Bab 1
Dua anak kecil berusia kurang dari tujuh tahun itu menatap dirinya masing-masing di kaca lemari di depan mereka. Mengamati pakaian mereka yang lagi-lagi serupa, hanya berbeda warna. Mama selalu berusaha untuk membelikan baju kembar untuk mereka berdua yang memang sepasang anak kembar.
"Baju kamu warna merah, punya aku pink. Nggak suka." Dean yang saat itu dipakaikan baju berwarna merah muda menggeleng pelan. Ia tidak menyukai warnanya.
"Kamu suka merah?" Saudara kembarnya, Dian, bertanya.
Dean mengangguk beberapa kali. Terlihat jelas di matanya baju berwarna merah yang Dian pakai menarik minat. Dean memerhatikan Dian yang tingginya sedikit lebih kecil darinya itu berjalan pelan menuju pintu kamar, lalu menutupnya.
"Jangan bilang Mama, kita tukeran, yuk."
Mata Dean berbinar, lantas segera mengangguk. "Emang boleh? Nanti Mama salah manggil lagi." Tiba-tiba ia meragu. Matanya tak lagi berbinar seperti beberapa saat lalu.
Melihat adiknya merasa takut, Dian merangkul pundaknya. "Nggak papa. Nanti aku bilang Mama, Dean nggak suka pink. Biar baju aku yang warna merah dituker. Oke?" Gadis kecil itu mengangguk pelan, lalu membuka bajunya. Dian pun melakukan hal yang sama.
Sesaat setelah menukar baju, mereka menatap pantulan diri di cermin lagi. Lalu Dean tertawa, ia terlihat puas menatap dirinya di kaca sana. Merah memang benar-benar sangat cocok untuknya. Dan Dian pun terlihat bagus saat memakai baju terusan berwarna pink itu. Tangan Dean terangkat, kemudian disambut oleh Dian. Mereka tertawa kecil sebelum akhirnya melangkah keluar, menghampiri mama yang telah memanggil mereka berdua.
🍀🍀🍀
"Nanti Mama salah manggil lagi gimana?" Dean masih dengan ketakutan yang sama sejak mereka memutuskan menukar baju mereka.
Dian menggeleng. Nanti, saat mama salah memanggil mereka, ia akan berteriak kalau mama salah. Dian juga sebenarnya heran, mengapa mama suka sekali salah memanggil mereka. Padahal ayah saja sudah bisa membedakan mana Dian dan mana Dean.
Mereka berdua sangat berbeda. Dari wajah mungkin tak ada yang berbeda dari mereka berdua. Namun dilihat dari tingkah, Dean lebih aktif dibanding Dian yang lebih suka diam daripada bermain. Dean suka bermain, tapi lebih banyak takut di saat yang bersamaan. Dean sangat suka bermain saat Dian ada, meski hanya diam menunggunya bermain atau hanya diam menuliskan sesuatu di tanah menggunakan ranting pohon. Dean juga lebih banyak berbicara dibanding Dian. Dan sayangnya, mama masih belum bisa membedakan mereka berdua.
Saat Dian diam dan hanya melihat saudara kembarnya bermain, mama akan memanggilnya Dean. Mama sering kali keliru memanggil mereka berdua. Mungkin karena terlalu sibuk bekerja, mama jadi lupa. Dian sebenarnya ingin sekali mama menyebut nama mereka dengan benar. Mungkin ia harus menemukan sesuatu yang berbeda dengan saudara kembarnya. Ia tak ingin dipanggil Dean lagi. Dan Dean pun sama.
Dian menatap saudara kembarnya yang masih diam di sampingnya. Ia mengangkat dagu Dean lalu menatapnya intens. Dean yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam. Bingung apa yang sedang dilakukan oleh Dian.
"Kamu lihat ada tahi lalat di dekat alisku?" Dean kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Dian, mencari tahi lalat yang tadi ditanyakan.
Dean menggeleng pelan. "Adanya di sini, bawah bibir, tapi kecil." Ia menunjuk bagian bawah bibir Dian pelan. Memang ada satu titik hitam kecil di sana.
Dian tersenyum, akhirnya ia mengetahui perbedaannya dengan Dean. Walaupun kecil, mungkin mama bisa membedakannya.
"Nanti aku bilang Mama. Kamu nggak usah takut, oke?" Dean hanya mengangguk saja.
"Twins sudah siap? Kita berangkat ke rumah nenek sekarang." Ayah tiba-tiba membuka pintu mobil di samping kanan Dian, lalu mengusap pelan puncak kepala kedua putrinya.
"Siap laksanakan, Ayah!" ucap mereka serempak.
"Ini Mama simpen buat makan di jalan, ya. Dean pegang snacknya." Mama malah menyentuh tangan Dian, bukannya Dean seperti yang diucapkannya. "Dian pegang airnya, oke?" Dan malah meminta Dean untuk memegang botol air minum berukuran sedang itu.
Ini yang Dian maksud. Mama sering kali salah mengira mereka. Ia kesal tentu saja. Sebelum mama menutup pintu mobilnya, Dian menahan lengan mama.
"Ma, aku Dian. Di sini ada tahi lalat. Dean di atas alis kanan. Mama jangan lupa lagi, ya," kata Dian sembari menunjuk tempat tahi lalat mereka masing-masing.
Mama terlihat terkejut. "Ya ampun, maafin Mama karena salah ngira ya, Nak." Lalu mama menatap wajah masing-masing dari mereka seraya tersenyum. "Besok, Mama nggak akan lupa lagi mana Dian mana Dean. Maafin Mama ya, Nak."
Dian tersenyum senang.
Sejak saat itu, mama tak pernah lagi salah memanggil nama mereka.
🍀🍀🍀
"Mama nggak ada. Kita harus bagi tugas bersihin rumah pokoknya."
Dian mengangkat alisnya? Dean lagi bercanda? Sejak kapan saudara kembarnya itu peduli dengan kebersihan rumah? Selama ini ia dan sang ayah lah yang berkoordinasi mengurus kebersihan rumah saat mama sedang bekerja.
"Sejak kapan?"
"Apanya sejak kapan?"
"Sejak kapan kamu mau bersih-bersih?"
Dean menghela napas. Salahnya memang sejak dulu enggan mengurus urusan bersih-bersih rumah kecuali membersihkan kamar.
"Sejak beberapa detik yang lalu."
"Curiga, nih." Dian bangkit dari kursi, lalu mengambil beberapa cemilan milik Dean di atas kasurnya.
"Aku tuh kasihan sama kamu beres-beres rumah sendiri."
"Alah, biasanya juga nggak peduli."
"Kan kita udah bagi-bagi tugas. Aku bersihin kamar, kamu bersihin rumah. Karena menurut aku nggak adil, kasihan kamunya. Jadi kita bagi tugas aja. Kamu nyuci piring aku nyapu rumah. Gimana?" Mendengar cerocosan adiknya, Dian segera menghampiri Dean.
Menyentuh dahinya serta meneliti bagian kepala baik-baik. Curiga adiknya kepentok meja atau apa, sampai-sampai Dean mau membagi tugas membersihkan rumah seperti ini.
"Apaan, sih?"
Dian menggeleng, lalu kembali duduk di kursi belajarnya. "Kirain kepentok apaan sampe tiba-tiba kayak gini."
"Orang serius juga. Jadi gimana?"
"Oke deal. Setuju. Lagian kamu udah hampir 15 tahun, masa nggak mau bantu-bantu? Udah Mama makin sibuk, jarang di rumah. Ayah juga kerja."
"Iya, iya. Maaf. Yang kemaren tuh gara-gara kebanyakan setan di sini, makanya males. Khilaf. Sekarang udah nggak. Janji deh, nanti bantuin beres-beres. Nggak nyapu doang, nyuci juga."
"Anak kecil nyuci sendiri juga bisa, orang pake mesin cuci."
Dean dengan wajah dibuat nelangsa menatap Dian yang saat itu memandanginya heran. "Iya, kakakku sayang. Maafkan saudara kembarmu ini, ya. Nanti nggak kayak gitu lagi. Janji."
"Ketempelan di mana?" Dian malah tertawa melihat sikap sok manis adiknya.
Siapapun juga pasti tidak akan mengerti jika mempunyai adik seperti Dean. Sudah anaknya pemalas, jarang bebersih, tahunya cuma ngegosip ria sama temen-temen nggak jelasnya itu. Dian juga paham, anak itu begini pasti sedang ada maunya. Lihat saja nanti.
🍀🍀🍀
Madura, 280820
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top