Pengakuan Rio
Saya adalah seseorang yang tidak mampu mengungkapkan rasa dengan baik, tapi saya senang saat kamu membuat saya merasakan banyak hal.
Citra, saya tidak tahu bagaimana kamu berpikir tentang saya selama ini. Namun, saya sangat kaget ketika kamu menyatakan perasaan kala itu. Apa yang membuat kamu suka pada saya sedangkan saya justru masih sering membenci diri sendiri? Saya tidak punya apa-apa, tapi afeksi dan presensimu menjadi segalanya bagi saya.
Orang tua saya tidak pernah ada saat saya membutuhkan mereka. Makanya saya tidak pernah punya teman untuk bercerita. Citra, kamu tidak akan pernah percaya betapa cerita kamu menghangatkan hati saya setiap harinya.
Saya menyayangi kamu. Saya ingin mengerti dan menjadi orang yang membuat kamu bahagia. Saya terlalu mencintai kamu sampai pada satu titik saya takut cinta saya berubah menjadi obsesi. Dan Citra, percayalah. Saya sangat takut kalau cinta menyenangkan yang kamu berikan pada saya berubah menjadi hal menyeramkan yang mengekangmu.
Sebab itu, saya membebaskanmu. Kamu terlihat lebih indah saat kamu tertawa bersama teman-temanmu dan saat kamu menikmati hal-hal kecil di sekitarmu. Saya tidak ingin perasaan saya menjadi penghalang bagimu untuk terbang bebas. Karena jauh dari siapa pun, saya tahu bagaimana rasanya terjebak dalam balutan waktu yang tak berujung.
Saya memberi kamu ruang, karena saya tahu kamu paling benci dilarang. Namun Citra, apa ada masalah yang terjadi pada kamu saat itu? Pasalnya senyummu mulai luntur. Kau tak lagi bercerita tentang harimu. Kamu hanya diam dan menatap saya bosan. Apa saya ... membuang waktumu?
Keraguan semakin bertambah dalam hubungan kita. Belum lagi tekanan keluarga saya yang berharap agar saya mengikuti jejak mereka di bidang kedokteran. Saya ingin sekali duduk berdua denganmu, bercerita, lantas saling menghibur, dan mencari jalan keluar bersama. Namun, tampaknya saya tak lagi bisa menyentuh ruang hatimu. Perlahan kamu menolak kehadiran saya. Apa waktu benar-benar bisa mengubah kita seperti ini?
Pada hari kelulusan, kamu mengajak saya bertemu. Kamu terlihat berbeda. Seakan kegagalan telah memenjaramu dalam kesedihan dan menyegelnya dengan waktu yang tak terbatas.
“Ayo kita putus,” ucapmu membuat jantung saya seakan berhenti berdetak.
Ah ... ternyata saya tidak lagi mampu menjadi alasan kebahagiaanmu.
“Kamu serius?” Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan.
Saya tidak pernah mengharapkan ucapan selamat dari orang lain ketika saya lulus seleksi nasional masuk perguruan tinggi. Namun, setidaknya kamu Citra, kenapa kamu justru berkata sekejam ini pada saya?
Selama ini saya banyak belajar dari hubungan orang tua saya. Bagaimana papa terus mengekang mama agar tak meninggalkannya dengan alasan keberadaan saya dan perasaan menyesal mama yang telah memilih papa sebagai suaminya. Saya tidak mau menahanmu yang tampaknya sangat ingin pergi untuk tetap berada di samping saya.
“Waktu udah banyak berlalu, ya?” Americano yang saya minum terasa makin ketir di lidah. “Oke. Kalau itu memang mau kamu, ayo kita putus.”
Kamu menunduk. Terlalu dalam hingga saya kesulitan melihat ekspresi di wajahmu. “Makasih atas waktu kamu selama ini. Maaf aku gak bisa jadi orang yang lebih baik buat kamu.”
Orang-orang bilang waktu bisa buat kita lupa. Entah hal apa saja yang bisa dihapuskan waktu, tapi yang pasti perasaan tidak termasuk di dalamnya.
Citra, hidup saya begitu monoton. Bagai detik jarum jam yang berbunyi konstan. Biasanya saya menyukai sesuatu yang tidak akan berubah dan punya ritme yang sama. Namun, setelah kamu membuat saya sempat merasakan hidup yang sangat berwarna—tak hanya kelabu saja—apa yang kamu harap saya rasakan setelah kamu minggat dari hidup saya?
Maka dari itu hari ini saya memutuskan untuk menulis pengakuan ini—alih-alih mengerjakan tugas dari dosen saya—dan berharap agar perasaan saya tersampaikan dengan baik padamu.
Semoga kelak waktu bisa benar-benar mewujudkan keinginan saya untuk bertemu denganmu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top