Pengakuan Citra

Sebagai seseorang yang telah menyimpan rasa sedari kita masih anak ingusan, aku harus bilang apa lagi?

Waktu itu adalah hari pertamaku pindah ke tempat yang benar-benar asing ini. Entah ayah dan ibu percaya bahwa aku bisa beradaptasi dengan baik atau mereka tak ingin ambil pusing saja. Yang jelas, saat aku berada pada bangku sekolah dasar kelas 4, ayah mengungkapkan bahwa kita akan pindah dan aku harus meninggalkan semua temanku dengan tiba-tiba.

Aku merasa kesal. Sekolah baru pun sama membosankannya dengan lingkungan aneh ini. Namun, saat itulah aku bertemu denganmu. Tatapan yakin dan senyum tipis-tipis yang kamu perlihatkan saat maju ke depan kelas sambil menjelaskan bagaimana caranya menyelesaikan soal faktor kelipatan terbesar dengan baik dan jelas.

Perlu kamu tahu, Rio. Sejak hari itu aku menyukai pelajaran matematika. Tidak apa nilaiku di mata pelajaran lain merah, asalkan matematika harus aku yang juaranya. Lantas, coba tebak. Sekarang aku bisa dengan mudah berteman denganmu dan secara kasual mengajakmu pulang bersama.

Di SMP kamu bertambah keren—entah memang itu fakta atau hanya aku yang dimabuk cinta. Siang kuhabiskan denganmu, sedangkan malam kuhabiskan juga untuk memikirkanmu hingga akhirnya aku memutuskan; ini adalah waktu yang paling tepat untuk menyatakan perasaanku. Peduli setan dengan aturan laki-laki yang harus menyatakan cinta duluan. Yang ingin berpacaranlah yang harus menyatakan perasaan lebih dahulu.

Astaga, Rio! Kau harus tau betapa basahnya punggungku karena peluh kala itu. Aku menunggu di depan kelasmu dengan wajah cemas. Kalau kau tolak aku harus bagaimana? Apakah tidak terkesan terlalu idiot untuk mengajakmu untuk terus berteman?

Aku gugup. Kamu yang di depanku hanya mengangkat alis tatkala bulir keringat menetes di pelipisku. Sepertinya kamu khawatir, tapi juga bingung. “Kamu kebelet?”

“Nggak!” bantahku. “Aku mau ngomong sesuatu.”

“Dari tadi kamu juga udah ngomong.”

Aku berdehem. Bersiap mengeluarkan kalimat yang telah kulatih hampir ratusan kali di kamar bersama bantal guling. Ketika aku mengatakan hal ini, maka tidak akan ada lagi jalan untuk mundur. Maka setelah berdehem untuk melegakan tenggorokan, aku bersuara, “Aku suka sama kamu.”

“Aku juga. Kita kan teman.”

Aku menggeleng kuat. “Aku mau kamu jadi pacarku.” Kamu berkedip beberapa kali. Memastikan tidak salah memahami ucapanku. “Aku udah dari dulu naksir sama kamu, Rio.”

Jawabanmu selanjutnya justru membuatku terkejut. Aku sudah mempersiapkan hati, tisu, dan stok lagu sedih untuk menangis sepulang nanti, tapi aku justru menyaksikanmu tersenyum ketika membalas, “Oke, aku mau.”

Akhirnya selain matematika, seorang Rio juga menyukaiku.

Aku memberi semuanya untukmu. Masuk ke SMA yang sama, hingga bergabung ke ekskul yang sama hanya untuk sering bertemu. Kamu tampaknya tak keberatan dan aku lega karena memiliki pacar yang pengertian.

Hingga waktu berlalu, aku mulai mempertanyakan berbagai hal. Salah satu hal yang paling krusial ialah tentang perasaanku padamu. Setelah beberapa tahun, apa aku masih mencintai kamu sebanyak sebelum aku menyatakan perasaan pada dirimu dulu?

Percakapan kita jadi lebih menjenuhkan. Aku bercerita banyak tentang hariku, tapi Rio, kamu hanya membagikan sedikit tentang dirimu. Siapa pun yang mendengarku sekarang ini pasti akan menudingku berlebihan dan bersikap terlalu emosional, tapi semakin berusaha kusingkirkan, pikiran ini mengganggu semakin brutal di dalam benak.

Namun, Rio, kamu terlihat tidak goyah sedikit pun. Rio yang berusia tujuh belas masih terlihat sama dengan Rio yang berusia sembilan tahun. Tenang dan brilian. Senyum tipismu masih mengembang persis seperti yang kuingat saat sekolah dasar dulu.

Rio ... apa yang kamu pikirkan tentang kita?

Kamu terlihat santai saja saat aku bergaul dengan siapa pun. Tidak berkabar seminggu pun kau tidak bawa pusing. Pertemuan kita makin hambar, terlebih saat kita telah menginjak tahun terakhir di SMA. Kamu benar-benar sibuk. Tidak bisa kutemui. Aku mungkin akan maklum, karena kamu memang orang yang seperti itu. Aku ... apa aku memang maklum?

Seakan sudah jelas, kamu lulus seleksi nasional di PTN favorit dengan nilai yang cemerlang. Lalu aku? Tentu saja aku gagal dan harus mengikuti seleksi bersama yang akan diadakan dua bulan setelahnya.

Hari di mana aku seharusnya mengucapkan selamat untukmu, aku justru melontarkan kalimat yang selalu kusesali sampai sekarang. Kau duduk dengan wajah tenang di kafe sembari menyeruput americano. “Kamu gak apa-apa?” tanyamu dengan suara sejernih air.

Aku tersenyum kecut. “Ayo kita putus.”

Hening sejenak. “Kamu serius?“ Aku belum pernah seserius ini dalam hidupku. “Aku tiba-tiba ingat waktu kita SD dulu. Waktu udah banyak berlalu, ya.” Kamu menyambung, “Citra ... kalau kita putus, kita gak bisa berteman kayak dulu lagi kan?” Kamu tersenyum kecil. Kali ini tak terlihat cahaya dalam senyumanmu. “Oke. Kalau itu memang mau kamu, ayo kita putus.”

Kukira hatiku akan lega karena aku telah berhasil menghapus eksistensi seorang Rio dari pandanganku, tapi waktu yang curang itu selalu saja menggentayangi pikiranku dengan senyuman cemerlangmu. Aku merindukanmu, tapi apa bisa aku bertemu denganmu lagi dan menghapus rasa sesal ini? Mungkin aku harus meminta maaf padamu jika nanti kita bisa berjumpa lagi.

Lagi pula tidak ada yang bilang waktu akan dengan mudah menghapus penyesalan 'kan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top