⚘1. Duren Mateng⚘

"Papiii!!"

Violet Senja Sagara menghambur saat melihat mobil SUV warna hitam itu masuk ke halaman.

Begitu turun dari mobil, lelaki berpostur jangkung itu menunduk sambil melempar senyum pada sang putri kecil. Alexander Bieru Sagara menangkap tubuh kecil yang mendarat di tubuhnya. 

Bieru menggendong badan mungil yang bajunya basah dengan noda lumpur yang memenuhi wajah Violet. Tak menghiraukan bau asam keringat sang putri yang belum mandi, Bieru mengecup samping kepala balitanya.

"Papi, lama sekali pulangnya?" Bibir mungil itu mencebik. 

Tubuh kurus itu kini menggantung di tubuh sang ayah yang melangkah masuk ke dalam rumah. Bieru bahkan membiarkan tas dan berkasnya tertinggal di dalam mobil karena ingin memeluk putri kesayangan.

Bieru terkekeh ringan. Kepenatannya bekerja sirna begitu saja saat mendapati wajah mungil yang mirip dengan mendiang istrinya. Gabriella Senja.

"Vi nungguin Papi?" tanya Bieru dengan suara bassnya yang dalam.

"Iya. Vi nggak punya temen. Vi pengin punya Mami sama adik. Pasti Vi nggak kesepian lagi," celoteh Violet sambil mengeratkan lingkaran tangannya di leher Bieru. Balita itu suka mengendus harum tubuh sang papi yang menurutnya manis dan menenangkan.

Mendengar keinginan sang putri, Bieru hanya mendesah. Violet kini beranjak semakin dewasa. Mungkin saat ini Bieru masih bisa mengendalikan semuanya. Memandikan, menyuapi bahkan menata rambut balita kecilnya. Namun, Aruna berulang kali mengatakan peran ibu bagi anak perempuan tak bisa digantikan oleh seorang ayah. Bila Violet menginjak remaja, Bieru juga akan kesulitan mengajari hal-hal berkaitan dengan proses biologis kewanitaannya. Membelikan miniset, membelikan bra, mengajari menggunakan pembalut dan masih banyak hal-hal lainnya.

Begitu berada di ruang tengah, Bieru menurunkan Violet. Ia menunduk untuk menyamakan pandangan mereka. Mata berbulu panjang itu mirip dengan mata Ella. Tiap kali Bieru memandang sang putri, ada desir menyakitkan dalam hati. Ella memberi warisan paras ayu pada putri kecil mereka, yang membuat Bieru didera rindu.

"Vi mandi dulu sama Mbak Des ya. Udah sore," titah Bieru dengan nada yang lembut.

Wajah Violet tertekuk. "Mau dimandiin sama Papi."

Bieru menghela napas. Ia sebenarnya ingin segera melepas penat setelah bekerja. Tapi melihat sorot memohon dari Violet, Bieru menarik bibirnya, tak kuasa menolak. "Udah sana lepas baju dulu."

Senyum lebar terukir di wajah Violet. Ia pun segera melepas kaus dan celana. Sedang Bieru duduk di sofa depan televisi untuk melepas sneakers dan melipat ujung kain celananya sampai sebatas lutut. Tak ingin putrinya menunggu, ia pun segera menyusul Violet yang sudah polos tak memakai baju.

Acara mandi Violet biasanya dimeriahkan dengan celotehan riang yang bercerita tentang kegiatannya di sekolah. Tak jarang Violet menunjukkan kemampuannya bersajak atau bernyanyi.

Namun, kali ini Violet hanya diam. Wajahnya menunduk saat Bieru menggosok badan kurusnya dengan shower puff. Awalnya Bieru tak paham, tapi saat ia hendak membasuh muka Violet, gadis kecil itu tak mau mendongak.

"Violetnya Papi, ayo cuci muka dulu. Biar kinclong."

Violet tak menurut. Ia masih menunduk. 

"Vi?" Bieru menghela napas, berusaha meraup kesabaran. Ia menarik dagu Violet pelan. Alisnya mengernyit mendapati wajah memberengut dengan mata berkaca-kaca. "Ada apa, Baby Vi?"

"Minggu depan ada tamasya ke Malang sama papi dan mami. Vio sendiri yang nggak punya Mami. Selalu yang datang Oma dan Opa." 

Bieru mendengkus. Bila sudah seperti ini, pasti Violet akan merajuk. Permintaan ingin punya Mami selalu menjadi pinta hariannya.

"Iya, Vi. Papi belum nemu Mami yang pas untuk Vio."

"Papi nggak cari sih!" balas Violet disambut decakan Bieru.

"Cari Mami itu kan bukan perkara mudah. Papi pengin Mami Vio kelak sayang banget sama Violet." Bieru berusaha memberi pengertian pada sang putri.

"Kenapa Violet sendiri yang nggak punya Mami?" Balita itu tergugu. Isakan kecilnya menggaung di bilik kamar mandi. 

Bieru hanya termangu. Tangannya meremas erat puff untuk meredakan gejolak kepedihan hingga busanya melimpah keluar dari kepalan tangan. 

Tak dipungkiri Baby Vio nya tidak pernah merasakan dekapan hangat dada seorang ibu. Karena perdarahan hebat, Ella tidak bisa lagi menemani perkembangan Violet begitu bayi kecilnya terlahir. Hanya saja wasiat Ella selalu Bieru ingat beberapa saat sebelum sang istri meninggal. Sebuah pesan untuk menjaga anak perempuannya.

***

Aruna Avanti yang mengetahui anak lelakinya duduk dengan lemas di depan televisi setelah memandikan Violet, segera menghampiri Bieru. Sejak kepergian sang istri empat tahun lalu, anak sulungnya resmi mendapat status duda. Sampai kini predikat itu masih melekat erat. Seolah Bieru enggan melepasnya.

"Mas, kamu kenapa?" tanya Aruna. 

Lamunan Bieru buyar. Ia menoleh ke arah maminya dengan senyuman tipis.

"Nggak pa-pa, Mi," dusta Bieru. Bagaimana mungkin ia tidak apa-apa saat anaknya merengek ingin punya mami seperti meminta mainan.

"Mami tebak, pasti Vio merajuk lagi." 

Bieru berdecak. Sang mami selalu tahu yang ada di pikirannya. "Mami sama Papi terlalu memanjakannya! Akhirnya dikit-dikit ngambek kan?"

Bieru mencari kambing hitam atas apa yang terjadi. Walaupun sebenarnya, bukan itu masalahnya. Violet memang merindukan sosok ibu. Seorang wanita pendamping sang papi yang akan menyayangi, mendidik dan mengajarinya banyak hal.

"Mas, Vio butuh Mami. Dia sering iri sama teman-temannya kalau diantar jemput mami mereka," kata Aruna.

"Masalahnya, Mi, siapa yang mau jadi Mami Violet? Violet itu anaknya aktif, cerewet dan kritis. Harus telaten nanggapi semua pertanyaannya. Lagian siapa yang mau dengan duda beranak satu. Aku takut Vio justru dapat ibu tiri jahat kaya di Cinderella," keluh Bieru panjang lebar.

Aruna terkekeh melihat putranya yang kusut. Lelaki itu tidak pernah menyadari pesonanya.  "Mami rasa cukup kamu menebar senyum di kampus, mahasiswimu akan antri menjadi istrimu, Mas." 

Bieru mendengkus. "Mahasiswi? Secantik-cantiknya mereka, Mi, mereka itu muridku. Udah kaya adik kelas atau bahkan anakku sendiri. Nggak bakalan aku sama mahasiswiku!"

"Ya, kita nggak tahu yang namanya jodoh kan, Mas." Aruna mengembuskan napas panjang. Tapi, sedetik kemudian matanya berbinar cerah. "Ya udah, kalau gitu kamu sama teman dosen aja." Aruna tersenyum senang karena menyadari akhirnya ia bisa menyinggung perjodohan yang selalu ditolak Bieru.

"Jangan bilang Mami mau bahas tentang Goreti," tukas Bieru ketus. Matanya memicing tak senang. 

Maminya selalu saja mengungkit ingin menjodohkan Bieru dengan adik mendiang Ella. Bagi Bieru, Ore sudah seperti adiknya sendiri. Kebetulan dia sekarang bekerja menjadi dosen Biokimia di Universitas yang sama tempat Bieru mengajar.

"Apa salahnya? Goreti sama cantiknya dengan mendiang Ella. Dia kelihatan sayang kamu. Awalnya Mami hanya nebak dia perhatian sebatas adik ipar ke kakak ipar, tapi lama-lama Mami rasa dia sayang kamu sebagai lelaki." Aruna kini duduk bersandar di sofa dan meraih remote untuk menyalakan televisi.

"Justru karena mirip Ella, aku nggak mau. Seolah aku hanya melampiaskan kerinduanku pada Ore. Dia berhak dapat yang lebih baik dari aku, Mi." 

Aruna mendesah. Sekali lagi ia tidak bisa membujuk Bieru untuk menikah lagi. Padahal, Aruna merasa Goreti adalah wanita yang pantas menjadi istri bagi Bieru dan Mami bagi Ella. Terlebih Goreti tak lain adalah tantenya sendiri.

Aruna heran dengan Bieru. Sampai kini anaknya tidak kelihatan mendapat gandengan. Padahal Aruna yakin, bila Bieru mau, bermodal tampang rupawan dan pekerjaan mapan, ia akan mudah mendapat perempuan pengganti Ella.

***

Di sisi lain, siapa yang tidak tahu nama Bieru Sagara, dosen Anatomi ganteng di Fakultas Kedokteran Universitas Dharmawangsa. Bagi para mahasiswi, selain dikenal sebagai seorang dosen killer, lelaki itu juga dikagumi karena ketampanannya. Wajah tirus dengan hidung mancung dan lesung pipi yang khas membuat jantung para gadis beranjak dewasa itu akan berdetak kencang. Bahkan mereka rela dimarahi oleh dosen killer itu agar bisa berlama-lama memandang wajah yang seperti aktor Korea.

Tampaknya tak ada kaum Hawa di kampus Kedokteran itu yang tak terpesona dengan Bieru. Begitu pun dengan Daniella Sekar Arum. Walau gadis berwajah oval dengan rambut hitam lurus itu terlihat tak sesemangat teman-teman yang lain, dari jauh ia sering memperhatikan sang dosen.

Nilla hanya mengamati saja. Tidak lebih. Toh Bieru dengan predikatnya Duren Mateng—Duda keren, mapan, dan ganteng—terlalu dewasa untuk Nilla. Baginya, pria dewasa tampan itu cukup untuk dilihat seperti bintang yang ada di angkasa. Tidak untuk didekati apalagi disentuh.

"Nill, lihat Dokter Bieru lewat!" Dara menyikut Nilla yang sedang tekun menekuri diktat yang ia pinjam dari perpustakaan. 

Nilla mendongak. Jari tengahnya menaikkan bingkai kacamatanya yang melorot. Matanya memicing memperjelas bayangan lelaki yang berjalan di lorong kampus menuju ke ruang dosen.

Hanya melihat saja jantung Nilla sudah berdetak lebih dari 100 kali. Ia memejamkan mata sambil menghela napas. Walau dada berdegup kencang, ekspresi wajahnya tetap sama. 

Dara berdecak. Temannya itu tak pernah bereaksi normal seperti para gadis lainnya. 

Nilla kembali menunduk, melanjutkan membaca diktatnya. Ada hal yang lebih penting untuk Nilla kerjakan, dari pada menjadi pengamat sang dosen Duren. Ia sudah punya target dalam hidupnya. Gadis itu ingin secepat mungkin menyelesaikan kuliah agar bisa meringankan beban ibunya dan ikut membantu membiayai sekolah adik-adiknya yang masih kecil..

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top