Bab 20

Sejak hari itu, semua ketakutan yang diam-diam Dean dan Dian rasakan akhirnya menjadi kenyataan. Hubungan orang tuanya berakhir, di hari itu juga. Ayahnya pergi dari rumah, katanya untuk menenangkan diri. Dan mama pergi entah ke mana. Dean saat itu sendiri, diam tanpa banyak bicara. Bahkan saat kedua orang tua Ali memintanya untuk menginap di rumah mereka saja selagi orang tuanya pergi, Dean masih diam.

Di kepalanya yang ada hanya bagaimana caranya pergi ke tempat Dian. Dean ingin ada Dian di sampingnya, itu saja.

Dan beberapa hari setelahnya, ayah datang. Dengan wajah yang bisa dibilang berantakan, tapi tetap menyertakan senyuman. Saat itu, mereka berdua menangis. Entah sedih karena keadaan yang tak akan pernah sama lagi atau karena hal lain. Yang bisa Dean dengar di sela-sela tangisnya hanya ucapan maaf dari ayah.

Pria itu sedih, kehilangan cintanya, orang yang ia percaya selama ini. Pria itu marah, pada dirinya sendiri karena tak bisa menjaga keluarganya sebaik mungkin. Ayah menyesal, usia anak-anaknya masih dini, tapi harus merasakan sakitnya tumbuh tanpa kedua orang tua. Dan ayah takut, bagaimana menjalani hari ke depan dengan status yang baru, single parent.

Tapi tak lama. Setelah semuanya berlalu begitu saja, Dean memutuskan untuk pergi, ke tempat di mana Dian berada. Ke tempat di mana ia bisa menghabiskan banyak waktunya bersama. Meski sedih karena tanpa ayah di sisinya. Untung saja ayah setuju. Ia merasa tak bisa merawat Dean sendiri. Karena itu ia percaya, jika Dean dan Dian bersama, mereka akan tumbuh jauh lebih kuat dibanding bersamanya.

Meski berat, ayah perlahan melepaskan semua yang telah terjadi. Memilih melupakan pengkhianatan istrinya meski begitu sakit. Memilih untuk melanjutkan hidup kembali. Melupakan masa lalu dan memulai lembar baru.

Dan sekarang, genap empat tahun mereka pergi. Melalui semuanya bersama. Meski tanpa ayah, tanpa mama yang bahkan sekarang kabarnya saja mereka tak tahu. Mama seolah menghilang setelah peristiwa kelam itu. Tanpa pamit, tanpa kata dan tanpa pelukan hangat seperti yang biasa mereka dapatkan ketika hendak tidur belasan tahun lalu.

Mama pergi, membawa luka di hati. Membawa lubang besar bagi ayah, bahkan seperti tanpa penyesalan. Mama pergi seolah memang ingin pergi. Tak peduli pada mereka yang ditinggalkan. Tak peduli pada luka dalam yang berhasil ia torehkan.

Tapi semua baik-baik saja sekarang. Dean berhasil memasuki kampus impiannya dan berhasil masuk jurusan psikologi seperti mimpinya. Sedangkan Dian, ia tengah berjuang di negeri Mesir sana. Melanjutkan mimpinya sejak kecil. Berjuang meraih cita-cita. Dan berhasil meraih mimpinya.

Meski mereka berdua kini harus berpisah kembali, tapi keduanya sama-sama sadar, perpisahan kali ini bukan perpisahan seperti sebelumnya. Mereka sama-sama merelakan apa yang telah terjadi. Mereka berusaha mengikhlaskan semua sakit hati dan semua luka yang berhasil mama torehkan. Cukup dalam, namun perlahan bisa mereka hilangkan.

Kini Dean kembali bersama ayah. Ayah juga memutuskan untuk pindah kerja, dan membeli rumah dekat dengan kampus anaknya. Dean tak ingin membuang-buang waktu, setelah sempat berdiskusi beberapa waktu lalu, Dian dan Dean sepakat kalau Dean yang akan menemani ayah. Meski tak tahu sampai kapan, Dean bersedia. Ia akan mengganti semua waktu mereka yang hilang saat itu.

Namun satu hal yang masih membuat Dean kesal sampai sekarang. Ali, sahabat adiknya, yang juga teman baiknya, ternyata satu kampus dengannya. Setelah empat tahun jarang bertemu, kini keduanya seolah kembali dipertemukan. Dan yang paling membuat Dean kesal, Ali masih sama seperti dulu. Superduper menyebalkan. Ia bahkan sering datang ke rumah barunya. Sekedar menemani ayah mengobrol saat mereka pulang kuliah. Atau justru menemaninya saat ayah tak ada di rumah.

Dean tak masalah sebenarnya. Tapi memang dasar Ali yang menyebalkan. Dia datang dengan suka rela, lalu tiba-tiba berkata pada ayah bahwa suatu hari ia yang akan menjadi pengganti ayah bagi salah satu putrinya. Bukannya Dean terlalu percaya diri, ia juga sebenarnya enggan berinteraksi dengan Ali lagi. Namun melihatnya berada di sini hampir setiap hari membuat Dean jengah juga pada akhirnya.

Seperti saat ini misalnya. Ali, dengan wajah cerah tiba-tiba datang. Duduk di kursi depan rumah sambil bercengkrama dengan kucing baru milik Dean. Beberapa saat setelahnya, ayah keluar bergabung. Dan Dean yang kembali menjadi babu. Disuruh-suruh melulu.

"Om nggak keberatan, kan, kalau saya ke sini terus?"

Saat itu, ayah tertawa. "Nggaklah. Itung-itung Om ada temen ngobrol. Sama-sama cowok gitu."

"Berarti Om nggak masalah kalau saya suka sama salah satu anak, Om?"

Lagi, ayah tertawa. Dean yang juga ikut mendengar menganggap mungkin ayah berpikir kalau anak baru gede di sampingnya ini tengah bercanda. Namun Dean terkesiap saat ayahnya tiba-tiba menjawab.

"Silakan. Om nggak akan melarang siapa saja menyukai anak Om, atau mereka menyukai orang lain. Tapi kalau kamu, Om percaya. Kalian dari kecil temenan, kan?" Ali mengangguk. "Mereka percaya sama kamu, berarti Om juga."

Dean hanya terdiam dan malas menanggapi sejak detik itu. Padahal ia juga di sana menemani dua anak adam itu berbicara.

Tentang apa yang Ali bicarakan tadi, Dean sudah tak heran. Karena sejak mereka bertemu di kampus beberapa bulan yang lalu, laki-laki itu tidak berhenti merecokinya tentang Dian. Bertanya kapan Dian akan pulang, meminta nomor ponsel barunya dan bahkan bertanya Dian kira-kira lulus tahun berapa. Sudah pasti yang tengah Ali bicarakan itu Dian. Untung saja Dean tidak terjebak pada circle percintaan pada umumnya. Ia sama sekali tidak menyukai Ali dan Ali pun demikian.

"Emang yang kamu suka itu siapa? Om kok tiba-tiba penasaran gini, ya."

Dengan senyum malu-malu dan diakhiri kekehan kecil, Ali menjawab. "Dian."

Dean tersenyum diam-diam. Sejak tahu Ali ternyata menyukai adiknya sesaat sebelum pergi menyusul Dian pindah ke pondok pesantren, Dean sudah bisa menebak kalau cowok itu tak akan pernah menyerah. Dalam artian, Ali tak akan pernah jatuh pada pesona gadis lain selain menunggu Dian pulang. Benar saja, hingga detik ini Ali datang berkali-kali kemari untuk menyatakan lebih dulu pada ayah kalau ia menyukai putrinya.

Dean akui, Ali sangat gentle dalam hal ini. Memperjuangkan apa yang bisa ia perjuangkan meski Dian tidak ada di sini. Memperlihatkan sejauh mana usahanya untuk mendapatkan Dian di hadapan ayahnya. Sedangkan ayah, laki-laki itu sebenarnya bisa saja memberikan restu secara cuma-cuma. Tapi tetap saja, ia ingin melihat sejauh mana Ali dapat memperjuangkan puterinya.

Dan saat Dian kembali berangkat ke Mesir untuk melanjutkan cita-citanya, di sana juga Dean merasa kalau Dian juga sama. Sama-sama hanya mengharapkan Ali seorang. Ah, tugas Dean bertambah sekarang. Karena selain mengurus dan merawat ayah, ia juga harus melakukan satu hal. Memperbanyak doa. Agar garis Tuhan memang menetapkan untuk mereka berdua bersama, selamanya.

-- SELESAI --

A/N

Jujur, saya nggak tau isinya apaan. Tapi semoga tetep dinyatakan selesai. Hehe.

Hari terakhir update dan ke depannya nggak tau bakal tetep update cerita baru atau nggak. Semoga saja ada.

Sekian.

Madura, 310121
Elnaya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top