Bab 2
Sejak mengatakan akan membagi tugas membersihkan rumah, ternyata Dean benar-benar menepatinya. Tidak sekedar membual seperti yang Dian kira. Ya, siapa juga yang lantas percaya kalau yang mengucapkannya adalah Dean? Dean bukan tipe anak yang sekali disuruh langsung nurut, ia juga bukan tipe anak yang sangat menjaga kebersihan seperti mama. Dean dan Dian sangat berbeda, karena itulah ia tidak bisa memercayai Dean begitu saja.
Disuruh mama nyuci piring satu minggu lalu aja besoknya baru dikerjain, apalagi berinisiatif sendiri.
"Kamu bener-bener kesambet kayaknya?" Dian yang melihat Dean menyapu sungguh-sungguh tentu saja heran.
"Dih! Orang adiknya mau berubah bukannya disemangatin malah dikatain. Durhaka kamu jadi kakak."
"Ada juga kamu yang durhaka karena nggak pernah nurut kalau disuruh Mama."
Dean diam saja. Tak lagi membalas ucapan kakaknya. Tidak juga kesal, karena apa yang Dian bilang adalah kenyataannya. Lagipula untuk apa kesal? Dean tidak suka bertengkar dengan Dian. Karena kalau mereka sampai bertengkar itu berarti masalahnya tak lagi kecil.
"Ya udah. Nyapu yang bersih, aku cuci piring dulu. Jangan ke dapur kalau cuma mau ngeberantakin aja!"
Dean hanya mengangguk lalu melanjutkan menyapu bersih ruang tamu. Ini bukan kali pertama ia menyapu, tapi tetap saja rasanya melelahkan. Dean salut pada Dian yang mampu melakukan semua pekerjaan itu setiap harinya. Bukan karena disuruh mama tapi memang karena inisiatifnya sendiri. Dian bukan seperti dirinya yang cuek dengan segala hal di sekelilingnya. Dian itu sangat gila kebersihan, dia nggak pernah tahan melihat sesuatu yang kotor atau berantakan. Makanya rumah selalu rapih meskipun mama kerja sampai malam dan ayah baru pulang sore harinya.
Saat ditanya Dian lelah atau tidak melakukan pekerjaan rumah, ia bilang tidak. Dean juga tahu persis ketika kakaknya itu sedang banyak pikiran, hal yang pertama kali ia lakukan untuk menghilangkan pikiran adalah membersihkan rumah. Salah satu hal yang menurut Dean patut dicontoh dari Dian yang sayangnya tak bisa ia contohkan. Terlalu berat untuknya yang pemalas ini.
Untung saja mama, ayah dan Dian sendiri tidak keberatan. Makanya ia betah-betah saja di rumah meski hanya berdua dengan Dian. Saudara kembarnya itu segalanya menurut Dean. Ia bisa jadi pendengar super baik, tempat curhat, kadang berperan sebagai ibu kalau Dean sedang sakit, pernah juga seperti ayah yang tak berhenti mengomel dan menasehatinya kalau egonya sedang tinggi. Anehnya, Dian hanya bersikap begitu ketika berada di rumah atau bersama Ali, tetangga samping rumah. Dengan yang lain, Dian akan berubah 180 derajat berbeda. Ia menjadi pribadi yang tak banyak bicara dan senang memerhatikan sekitar. Dean juga tak tahu mengapa.
Syukurnya lagi, Dean dan Dian satu kelas serta satu tempat duduk sejak dulu hingga sekarang. Ia jadi bisa melihat kakaknya itu banyak bicara kalau berada di dekatnya. Entah bagaimana kalau Dian berbeda kelas dengan Dean, akan jadi sediam apa Dian nantinya.
Selesai menyapu ruang tamu, teras depan dan teras belakang, Dean menghampiri Dian yang saat itu tengah membuatkan teh hangat. Lagi-lagi Dean dibuat heran akan kecepatan kakaknya itu mencuci piring.
"Udah selesai nyuci piringnya?"
Dian mengangguk. "Dari tadi?"
"Nggak, baru aja. Nggak banyak juga cuciannya. Bentar lagi istirahat, lanjut nyuci baju."
"Kan kita udah sepakat nyuci sendiri-sendiri tiap hari. Kan tadi pagi sebelum sekolah juga udah nyuci."
"Lupa belum nyuci sprei."
"Ya ampun. Sprei, doang. Besok 'kan bisa. Lagian besok Sabtu juga."
Dian terlihat sedang berpikir, lalu mengangguk. "Iya, deh. Kamu mau tehnya nggak?"
"Boleh, anterin ke ruang tengah, ya. Mau nonton drama." Dean berlalu sambil membawa satu toples cemilan untuk menemaninya menonton drama.
🍀🍀🍀
"Kita jadi sekolah bareng, kan?"
Mendengar pertanyaan tiba-tiba dari adiknya membuat Dian terdiam sejenak. Ia benar-benar tidak bisa menjawab satu pertanyaan itu sepertinya. Dian tidak tahu rencana yang waktu itu ia pikirkan akan benar-benar terealisasikan atau tidak.
"Nggak tahu. InsyaAllah aja."
"Kok nggak tahu, sih? Tinggal jawab iya susah amat. Tapi ya, masa kita pisah sekolah. Nggak mau, ah. Kita udah bareng dari perut Mama masa tiba-tiba pisah?"
"Manusia hanya bisa berencana, De. Allah yang mengatur semua."
"Tapi kan, sebagai manusia kita bisa berusaha. Siapa tahu rencana Allah rencana kita juga."
"Aku nggak bisa janji."
Dean menoleh dan mendapati Dian sedang menunduk. "Nggak mau tahu, kita harus sekolah di tempat yang sama. Satu jurusan bahkan satu kelas kayak biasanya."
"Kita satu kelas juga hanya kebetulan, De. Mungkin gurunya nggak tega kalau misahin aku sama kamu. Kalau boleh milih mah aku maunya pisah aja. Bosen tahu." Dian terkekeh kecil sambil menyomot beberapa kripik pisang di pangkuan Dean.
Dean mendelik. "Kok gitu, sih? Jahat banget."
"Bercanda, De. Kan aku udah bilang InsyaAllah. Semoga Allah mengabulkan."
Dean mengangguk. "Kayaknya lucu deh, Di, kalau kita beda kelas. Pengen tahu gimana rasanya. Tapi nggak mau pisah, gimana dong."
"Dasar!"
Dean tertawa. Mengobrol seperti ini jauh lebih menyenangkan dibanding menggosipkan hal-hal yang tidak bermanfaat, kalau boleh Dean jujur. Tapi sepertinya menggosip sudah menjadi darah daging pagi lingkungan pertemanannya. Dean tidak bisa menjadi Dian yang tiba-tiba pendiam ketika di luar rumah. Dean juga tidak bisa hanya mempunyai satu teman seperti Dian. Ia tidak akan pernah bisa menjadi Dian karena memang mereka berbeda meski tampak sama.
🍀🍀🍀
Hari menjelang ujian nasional semakin dekat. Mama berulang kali menyuruh mereka untuk double les. Dean mau-mau saja, tapi Dian menolak keras. Mereka sudah mendapatkan les dari sekolah yang tentunya tidak gratis, Dian tidak mau menambah banyak biaya hanya untuk tambahan les. Padahal mama sendiri tidak keberatan. Dan entah mengapa sejak hari itu, Dian tiba-tiba menjadi lebih pendiam dan di saat yang sama suka sekali belajar hingga larut malam. Mau tak mau membuat Dean juga ikut belajar sama seperti dirinya. Tidak ingin ketinggalan.
Sama seperti keluarga lainnya, mereka suka dibanding-bandingkan. Kalau ayah sih, paling cuma menasehati kalau mereka tidak seimbang. Tapi berbeda dengan mama. Dean rasa mama juga sama seperti mama lainnya, suka membandingkan anak sendiri dengan anak orang lain. Dean tidak masalah, ia cuek-cuek saja karena percaya mama lebih mendukung hobinya daripada hanya melihat kepintaran.
Berbeda dengan Dian yang menanggapi dengan serius semua perkataan mama. Dia rela belajar hingga larut malam, rajin mengerjakan tugas yang bahkan belum guru-guru suruh. Dan semakin mendekati tanggal ujian, Dian semakin belajar gila-gilaan. Meski menolak les tambahan, Dian berhasil menyakinkan mama bahwa ia bisa melewati ujian nasional kali ini dengan hasil yang memuaskan.
Dean sebenarnya merasa ada yang aneh dengan Dian akhir-akhir ini. Bukan hanya karena belajar gila-gilaan seperti yang dikatakannya tadi. Tapi sikapnya pada mama sepertinya ikut berbeda. Ia terlihat menghindar setiap kali mama ada. Kalau nggak dengan alasan belajar, pasti banyak alasan lainnya supaya ia tidak sering bertemu mama.
Apa masa hanya karena masalah banding membandingkan? Sepertinya bukan. Tapi apa?
🍀🍀🍀
Madura, 280820
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top