Bab 3
Hari-hari yang menegangkan itu telah usai. Baik Dian maupun Dean sama-sama berharap bahwa mereka akan mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah itu yang mereka lakukan hanya bisa banyak berdoa lalu mencoba melupakan semua masa sulit yang telah mereka lalui. Sayangnya, itu hanya berlaku untuk Dean.
Sehari setelah ujian nasional selesai, Dean sudah bisa pergi ke mana saja yang ia mau. Nongkrong di cafe bersama teman-temannya, pergi main ke salah satu rumah temannya dan banyak hal lagi yang bisa gadis itu lakukan bersama yang lain. Beda halnya dengan Dian. Ujian nasional memang telah usai. Namun menurutnya, perjuangan itu tak akan berhenti di sana. Dian masih terus berharap-harap cemas akan hasilnya.
Dian sungguh takut ia mengecewakan mama.
Bukankah ia sudah berjanji akan membuktikan bahwa Dian bisa jadi yang terbaik bahkan tanpa double les seperti yang mama minta dan teman-temannya lakukan. Mungkin memang benar, Dian tidak bisa jadi yang pertama mengingat begitu banyak anak-anak pintar di kelasnya. Dian hanya bisa mengharapkan yang terbaik dan juga berharap bahwa mama tak kecewa padanya.
Lalu bagaimana dengan ayah?
Ayah bukan tipe bapak pada umumnya. Ia tidak begitu tegas, namun tetap berusaha untuk membuat anak gadisnya berada di jalan yang benar. Ayah juga bukan tipe bapak yang menginginkan anak-anaknya menjadi nomor satu ataupun memiliki segudang prestasi. Karena itu, Dian tidak mengkhawatirkan tentang sang ayah. Ayah akan menerima semua kerja keras yang ia dan Dean lakukan. Bagaimanapun hasilnya.
"Di, dicari Ali di depan, noh." Dean berteriak dari luar kamar. Membuat lamunan Dian buyar begitu saja.
Ia bangkit dari kasur kemudian, lalu berjalan gontai keluar kamar. Mengabaikan Dean yang sejak tadi sudah koar-koar menggodanya hendak berkencan dengan Ali. Lagipula siapa yang mau dengan cowok super pd itu. Setidaknya untuk sekarang, Dian tidak tertarik. Apalagi Ali itu teman mereka sejak kecil.
Masih dengan langkah lesu, Dian membuka gerbang rumahnya dan langsung mendapati sosok jangkung itu telah lengkap dengan sepeda yang ia bawa. Tumben.
"Ngapain?"
"Jalan-jalanlah. Kan emang udah janji mau ngajak jalan pas kelar ujian."
Mata Dian sedikit membola. Ali serius mengajaknya jalan dengan sepeda gunungnya itu? Tak ada tempat untuk berboncengan. Sesaat kemudian, Dian meninju lengan atas Ali. Baru saja menyadari jika Ali menipunya.
"Ngaco!"
"Serius, elah. Nanti aku pinjemin pake punya Mang Jajang. Mau nggak?"
"Nggak, ah. Mau tidur aja." Dian menolak.
Pikirannya masih kacau, bersepeda dengan pikiran kacau hanya akan membuatnya celaka nanti. Lagipula, Dian sedang tidak mood melakukan aktivitas-aktivitas berat. Rasanya masih ingin rebahan di kasur seharian setelah resmi terbebas ujian.
"Tidur mulu nggak baik buat kesehatan. Obesitas baru tahu rasa."
"Heh?!" Dian mendelik. Sahabatnya ini memang sangat menyebalkan. Jika tidak, berarti ada yang salah dengan otaknya.
"Ya makanya, ayo. Diajakin olahraga tuh, harusnya seneng. Apalagi diajak aku yang ganteng ini. Serius, harusnya kamu bersyukur. Gini-gini aku banyak yang naksir tahu."
Nah, kan.
Selain tingkat menyebalkannya tinggi, Ali juga PD-nya luar biasa. Dian tak tahu mengapa ia bisa betah memiliki sahabat macam Ali. Dan yang lebih parahnya lagi, hanya Ali satu-satunya teman terdekatnya selama ini. Entah pelet apa yang cowok itu pakai, Dian tetap merasa nyaman berada di sekelilingnya, semenyebalkan apa pun dia.
"Gimana, mau nggak? Keliling komplek aja bentar. Atau mau minjem sepedanya Bu Gatot, biar bisa boncengan?" katanya sambil menaikturunkan alis.
"Itu lebih baik." Dian tersenyum. Dan pada akhirnya akan selalu seperti ini.
"Yee, dasar! Gue ambil sepedanya dulu, yaa!" serunya dari kejauhan.
Dian yang sudah berlalu dari sana hanya bisa mengangguk. Tak peduli Ali melihatnya atau tidak.
🍀🍀🍀
Dan di sinilah mereka sekarang. Berkeliling komplek dengan menggunakan sepeda polygon berwarna hijau milik Bu Gatot --wanita yang bekerja pada keluarga Ali-- dengan Dian yang berada di belakang punggung Ali, memegang erat kaos yang remaja itu kenakan. Bukannya apa, cowok itu selalu saja berbuat iseng dengan sengaja membuatnya berteriak kesal sejak tadi. Entah mengayuh terlalu cepat hingga membelokkan sepedanya terlalu miring.
"Bercanda lagi, aku turun di sini," ancamnya.
"Gini, nih. Cewek tuh kalau nggak ngambek pasti ngancem. Kalau ngambek bisanya nyubit atau kalau nggak, ngacangin. Basi, ah."
Sekali lagi Dian memukul cukup keras punggung Ali hingga cowok itu mengaduh kesakitan dan membuat sepeda mereka kembali oleng.
"Tuh, kan. Kalau mukul terus bisa-bisa jatuh kita."
"Makanya jangan ngeselin."
"Aku tanpa ngeselin itu bukan Ali," katanya sembari tertawa. Dian ikut membenarkan dalam hati. Ali tanpa ngeselin memang bukanlah Ali. Tabiat cowok itu sejak kecil terbawa sampai detik ini, susah dikurangi apalagi dihilangkan.
"Habis ini ke mana?"
"Pulanglah."
"Mampir dulu, beli es krim." Dian hanya bisa mengangguk, karena melarang pun percuma. Ali pasti dengan seenak jidat akan melakukan semua yang ia ucapkan kendati Dian menolak.
Sembari menunggu Ali selesai membeli es krim untuk mereka berdua, Dian kembali diam. Meski tak lagi memikirkan hasil ujian nasional, masih ada banyak hal yang harus ia pikirkan. Apalagi sejak pertanyaan 'mau lanjut ke mana?' dipertanyakan banyak orang, Dian jadi kembali memikirkan semua keputusannya.
Akankah harus berpisah dengan Dean hanya karena hal itu? Entahlah. Dian sendiri masih bingung. Di sini lain, ia tak ingin berpisah dengan Dean. Namun melihat semua yang terjadi belakangan, Dian mulai yakin dengan keputusannya. Meski sejujurnya ia masih bimbang. Bercerita dengan Ali pun terasa percuma. Ini masalahnya, tak seharusnya Dian melibatkan orang lain dalam masalah keputusannya. Memilih diam mungkin lebih baik.
Sesaat kemudian, Ali datang dengan dua es krim di tangan. Satu untuknya dan satu untuk Dian. Padahal, Dian tidak meminta. Ia memang sengaja tak membawa uang, Ali pun tidak menawarinya. Tiba-tiba datang dengan dua es krim begitu saja.
"Nih!" Sebelah tangannya mengulurkan es krim itu di depan wajah Dian.
"Makasih."
Ali duduk di samping Dian kemudian. Mereka berada di tepi trotoar. Duduk, sembari melihat berbagai macam kendaraan lewat.
Sambil memakan es krimnya, Ali bertanya. Dan untuk kali pertama, seseorang menanyakan hal ini kepada Dian. "Kita ada waktu dua minggu liburan. Kamu mudik?" tanyanya.
"Iya. Berangkat lusa."
"Jadi pengen liburan juga." Dian menoleh, menatap Ali dengan pandangan penuh tanya.
"Ya, liburan aja."
"Ya, iya sih. Tapi banyak misi yang harus aku selesaikan. Setidaknya selama liburan ini, aku pengen semuanya selesai. Sebelum masuk SMA, kan lebih baik diselesaikan sekarang."
Sesaat Dian terdiam, tidak mengerti bagaimana maksudnya. Beberapa detik kemudian, Dian menyadari ia melupakan satu hal. Ali dan misi rahasianya memang tidak akan pernah bisa dipisahkan.
🍀🍀🍀
Madura, 130920
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top