Dear Brother

' · . • ° 。 ✧ 。 ° • . · '

Suara ledakan kembali menulikan sejenak telingaku. Tubuhku terasa terlempar mundur, lalu mengenai permukaan keramik hancur. Tidak begitu sakit.

Ya, tidak begitu sakit.

Karena tubuh besar Kiro melindungiku. Ah, sebenarnya dalam wujud Helios.

"Kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk pelan, bangkit untuk duduk tanpa suara. Aku menepuk-nepuk coat putih Kiro yang kotor kena debu. Tangannya segera mengulur ke ketiakku, menyuruhku berdiri.

Kiro menggandeng erat tanganku, berjalan setengah berlari. Di tangan kanannya terdapat senapan laras pendek model lama. Ku perkirakan pembuatnya tergila-gila dengan perang dunia pertama.

"Kau harus pergi secepatnya dari sini."

"Gege?"

"Gege akan menyusul."

' · . • ° 。 ✧ 。 ° • . · '

tempurashin present

Dear Brother

Mr. Love Queen Choice © Elex

[B-Project © MAGES]

Story © tempurashin

Typo, AU, OOC, rancu

SPOILER ALERT!! [walaupun ga seluruhnya]

' · . • ° 。 ✧ 。 ° • . · '

Tidak. Aku menggeleng kuat-kuat. Sudah berapa kali dia bilang seperti itu? Ini sudah tiga tahun semenjak Kiro menghilang untuk melenyapkan seorang evolver dari Black Swan di Menara Loveland.

Mereka, Black Swan mengincarku. Sejak dahulu.

Dan Kiro menyusup dengan berada di pihak mereka. Namun, kali ini kemungkinan menjadi kali terakhir Kiro bisa mengorek informasi soal mereka.

Soal diriku dengan gen istimewa.

Beberapa kali Kiro menarikku saat bunyi tembakan meletus dan kian mendekati kami.

Aku bisa merasakan kelegaannya begitu menemukan pemukiman kosong. Kiro diuntungkan karena bisa bertarung secara gerilya, sembunyi-sembunyi.

Deru napasku memberat. Kedua kakiku lemas, seperti mudah jatuh jika salah mengambil langkah. Jika aku memboros tenaga, pemukiman itu menjadi tempat terakhir kami bisa sembunyi.

Kami bersembunyi di salah satu bangunan tua yang kurasa toko mainan--dulunya. Aku meraup napas banyak-banyak, mendongak pada langit-langit yang kiranya rapuh dan mudah jatuh kapan saja.

Di sebelah pintu yang-nyatanya-tidak-ada-pintunya, Kiro siap dengan pistolnya. Matanya terlihat tajam, seperti pertama aku melihat sosok Helios.

Tapi dia Kiro, Kiro-gege. Kakakku.

"Ge ...," panggilku kepayahan. Entah Kiro bisa mendengarnya atau tidak, tetapi dia akhirnya menoleh ke arahku.

Aku jatuh terduduk. Kiro nampak terkejut, jadi mendekatiku. Ia meletakkan senjatanya. Tangan besarnya mengarah ke jidatku, mengelusnya ke belakang. Ia tersenyum lembut.

"Sebentar lagi, ya? Gege janji belikan pabrik keripik kentang setelah keadaan membaik."

Tidak. Aku kembali menggeleng.

Aku tahu dia sedang bercanda, tetapi situasi sekarang sedang tidak memihak pada candaannya.

"Sampai kapan? Gege selalu janji akan pulang, akan ini, akan itu. Kalau begini, aku lebih memilih menyerahkan diri lalu menusuk mereka dari belakang."

Kiro diam. Mulutnya mengatup rapat. Meski remang-remang, aku bisa melihat rahangnya yang mengetat kuat. Pandangannya turun, sepertinya sibuk memikirkan sesuatu.

Kiro marah, aku tahu.

Kiro menjauh, mencari sesuatu.

"Gege, serahkan aku kepada mereka. Itu satu-satunya cara."

"Diam!"

Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar geraman setengah berteriak. Gege benar-benar pada batasnya.

Karena aku.

Andai saja aku tidak lemot memahami sesuatu, sudah pasti kami tidak akan di sini dalam posisi terjebak. Andai saja aku tahu memang tidak ada yang beres di kota ini, sudah pasti kami pindah ke tempat yang jauh dan lebih aman.

Andai saja ... aku tidak dilahirkan ...

"Maaf."

Aku mengedipkan mata karena pandanganku memburam, melihat Kiro yang kembali berada tepat di depanku. Seketika itu juga aku merasakan basah di pipiku. Aku menggigit bibir, menahan suaraku keluar.

Aku menekuk kedua lututku, menyembunyikan wajah jelekku di kedua lenganku di atas lutut. Semua kejadian ini tidak pernah ada dalam pikiranku. Kejadian aneh, penyakit misterius, kota yang hancur.

Sama sekali tidak pernah.

Aku merasakan elusan tangan di kepalaku. Aku memberanikan diri mengangkat kepala, melihat Kiro yang tersenyum ... lembut. Elusannya berhenti, berganti menghapus jejak air mataku. Aku menahan napas saat merasakan sesuatu yang-lembut-tapi-tidak di kakiku.

Itu ... boneka beruang? Di mana Kiro menemukannya? Ah ya, ini toko mainan.

"Aku menyerah dengan tangisanmu. Oke? Tunda dulu. Setelah kau terbebas--"

"Kita!"

"Iya, iya. Setelah kita terbebas, kau baru boleh menangis lagi. Janji?"

Aku menggeleng kuat-kuat. Wajahnya terlihat kebingungan. Apa peduliku? Kiro hanya mau melakukan hal yang sama demi membebaskanku ... lagi. Berapa kali lagi? Belasan?

Kiro mengangkat boneka beruang itu, memberikannya padaku. Boneka itu kotor, bulu cokelatnya kusut. Terdapat jahitan di kepala sebelah kanan, sedangkan kelereng matanya hilang satu.

"Di sini terdapat pelacak yang bisa masuk ke radar bala bantuan kalau kunyalakan. Tapi juga bisa masuk ... ke radar mereka."

Aku diam, mencerna tiap kata yang disuarakannya.

Kiro kembali melanjutkan. "Saat di jalan besar, kita lari ke arah timur, tempat bala bantuan datang. Kalau nanti kubilang 'lari', kau harus lari. Jangan melihat ke belakang. Pakai kalungku."

Perasaanku menjadi tidak enak saat Kiro mengatakan 'kalungku'. Aku ingin protes ketika ia melepaskan kalung tanda pengenalnya, tetapi tubuhku masih lemas untuk memberontak. Rantai kalung itu menggelitik leherku.

"Gege?"

"Tentu saja menjalankan tugas, kan?" Kiro tersenyum, tapi terasa berbeda.

Tangan besarnya mengelus kepalaku. "Aku harus melindungi adik kesayanganku ini." Dia menarik hidungku, tapi tidak benar-benar sakit.

"A-aku juga harus melindungi Gege. Setidaknya, kali ini ..."

Gege menutup matanya, mengembuskan napas panjang. Kedua tangannya memegang pundakku, erat.

"Kau ini mau dibelikan pabrik keripik kentang tidak? Kau harus hidup. Cari Savin dan minta dia mengembalikan dompetku. Aku menyimpan banyak uang di kartu-kartu yang ada di dompet. Gunakan untuk kabur sejauh mungkin. Lupakan Kota Loveland. Lupakan teman-temanmu. Lupakan semua kehidupan di sana. Kau-harus-hidup,"

"Setelah keadaan membaik, kita pasti akan bertemu lagi. Dan aku tentunya harus sudah punya pabrik keripik kentang."

Aku menggeleng. Aku menutup mataku saat menahan air mata yang ingin keluar lagi. Aku bisa mendengar Kiro yang mengembuskan napas panjangnya.

"Satu-satunya cara kau bisa melindungi Gege hanya itu. Kau hidup, maka kau menyelamatkan Gege dari kutukan Ayah."

Dentuman besar kembali terdengar. Wajah Kiro berubah serius. Ia mengambil coat putih yang disampirkan di punggungku. Kiro juga melepas jas hitamnya, menggantikan fungsi coat tadi.

"Ayo. Kita harus menyelesaikan ini."

Aku berdiri ditarik olehnya.

Kami ... keluar dari persembunyian.

Kiro bersiul, sengaja memanggil para pengejar kami. Kami segera berlari, mencari jalan besar yang sebelumnya kami lewati.

Kami sampai di jalan besar. Kiro terus memanggil-manggil mereka sembari menghindari lesatan peluru. Aku sebisa mungkin mengikuti gerakannya.

Aku tahu badanku menuju batasnya, tetapi melihat Kiro yang gigih membawa kami kabur seakan memulihkan semangatku.

Dor!

"Gyaa!"

Aku tersandung dan jatuh ke tanah. Kaki kiriku sakit sekali, seperti mati rasa. Kiro langsung membopongku dan lanjut berlari. Tanganku melingkar erat di lehernya, takut jatuh. Dari balik pundak lebarnya, beberapa pria berpakaian serba hitam mengejar kami dan menodongkan senapan.

"Jangan lihat ke belakang. Lihat Gege, atau tutup matamu." Kiro berbisik padaku.

Aku memilih menutup mataku. Kalau aku melihat Kiro, yang ada air mataku keluar lagi.

Sejak kecil kami berpisah. Aku dengan Ayah, Kiro dengan orang tua asuhnya. Tapi ia sangat baik denganku, meski kami akhirnya menyembunyikan status saudara karena pekerjaannya. Kiro kadang menarikku pergi dan bersembunyi dari kejaran Savin.

Oh ya, Savin apa kabar? Apa ia membuat brankas untuk semua makanan ringan yang dibeli Kiro diam-diam?

Kiro melambatkan larinya. Tubuhku terasa melayang turun; didudukkan di tanah.

Aku segera membuka mataku. Pandanganku segera menemui punggung lebar Kiro yang membelakangiku. Ia berlutut dengan satu lutut yang menumpu di tanah, mengacungkan pistolnya yang tak sebanding dengan senapan lengkap orang-orang yang mengejar kami.

Kami rupanya sampai di ujung permukiman mati. Aku menengok ke belakang, melihat hamparan tanah lapang tanpa peneduh berupa pohon. Aku juga melihat matahari yang perlahan akan terbit.

"Helios, menyerahlah. Queen harus kembali hidup-hidup tanpa terluka sedikitpun."

Aku tak tahu bagaimana reaksi Kiro mendengar itu, tapi aku mendengar kekehannya.

"Bagaimana kalau aku membunuhnya?"

...

Hah?

"Aku bisa memerintah kalian seperti dia. Aku juga lebih terampil menggunakan senjata daripada dia. Mengapa kalian tidak menjadikanku pemimpin kalian saja?"

Aku menggapai lengan Kiro, meminta penjelasan. Ia hanya menengok ke samping, tanpa melihatku. Kiro kembali memandang pada anak buah Black Swan yang kuhitung semakin banyak.

"Lihat! Dia bahkan bersembunyi di punggungku. Dia bahkan tidak sudi memimpin kalian, malah memilih kabur dengan kakaknya,"

"Ge--"

"Ah, aku kasihan dengan adikku yang dipaksa untuk memimpin anjing-anjing liar seperti kalian."

Aku menggenggam tangan Kiro yang terulur bebas. Ia merespon dengan meremasnya lembut.

Kemudian, aku merasakan tarikan dari bawah bumi yang kuat. Bangunan-bangunan perlahan meluruh ke tanah, seperti meleleh.

Aku melihat Black Swan--singkatnya--yang terdiam seperti patung.

"Bahkan tanpa kusentuh maupun kusuruh pun kalian sudah diam seperti patung. Lucu sekali. Kalau kalian mau membawa adikku, langkahi dulu mayatku!"

Kiro bangkit, menarikku lembut agar ikut berdiri. Ia mengelus kepalaku lembut, lalu berhenti tepat di ubun-ubun.

"I command you,"

"Gege, jangan!"

Kedua iris Kiro berubah sewarna emas, berkilau dan ... basah? Kiro menangis?

Tanganku tak mampu bergerak, begitupun seluruh anggota gerakku.

... kumohon, jangan lagi ...

"Larilah secepat mungkin ke timur. Jangan pernah melihat ke belakang."

Aku tidak benar-benar sadar, tetapi pipiku kembali basah. Kiro tersenyum lembut, seperti saat di toko mainan tadi. Ia mengusap pipiku, lalu turun hingga akhirnya menggenggam pundakku.

Ia mengangguk, melepaskan tangannya.

"Gege ..."

Ia kembali mengangguk. "Kau akan baik-baik saja. Gege akan selalu melindungimu."

Kakiku tiba-tiba berjalan menjauh tanpa bisa dicegah. Entah sejak kapan aku mampu berlari secepat ini. Kepalaku pun tak mampu menengok ke belakang, meski hanya untuk memeriksa keadaan Gege.

Air mataku jatuh lagi. Aku mendengar pertempuran tak imbang itu. Jerit kesakitan, rentetan peluru, suara bangunan yang runtuh.

Aku juga mendengar teriakan Kiro. Penuh amarah dan kesakitan.

Aku harus segera sampai di bala bantuan! Demi diriku, demi Kiro!

Aku merasakan pengaruh Kiro yang mulai memudar. Kakiku seperti nyaris mati rasa. Pandanganku memburam. Sedang napasku memberat.

Tapi kupaksakan terus berlari.

Lambat laun, aku mendengar suara helikopter yang terbang rendah. Aku juga melihat kumpulan debu yang terbang mendekat.

Aku berhenti, melihat lebih jelas wujudnya. Aku mengepalkan kedua tanganku, mengambil napas dalam-dalam.

"GEGE!!"

Aku berteriak sekeras yang kubisa. Kakiku mati rasa; kaku hingga tak mampu bergerak sedikitpun. Kelopak mataku memberat, seakan aku tengah mengantuk.

... lalu semuanya

... menggelap.

' · . • ° 。 ✧ 。 ° • . · '

Aku lupa menghitung berapa lama waktu yang kugunakan semenjak peristiwa itu. Seperti yang pernah 'ia' suruh, aku mencari Savin. Tapi tidak dengan barang-barangnya; aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan. Pria melihatku dengan iba saat aku datang ke rumahnya.

Savin membantuku menghilang dari peradaban di kota. Ia juga orang terakhir yang kutemui sebelum pergi jauh.

Sangat jauh.

Sampai seorang pria berumur menemukanku tengah meringkuk di dekat perahu nelayan. Pria baik hati yang membawaku ke rumah kecilnya.

Di ambang pintu, aku melihatnya. Sosok pemuda berwajah teduh yang memandang lurus ke arahku.

"Kazuna-kun, ayo sapa dia. Sekarang dia adikmu!"

Senyum lembut itu muncul, sekilas sama seperti'nya'. Pemuda itu mendekat, menaruh tangannya di puncak kepalaku dan bergerak ke belakang.

"Selamat datang. Panggil aku Aniki mulai sekarang."

Kurasakan pipiku basah. Pandanganku memburam oleh air mata. Ia terlihat kebingungan, persis seperti sosok yang kurindukan. Aku memeluknya erat, menumpahkan tangisku.

"... Aniki."

' · . • ° 。 ✧ 。 ° • . · '

End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top