogoh sesuatu dari saku tas sambil berkata, "Nanti kalau saya sering tersenyum, bakal banyak yang naksir, Dok. Gini aja sudah banyak yang suka."
Sontak tawa Bieru meledak. Kalimat dipenuhi nada kesombongan itu terlihat aneh diucapkan dengan wajah sedatar jalan tol.
Tak menanggapi gelak tawa Bieru, Nilla lalu memberikan sebuah pita stroberi yang identik dengan yang ia berikan pada Violet kemarin. "Kalau hanya pita rambut, ini saya masih ada. Sebenarnya sepasang, jadi saya masih ada pasangannya."
Mata Bieru membulat lebar. Ia mengambil pita itu dan mengamatinya sejenak. "Berapa harganya ini?"
"Nggak usah, Dok. Itu buat Violet. Saya suka banget sama Vio. Sampaikan salam saya buat Violet ya, Dok." Nilla bangkit, lalu sedikit membungkuk badan untuk berpamitan. "Saya permisi dulu kalau begitu."
"Nill, makasih ya."
"Sama-sama. Senang membantu, Dok."
***
Bieru tak bisa menyembunyikan tarikan bibirnya sejak Nilla memberinya pita stroberi itu. Bahkan saat pulang ke rumah pun, senyuman itu masih terukir di wajah. Dia sudah membayangkan wajah Violet yang berbinar saat melihat pita baru yang ada di saku kemejanya.
Begitu turun dari mobil, masih dengan paras semringah, Bieru masuk ke dalam rumah. Namun, rumah terlihat sepi. Saat memasuki ruang tengah pun, putrinya tak terlihat. Biasanya Violet akan berlari dan menyambut kepulangannya dengan gembira.
"Vio, Papi pulang, Sayang!" seru Bieru sambil melihat ke bawah meja makan, tempat anaknya sering bersembunyi di situ.
Mendengar seruan sang putra, Aruna pun keluar dari kamar Bieru. Ia memanggil anak laki-lakinya.
"Mas, Vio demam. Dia nggak mau makan."
Rona Bieru sontak menguap. Ia mempercepat langkah masuk ke kamarnya. Di dalam kamar, Violet berbaring ditemani boneka Teddy Bearnya.
Bieru segera duduk di samping ranjang. Ia menempelkan punggung tangan di dahi Violet yang wajahnya pucat. "Violet, yang sakit mana, Sayang?"
Bibir Violet yang melengkung ke bawah bergetar menahan tangis.
"Vio, nggak mau makan ya? Mau makan apa? Papi suapin ya?" tanya Bieru dengan kedua alis terangkat. Ia yakin pasti wajahnya sama pucat dengan Violet. Ia paling cemas bila mengetahui putrinya sakit.
Violet menggeleng lemah. "Vi nggak mau apa-apa. Vi mau disuapin Kak Nilla."
💕Dee_ane💕💕
Silakan mampir ke KBM dan KK. Sudah tamat di sana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top