Bab 11

Hari wisuda mereka berjalan seperti biasa. Duo D itu ditemani mama sepanjang acara. Mulai dari pembukaan hingga penghargaan peringkat pararel bahkan penutup. Dian berhasil meraih peringkat kedelapan paralel. Meski tidak mendapat posisi pertama, Dian bahagia luar biasa.

Dan antusiasme para siswa yang diwisuda hari ini membuat Dean melupakan satu hal. Hari di mana Dian akan menyatakan keputusannya setelah hampir satu bulan lamanya, Dean berusaha membujuk dengan berbagai cara.

Dean sebenarnya positif thinking saja. Ada kemungkinan Dian berubah pikiran. Meski itu kecil. Dean memutuskan untuk fokus pada acara hari ini saja. Setelah acara selesai, mama pamit lebih dulu dan membiarkan anak-anaknya bersenang-senang bersama teman mereka.

Seperti saat ini, Dean tengah sibuk berfoto bersama teman-teman sekelasnya. Berbeda dengan Dian yang hanya ikut-ikut saja. Ketika disuruh berfoto bersama, ia ikuti. Namun ketika Dean bersama teman-temannya, Dian hanya duduk memandangi berharap Ali yang katanya sedang membeli air mineral segera datang. Ia merasa sendirian di tengah hiruk-pikuk kebahagiaan mereka.

Hanya butuh waktu lima menit, Ali kembali. Membawa tiga buah botol air mineral dingin.  Lalu menyerahkan kepada Dian yang langsung saja ia terima.

"Gimana? Udah dapet jawaban?" Dian mengangguk.

"Minggu lalu nanya Bibi, katanya daripada sekolah asrama mending ke pesantren aja. Kemaren udah diskusi sama Mama juga, dibolehin."

"Di mana? Madura?"

"Iya, peluang ke Cairo lebih besar. Udah banyak yang ke sana juga. Plus deket sama rumah Bibi. Jadi tetep ada yang bisa jenguk tiap bulan."

"Dean gimana?"

Dian terdiam. Kemudian menunduk. Dean adalah satu-satunya orang yang akan menentang dengan sangat keras. Bahkan mungkin reaksinya jauh lebih menakutkan dibandingkan reaksinya waktu itu. Dian bimbang. Satu-satunya hal yang buat ia berat untuk pergi hanya Dean. Namun jika tidak segera bertindak, semua akan jauh lebih buruk. Dian memilih lebih baik menghadapi Dean yang marah besar dibanding terus merasa dipermainkan.

"Nggak papa, ini hak kamu buat pergi ke mana pun yang kamu mau. Hak kamu buat sekolah ke tempat mana pun. Dean mungkin bakal marah besar, tapi perlahan dia bakal paham. Nggak selamanya kalian bareng-bareng terus."

Dian mengangguk.

"Kamu lanjut mana?"

"SMK."

"Multimedia?"

"Yap, kok kamu tahu? Padahal belum pernah cerita."

Dian tertawa kecil. Ini mudah saja baginya menebak kemauan Ali. Sejak dulu memang cita-citanya ingin menjadi seperti Chanyeol EXO. Biar serba bisa katanya.

"Udah ketebak kali. Semoga kita sama-sama sukses, ya."

Ali terkekeh lalu memandangi Dian dari samping. Sahabat kecilnya ini sebentar lagi akan pergi jauh. Mengejar cita-citanya. Ali akan jarang bertemu dengannya, menghabiskan waktu bersama seperti biasa. Akan susah pasti pada awalnya, tapi ia yakin semua akan baik-baik saja dan akan berlalu begitu saja. Mereka sama-sama tengah berjuang menggapai mimpi masing-masing. Ali hanya bisa bersabar dan berharap waktu akan kembali mempertemukan mereka.

"Foto bareng, yuk. Anggap aja foto terakhir kita."

Dian mengangguk. Lalu merapatkan badannya dengan Ali kemudian mengambil foto bersama.

🍀🍀🍀

Mereka kembali berkumpul bersama. Ini mungkin kali pertama mama ikut bergabung makan malam bersama mereka dalam satu bulan. Berhubung mama ijin dan menghabiskan waktu bersama anak-anaknya setelah pulang dari wisuda tadi. Dean masih asik menceritakan perihal ia dan teman-temannya yang tak lagi bisa bersama. Ada yang memutuskan untuk pergi ke pesantren, ada yang bersekolah di kota yang berbeda dan lainnya. Sedangkan ayah sedang berbicara dengan Dian, bertanya bagaimana rasanya berada dalam 10 besar peringkat paralel dan Dian hanya menjawab apa adanya.

Jujur, ia masih gugup sekarang. Ini saatnya untuk mengatakan kalau ia berubah pikiran. Namun buat untuk tetap berada di sini, melainkan pergi lebih jauh. Ia sudah berbicara dengan mama tadi dan mama setuju. Meskipun dengan syarat Dian jangan sering kembali.

Dian masih tak mengerti mengapa mama bisa berbuat sejauh ini. Kalau memang berada di sini hanya membuatnya tidak bahagia seperti apa yang ia katakan, mengapa tidak pergi dari dulu saja. Mengapa harus bermain api seperti ini? Lagi pula Dian pikir, mereka bisa hidup aman dan damai tanpa mama. Meski rasanya akan sulit di awal. Tapi lebih baik seperti itu, bukan?

Dian mulai melamun. Ia masih diam saja saat ayah kembali bertanya. Hingga membuat Dean menyenggol lengannya baru kemudian Dian tersadar. Mama, ayah dan Dean menatap Dian serius seperti menanti jawaban.

"Ya?"

"Jadi, kamu memutuskan sekolah di mana? Dean sudah cerita, katanya dia minta kamu buat memikirkan semua. Jadi jawabannya?"

"Kemarin aku cerita sama Bibi Iin. Katanya lebih baik masuk pesantren aja. Jadi aku mutusin buat masuk pesantren dekat rumah Bibi Iin. Boleh kan, Yah?"

"Al-Amin 2?"

"Boleh aja asal kamu mau dan tanpa paksaan."

Mendengar percakapan ayah dan saudara kembarnya, Dean diam saja. Terkejut? Tentu saja. Dean tak pernah menyangka keputusannya untuk memberi Dian waktu lebih lama justru membuat Dian lebih jauh lagi.

Dean ingin marah, tapi tak bisa. Ada kedua orang tua mereka di sana yang bahkan terang-terangan mendukung keinginan Dian.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Dean meninggalkan meja makan. Bahkan makanannya belum sempat ia habiskan. Dean kecewa. Mungkin sangat kecewa hingga tak mampu berkata-kata.

Melihat Dean pergi begitu saja, tentu Dian ingin menyusul. Tapi ayah menahannya. "Dean gimana, Yah?"

Ayah tersenyum saat itu. "Nggak pa-pa, mungkin cuma terkejut aja. Ini hak kamu kok. Kalian nggak bisa terus-menerus bareng. Nanti Ayah coba kasih pengertian. Mungkin awalnya memang susah, tapi nanti bakal terbiasa kok."

Dian mengangguk. Berharap semoga sang ayah bisa membantunya berbicara dengan Dean nanti.

Dean mengunci kamar. Mereka berusaha untuk membuat Dean keluar tapi hasilnya nihil. Dean sama sekali tidak ingin membuka pintu. Ayah berkali-kali mencoba berbicara kalau Dean tidak bisa memaksakan kehendaknya. Dian punya hak untuk sekolah ke mana saja dan Dean tidak berhak melarang meski hal itu membuatnya kecewa. Mama juga mengatakan hal yang hampir sama sedangkan Dian masih diam saja.

Beberapa saat setelahnya ayah menghela napas panjang, lalu merangkul Dian. "Besok kita coba bicara lagi, ya. Dean mungkin butuh waktu sendiri. Kamu nggak papa tidur di kamar tamu?" Dian mengangguk. Tapi dalam hati, ia ingin sekali berbicara empat mata dengan adiknya itu.

"Sabar ya, sayang. Besok mungkin Dean mau bicara. Kamu tenang aja." Mama ikut menenangkan, namun Dian justru tidak merasa tenang sama sekali.

Dua orang dewasa itu kemudian meninggalkannya di depan pintu kamar. Mungkin ini saatnya ia berbicara, meski terhalang pintu di depannya.

"Aku tau kamu marah banget. Tapi tolong, ini bukan cuma karena aku yang mau mengejar cita-citaku. Mungkin belum saatnya kamu tau sekarang. Tolong ingat, ketika saat itu datang kamu akan paham mengapa aku pengen banget meninggalkan rumah sesegera mungkin. Maafin aku. Selamat malam, De. Jangan nangis."

🍀🍀🍀

211220

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top