Bab 12

Malam semakin larut dan Dian masih belum terpejam. Yang ia lakukan sejak tadi hanya melamun, menatap langit-langit kamar. Pikirannya penuh sekarang. Tentang Dean yang masih juga tak ingin berbicara kepadanya. Tentang mama yang berubah sangat jauh. Tentang ancaman orang itu dan juga entang persiapan masuk pesantren yang pasti butuh waktu yang cukup panjang. Dian bukan gadis yang terbiasa memakai baju panjang dan hijab. Baju panjang yang ia miliki masih bisa dihitung dengan jari.

Tadi, ia sempat bertemu mama. Memang, sikapnya tak lagi seperti beberapa waktu lalu. Entah mengapa malam ini mama lebih lembut padanya. Bertanya sudah sejauh apa ia tahu tentang pesantren itu, sejauh apa Dian belajar persiapan tes masuk, bahkan menawarkan Dian untuk pergi bersama membeli perlengkapan lainnya. Dian senang? Tentu.

Sejak Dian tahu mama memiliki hubungan dengan orang itu, mama semakin jauh dari jangkauan. Semakin berubah pula sikapnya. Terkadang lembut, seperti ibu pada umumnya lalu berubah sinis dan pedas omongannya. Dian seperti melihat mama dengan dua kepribadian. Tapi bedanya, mama hanya satu di mata Dean. Mama yang lembut dan penuh perhatian meski sibuk bekerja.

Mungkin Dian belum pernah cerita. Mama bekerja sebagai model pakaian sejak sebelum menjadi istri ayah. Kemudian berhenti ketika hamil sampai mereka berusia tiga tahun. Lalu kembali lagi ke dunia itu hingga saat ini. Meskipun sekarang pekerjaannya melebar. Kadang dipanggil sebagai presenter acara-acara di TV nasional maupun swasta. Kadang menjadi aktris pendukung dalam sinetron maupun film.

Karena itu mama jarang berada di rumah. Pergi pagi dan pulang menjelang tengah hari. Dulu saat Dian dan Dean masih kecil hingga SD kelas 6, mama menyewa asisten rumah tangga. Namun wanita yang sering kali mereka berdua panggil Bibi telah berpulang ke pangkuan Yang Kuasa tiga tahun lalu, Dian merelakan hampir semua tugas itu ia ambil alih. Dan sekarang ia akan pergi.

Dan Dean yang akan menggantikan perannya.

Dian khawatir tentu saja. Bukan hanya pada tugas itu. Selama ini, Dean selalu berada di sisinya begitupun sebaliknya. Mereka banyak menghabiskan waktu berdua. Mulai dari membuka mata hingga tidur kembali, Dean hampir selalu berada di dekatnya. Dan tiba-tiba Dian ingin pergi. Pasti akan sangat berat bagi Dean. Dian sangat memaklumi perlakuan Dean semalam.

Ketika orang itu mengatakan bahwa ia ingin Dian pergi jika ingin semua kelakuan mama di belakang terbongkar, Dian merasa berat tentu saja. Tapi saat memikirkan kembali, mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk mereka. Memutuskan pergi ke pesantren di seberang pulau sana, tentu memudahkan akses Dian untuk menggapai mimpinya berkuliah di Cairo sana. Mengingat banyak sekali alumni-alumni yang berhasil pergi ke sana. Dian hanya perlu berjuang sekuat tenaga, meski itu harus mengorbankan kebersamaannya dengan Dean atau mungkin hubungan mereka ke depan.

Karena lelah, entah sejak kapan Dian tertidur setelah sekian jam hanya melamun menatap langit kamar.

🍀🍀🍀

Pagi mereka berlalu begitu saja. Mama yang berangkat kerja tepat setelah sarapan pagi dan kali ini berdua dengan ayah. Dian diam-diam merasa was-was. Ini mungkin kali pertama mereka berangkat bersama setelah satu bulan lamanya hubungan mereka terlihat merenggang. Dian takut, sungguh.

Dan kini hanya ada mereka berdua di rumah. Seperti dugaannya semalam, Dean sangat marah rupanya. Bahkan hingga detik ini tak ada sapaan yang keluar dari mulut Dean padahal biasanya ia tidak akan berhenti berbicara. Dean juga menghindar tiap kali ada Dian di sana. Seperti misalnya ketika Dian duduk di sofa yang sama dengannya, Dean akan pergi entah ke mana. Saat Dean berada di dapur hendak mengambil snack, dan Dian ada di sana hendak membersihkan dapur Dean akan pergi secepat mungkin.

Dian merasa sangat bersalah sekarang. Hubungan mereka mulai merenggang dan Dian yakin, ini pasti akan bertahan lama.

Dian jadi bingung bagaimana ia akan pergi sebentar lagi. Semalam, ia telah meminta Ali untuk menemaninya berbelanja perlengkapan masuk pesantren dua bulan lagi. Padahal sebenarnya Dian sudah meminta mama berbelanja bersamanya. Ia butuh Ali untuk mengutarakan semua kegelisahan ini. Hanya Ali yang sangat dekat dengannya sekarang. Dan hanya cowok itu yang bisa membuat pikirannya tenang setelah berbicara.

"De, aku pergi bareng Ali, ya. Makan siangnya udah siap tadi. Kalau nggak suka, order aja. Kemungkinan pulangnya agak sore soalnya." Setelah mengatakan itu dengan sedikit gemetar karena gugup, Dian melangkah pergi perlahan. Ia tak sempat melihat bagaimana respon Dean yang saat itu tengah menonton drama.

🍀🍀🍀

"Yakin Dean nggak diajak?"

"Dibilang lagi marah anaknya, nggak percaya banget."

Saat ini mereka telah berada dalam taksi, hendak pergi ke mall terdekat. Ali menggulung kemeja navy-nya sembari terkekeh.

"Lagian kenapa, sih? Kamu udah bilang kalau jadinya ke pesantren?" Dian menggangguk, lalu mengembuskan napas.

"Ceritanya nanti aja. Lagi males sekarang."

"Aku udah bilangin dia, harus rela apa pun keputusan kamu karena memang itu hak kamu. Tapi ternyata dia jauh lebih keras kepala dari yang aku duga."

"Karena itu kalian nggak pernah bisa deket. Keras kepala diadu sama yang jauh lebih keras kepala, hancur." Ali terkekeh lagi.

"Dia nggak asik, kerjaannya kesel mulu. Kalau nggak gitu ngomel mulu. Siapa juga yang betah kalau dia kayak gitu terus."

"Heh, gitu-gitu dia juga saudara kembar aku."

Perdebatan anak kecil yang sebenarnya tak penting itu turut membuat bapak supir taksi tersenyum karenanya.

🍀🍀🍀

"Heh, katanya mau beli baju kenapa malah nyasar di sini."

Ali memandang sekitar dengan tatapan malas. Mereka tengah berada di starbuck sekarang. Padahal awalnya, Dian mengatakan ia ingin melihat outlet baju muslimah. Ali juga heran sebenarnya, Dian ini saking nggak punya temen lagi malah mengajaknya yang notabene seorang cowok ke outlet pakaian muslimah. Ali kan kurang tahu bagaimana selera remaja-remaja cewek sekarang. Apalagi Dian yang memang jarang sekali terlihat berhijab meski pakaiannya mulai tertutup sejak tiga tahun lalu.

"Pengen aja beli kopi mahal."

"Bilang aja pengen cerita." Dian mengangguk saja. Toh, memang benar ia ingin bercerita.

"Jadi menurutmu, gimana sama keputusanku yang kali ini? Berlebihan nggak, sih? Dean sampe marah kayak gitu."

Ali menyesap kopi pesanannya. "Nggak. Kalau memang Dean pengen kalian bareng-bareng terus, ya dia ikut kamulah. Udah dibilang dia keras kepala. Dia mau sekolah di sini, tapi harus sama kamu. Sedangkan kamu punya pilihan lain yang mungkin bisa bantu kamu buat jadi manusia lebih baik lagi. Aku memang nggak tau gimana rasanya punya saudara karena memang aku anak tunggal. Aku nggak tau, tapi aku yakin Dean bisa hidup tanpa kamu kalau dia mau usaha lebih mandiri."

Dian hanya diam dan pelan-pelan menyesap minuman yang ia beli.

"Tapi btw, aku penasaran gimana penampilan kamu kalau pakai hijab. Pasti lebih cantik."

Di detik itu juga, Dian terbatuk.

🍀🍀🍀

211220

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top