Bab 19

Pergi bersama Ali kemarin membuat Dean sedikit merasa lebih baik. Ia memang butuh banyak pelampiasan. Karena lagi-lagi orang itu hanya mengiriminya kotak berisi foto, yang meskipun semakin lama semakin mendebarkan isinya. Dean juga masih diam saja. Ia tak akan bertindak bodoh kali ini. Ia menyimpan semua foto itu di tempat yang aman lalu akan membongkar semua di saat yang tepat.

Dean masih butuh waktu dan butuh lebih banyak bukti lagi untuk bisa mengungkapkan semua yang terjadi. Kepercayaan Dean pada Mama tak tersisa, sungguh. Karena semakin lama, bukti yang ia miliki semakin kuat membenarkan kalau mama benar-benar selingkuh dengan pria ini. Entah apa alasannya, Dean tidak bisa membenarkan dan ia benci itu. Ia benci mama.

Hari ini hari Jum'at. Di mana hanya hari ini Dian diperkenankan untuk memegang ponsel. Semalam, Bibinya bilang akan pergi menjenguk Dian esok hari. Dean memilih mengesampingkan masalah ini dan menunggu telfon berbunyi, dari Dian.

Dean tak ingat persis jam berapa Dian biasa menelfon. Kalau kata Ali, sekitar pukul 12 siang. Itu berarti tinggal hitungan menit lagi. Dean tak sabar untuk meminta maaf dan menceritakan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Juga sebuah fakta yang Dean yakini Dian juga tahu kebenarannya.

Tepat seperti kata Ali, pukul 12 lebih lima menit, ponselnya berdering. Menampilkan nama Dian yang langsung saja Dean jawab dengan senang hati. Tidak seperti biasanya. Dian yang mendapat sambutan sehangat itu sontak bertanya, apakah Dean benar-benar menerima keputusan Dian waktu itu. Dan Dean menjawab, iya.

"Aku seneng banget. Maaf, ya. Maafin aku kalau setelah ini, aku nggak bisa selalu ada di samping kamu. Nggak bisa selalu ada di saat kamu butuh kayak biasa," kata Dian di seberang sana.

Dean menggeleng di tempatnya berada. "Harusnya aku yang minta maaf. Maaf karena telat sadar, maaf kalau selama ini aku nggak dukung pilihan kamu. Maaf, ya."

"Jadi baikan, nih?" Dean hanya tertawa.

Lalu menit-menit berikutnya mereka habiskan dengan saling melempar cerita. Dean juga bercerita tentang hubungannya dengan Ali akhir-akhir ini. Mereka tak lagi sering bertengkar seperti dulu, walaupun Ali tetap sangat menyebalkan tapi hanya dia satu-satunya orang yang bisa menyadarkan Dean kalau sikapnya selama ini salah. Kemudian beralih pada kejadian akhir-akhir ini.

"Aku tau, kamu pasti tau hal ini, kan?"

"Apa? Tau apa?"

"Mama selingkuh."

Dian diam saja di seberang sana. Tidak ada pembicaraan, hanya helaan napas yang Dean dengar. Mendadak semua terasa hening. Sambil menunggu Dian lanjut berbicara, mata Dean mengarah sepenuhnya pada pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Hanya dengan cara itu Dean tahu apakah ada yang menguping atau tidak. Syukurnya sejauh ini tidak ada. Ia hanya berdua bersama asisten rumah tangganya. Dan berharap semoga mama tidak tiba-tiba datang.

"Iya, aku tau."

"Jadi ini alasan kamu pergi?"

"Orang itu yang minta."

"Orang apa? Siapa?"

"Orang itu yang ngasih tau kamu, kan? Dia yang minta aku pergi."

"Hah?"

"Selingkuhan Mama yang minta aku pergi kalau aku mau semua orang termasuk kamu tahu. Sebentar lagi, De. Sebentar lagi semuanya terbongkar. Tolong maafin aku karena nyembunyiin ini semua. Maafin aku, aku nggak punya cara lain selain pergi. Ini alasan utama kenapa aku mau jauh dari kamu. Demi kita, demi Ayah. Aku nggak mau Mama terus-terusan main di belakang Ayah."

Dean diam. Masih terkejut akan fakta yang baru saja ia ketahui. Jadi memang benar, ya. Mama benar-benar selingkuh. Dan karena itu Dian harus berkorban.

"Alasan utama aku buat jauh dari kamu selain itu adalah, aku nggak mau lihat mereka pisah, De. Aku nggak mau. Tapi jauh lebih nggak mau lihat Ayah terus-terusan dibodohi. Aku nggak mau ketika itu semua terjadi, aku harus memilih untuk ikut siapa. Mau nggak mau nanti kita akan dipaksa dan pada akhirnya kita akan tetep pisah. Aku nggak mau itu, De. Jadi tolong, setelah tau semua bersikaplah seperti nggak tau apa-apa. Orang itu udah merencanakan semuanya dengan baik. Kamu tenang aja. Nggak lama lagi, semuanya berakhir, De. Hubungan orang tua kita berakhir. Tapi tolong, ketika semua itu terjadi tetap di samping Ayah. Maafin aku karena aku nggak bisa ada di sana. Maafin aku."

"Kamu udah terlalu jauh berkorban, De. Makasih banyak."

Apa yang Dian takutkan menjadi ketakutannya juga. Dean belum berpikir sejauh itu. Ia juga tak mau kalau kemungkinan buruk itu benar-benar terjadi dan ia terpaksa harus memilih. Bagaimana jika ia dipaksa ikut mama? Bagaimana kalau pria yang mama pilih lebih buruk dari ayah? Dan berbagai macam pikiran buruk lainnya.

Setelah telfon dari Dian berakhir, Dean masih tetap ada di tempat. Memikirkan segala kemungkinan terburuk. Bahkan tak sadar, jika ponselnya kembali berbunyi. Berkali-kali. Hingga pada akhirnya, Dean sadar. Ponselnya menampilkan banyak sekali notifikasi pesan dari nomor tak dikenal.

08**********
Saya kirim semua bukti itu ke Ayah kamu. Gimana? Sudah siap kehilangan Mama cantik kamu?

Dean belum sempat membalas, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka secara kasar. Dean masih diam. Kemudian berlari keluar ketika mendengar suara bentakan kasar.

"Jadi ini yang kamu lakukan selama ini?" Di tengah ruang TV, suara bentakan ayah terdengar keras. "Selingkuh? Dengan pria macam ini? Di mana otak kamu ha?"

Dean diam saja. Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam di ujung ruangan. Sedangkan mama diam tertunduk. Entah merasa bersalah atau justru tengah menahan emosinya.

"Kurangku apa, hah?! Salahku apa sampai-sampai kamu bertindak sejauh ini?! Bukan cuma satu bulan, dua bulan. Lima tahun! Lima tahun kamu khianati keluarga kamu sendiri dengan alasan kerja! Dari awal aku curiga, tapi tetap berusaha percaya."

Dean masih diam. Mendengarkan semua amarah yang ayah luapkan hari itu, selepas ibadah Jum'at.

Dan sejak mama angkat bicara, Dean sudah tak lagi ingin berada di sana. Untuk itu Dean pergi, berlari sekuat yang kakinya bisa. Hingga ia tak lagi mendengar suara menggelegar yang sanggup membuat hatinya patah.

Tidak ada satu anak pun yang ingin kedua orang tuanya berpisah.

Tapi Dean lihat sendiri kalau perpisahan itu sudah ada di ujung mata. Dekat sekali. Atau mungkin saat ini, ketika Dean berlari keluar, mereka sudah benar-benar berakhir. Kendati mulutnya selalu berkata kalau Dean membenci mama, ia benci mama yang telah khianati mereka. Namun mama tetaplah ibu bagi Dean. Telapak kaki mama tetap surga baginya dan juga Dian.

Bolehkan Dean egois kali ini saja. Bolehkah Dean meminta kali ini saja. Biarkan ia pergi bersama Dian. Dan tolong biarkan kedua orang tuanya bahagia. Dengan pilihan masing-masing kendati tak lagi bersama. Sama seperti yang Dian inginkan, Dean tak ingin berada pada sebuah pilihan yang bagi anak manapun merupakan mimpi terburuk mereka.

Dean tidak ingin memilih siapa-siapa, ketika hukum dan agama menyatakan hubungan kedua orang tuanya berakhir suatu hari nanti. Saat ini, Dean ingin pergi, ke tempat di mana Dian berada. Tempat di mana seharusnya mereka bersama.

Meski tanpa orang tua.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top