23. Dia Telah Berubah
🌷🌷🌷
Hari ini Atlas berangkat ke kantor seperti yang sudah dia bicarakan dengan Anin tadi malam. Berkali-kali Atlas mengirim pesan pada Anin agar sang istri tetap beristirahat sampai dia kembali ke rumah.
Tidak hanya Anin, asisten rumah tangga mereka pun telah berkali-kali Atlas peringatkan untuk memantau Anin dengan ketat.
Atlas bertenti di lampu merah. Dia melihat beberapa anak kecil yang sedang mengamen di pinggir jalan. Bahkan Atlas melihat ada beberapa ibu-ibu yang tega membawa anaknya yang masih bayi untuk mencari uang.
Hati Atlas terasa nyeri, dia tidak bisa membayangkan bagaimana bayi sekecil itu harus menghadapi dunia yang pahit.
Seorang perempuan mendekati mobil Atlas, dia mengetuk-ngetuk pintu mobil Atlas dengan pelan.
"Mas, mau beli tissuenya?"
"Satunya berapaan, Bu?"
"Sepuluh ribu aja, Mas. Mau beli air mineral juga?"
"Iya, boleh. Saya beli tissue satu sama mineralnya satu ya."
Ibu itu tersenyum. Dia bergegas memberikan apa yang Atlas minta.
Atlas mengeluarkan dompet dan mengambil uang ratusan sebanyak tiga lembar. Setidaknya ini bisa membantu perempuan itu keluar dari kesulitannya untuk memenuhi kebutuhan bayinya hari ini.
"Lho, Mas. Ini kebanyakan."
"Nggak apa-apa, Bu. Anggap ini rezki buat anak ibu. Ngeliat anak ibu, saya jadi kepikiran sama anak saya yang masih dalam kandungan istri saya."
"Ya Allah, Mas. Makasih banyak, ya. Akhirnya hari ini anak saya bisa beli susu. Saya doain semoga calon bayi dan istri Mas sehat. Lahirannya lancar dan semoga rezkinya selalu berlimpah."
Air mata perempuan itu berderai. Dipeluknya bayi yang baru berusia empat bulan itu dengan erat.
"Aamiin, Bu..."
"Terimakasih, Mas. Terimakasih kasih." Ucap perempuan itu dengan tangisan hati. Lagi-lagi Atlas hanya bisa tersenyum.
Padahal baginya yang sebesar tiga ratus ribu itu tidak berarti apa-apa. Tapi ketika dia memberikan uang itu pada orang yang membutuhkan, uang itu malah terlihat sangat besar bagi mereka.
Atlas mengembuskan napas, lampu hijau kembali menyala. Pelan-pelan Atlas kembali melajukan mobilnya lagi.
Braak!!!
Atlas refleks menginjak rem secara mendadak, tubuhnya baju ke depan lantaran mobil berhenti secara mendadak
Jantung Atlas berdentum kencang, apa barusan yang terjadi?
Dia menabrak seseorang kah?
Cepat-cepat Atlas turun dari mobil. Dia melihat seorang perempuan tersengukr tepat di depan mobilnya. Motornya juga terpental sejauh beberapa meter.
Buru-buru Atlas membantu perempuan itu untuk berdiri, beruntung dia mengemudikan mobil dengan pelan, jika tidak perempuan ini pasti terluka parah
"Mbak, maaf-maaf. Saya nggak sengaja, tadi mbak tiba-tiba nya---" ucapan Atlas terhenti ketika melihat sosok familiar yang ada di depannya, Atlas langsung mengenali sosok yang ada di hadapannya.
"Alina?"
Alina masih meringis, dia membuka helm dan memegang sikut yang terluka. Dagu perempuan itu juga terluka akibat gesekan aspal.
"Kamu kok bisa ada di sini? Kamu mau ke mana?"
Alina belum menjawab karena merasa perih dibagian lukanya.
Seketika jalanan menjadi ramai. Orang-orang langsung meminggirkan motor milik Alina. Menghujani Atlas dengan berbagai tuduhan dan memintanya untuk bertanggungjawab.
"Semuanya tenang. Saya gak akan lari, saya kenal orang ini. Dia teman saya." Kata Atlas.
"Mbak beneran kenal?" tanya seorang lelaki pada Alina. Alina menganggukkan kepalanya.
"Yaudah! Bawa ke rumah sakit, luka-lukanya harus diobatin."
"Iya, saya bakal bawa ke rumah sakit."
"Tlas, nggak usah. Ini cuma luka kecil."
"Udah, kita ke rumah sakit aja. Motor kamu dititip di sini aja. Nanti aku bakal suruh orang buat antar ke tempat tinggal kamu."
Alina mendesis, tubuhnya memang terasa sakit, terlebih di bagian tangannya yang mungkin terkilir. Mau tidak mau dia harus setuju untuk ke rumah sakit agar tidak terjadi hal buruk pada dirinya.
Atlas bergegas membuka pintu mobil dan menyuruh Alina untuk duduk di jok penumpang. Atlas melirik jam yang melingkar di tangganya. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi semoga saja dia tidak terlambat sampai ke kantor.
🌷🌷🌷
Beruntung akibat insiden itu Alina tidak terluka parah. Hanya mengalami luka-luka ringan dan persediaan yang sedikit bergeser. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Alina tidak mengalami luka dalam.
"Kamu apa kabar, Atlas?"
"Baik. Kamu sendiri?" tanya Atlas balik. Kini mereka sedang duduk di apotek rumah sakit untuk mengantre mengambil obat untuk Alina.
"Aku baik."
"Syukurlah."
"Kamu sama Anin gimana?"
"Baik,"
"Aku lihat nggak lama anak kalian bakal lahir, ya? Kamu pasti bahagia banget, kelihatan banget kamu yang excited dari postingan kamu."
"Iya. Aku nggak sabar nunggu anak aku lahir. Kamu sendiri gimana? Bahagia?"
Alina tersenyum getir.
"Semoga kamu bahagia juga. Ini pilihan kamu, kan? Sekarang aku udah berhasil menerima Anin sebagai istri aku."
"Syukurlah. Aku ikut senang mendengarnya."
"Al, kamu pulang pakai taksi online nggak apa-apa? Aku udah pesenin barusan. Kamu tinggal tunggu di depan nanti. Aku ada urusan penting ke kantor dan ini waktunya udah mepet banget."
"Oh iya, nggak apa-apa. Hati-hati ya."
"Kamu yang seharusnya hati-hati. Jangan kayak tadi lagi yang asal main nyalip aja. Untung aku bawa mobilnya gak kenceng."
Alina menganggukkan kepalanya. Atlas tak lagi mengucapkan apapun. Alina mengembuskan napas melihat punggung Atlas yang semakin jauh dari jangkauan matanya.
Padahal seharusnya Alina senang karena sekarang Atlas sudah berhasil melanjutkan hidup sesuai permintaannya, tapi mengapa afirmasi yang Atlas berikan malah membuatnya terluka?
Sikap Atlas yang dingin membuat hatinya terasa perih. Atlas tidak pernah mengabaikannya seperti ini. Tak terasa butiran bening itu jatuh membasahi pipi Alina. Bohong kalau dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Karena pada kenyataannya dia sangat terluka ketika Atlas bersikap acah tak acuh.
Dulu ketika masih bersama Atlas sangat perhatian, dia terluka sedikit saja Atlas panik setengah mati.
"Hati-hati ya potong bawangnya. Nanti tangannya kena pisau." Kata Atlas memperingati.
"Iya, tenang aja. Aku bisa kok." Kata Alina santai
Srett!
"Awsshhh ..."
Alina refleks melempar pisau hingga terpental ke lantai, darah segar mulai mengalir dari jari telunjuknya. Alina meringis menahan perih, Atlas yang mendengar pun ikut terkejut dan melihat tangan Alina sudah berlumuran darah.
"Tuh kan! Aku bilang hati-hati!" Kata Atlas, dia menarik tangan Alina dan membawanya ke wastafel. Atlas mencuci tangan sang kekasih ya g sudah tersayat pisau yang tajam.
"Aku udah bilang hati-hati, kamu bilang kamu bisa terus ini apa?"
"Ya ampun Atlas. Jangan marah-marah kayak gitu. Aku juga gak mau lho luka kayak gini. Lagian kamu kenapa panik banget sih, ketimbang luka kecil gini doang."
"Tetap aja, Al. Aku nggak mau kamu terluka seujung kuku pun." Kata Atlas. Setelah selesai membersihkan tangan Alina, Atlas membawanya untuk keluar dari dapur.
Mereka duduk di ruang tengah. Atlas mengambil kotak obat yang ada di dalam laci meja yang ada di samping tv. Tak lama Atlas kembali duduk di samping Alina
"Sakit gak?"
"Enggak sayang."
"Ini lumayan lho Al lukanya. Kamu nggak usah lanjutin masak. Biar aku aja yang masak buat adik kamu."
"Tapi, sayang ..."
"Kalau kamu nggak nurut yang ada nanti kita makin lama. Kasian kan dia lama-lama ditinggal di rumah sakit sendiri."
Terdengar helaan napas dari mulut Alina. Atlas telah selesai menempelkan plester di luka Alina. Lelaki itu kembali berdiri dan meletakkan kotak obat di tempat semula.
"Sekarang tunggu di sini, aku yang masak."
"Iyaaa ..."
Alina tersenyum mengingat beberapa fragmen singkat bersama Atlas dulu. Tidak pernah menduga kalau hubungannya dan Atlas akan berakhir seperti ini. Sekarang Atlas benar-benar telah berubah. Bukan dia lagi prioritasnya. Bukan dia lagi sebagai sumber kebahagiaan, semua itu telah berpindah pada wanita lain yang telah mendapatkan takhta tertinggi dalam hidup Atlas.
Tak lama nama Alina pun dipanggil untuk mengambil obat yang sudah disiapkan. Dengan langkah pincang, Alina pelan-pelan melangkah meninggalkan rumah sakit dan menunggu kendaraan yang sudah Atlas pesan untuknya.
🌷🌷🌷
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top