21. Rasa Bersalah
🌷🌷🌷
Atlas mondar-mandir di depan ruangan UGD dengan wajah panik dan jantung yang berdebar kencang. Hampir setengah jam dokter di dalam sana menangani Anin, namun Atlas belum juga mendapatkan kabar mengenai istrinya itu.
Berkali-kali Atlas menengok ke arah pintu, ingin sekali menerobos masuk dan melihat apa yang dilakukan dokter hingga bisa selama itu menangani Anin.
"Sialan! Kenapa lama banget? Mereka beneran nanganin Anin gak sih?!" protes Atlas kesal. Tangannya yang terkepal sesekali memukul tembok saking gelisahnya.
Di ujung lorong sana Arga melihat Atlas yang belingsatan. Dia dan juga kedua orang tuanya menghampiri Atlas dan menanyakan keadaan Anin. Atlas menjawab bahwa sampai sekarang dokter masih belum keluar dari ruangan UGD itu.
"Kenapa Anin bisa jatuh Atlas? Kamar mandinya nggak kamu bersihin?" tanya Indri, dia panik ketika mendengar kabar dari Arga mengenai kondisi Anin yang katanya jatuh di kamar mandi.
Pikiran Indri mulai menyebar kemana-mana. Takut kalau anak yang Anin kandung tidak bisa diselamatkan. Apalagi usia kandungannya baru menginjak bulan kelima.
"Aku juga gak tau apa yang terjadi, Ma. Aku lagi di kantor. Soal kamar mandi, itu kan tugas bibik."
"Tapi meski begitu kamu juga harus tetap perhatiin Atlas!"
"Ma, sudah. Bukan saatnya menyalahkan siapa pun. Sekarang yang paling penting itu adalah kondisi Anin." Irwan berusaha menenangkan Indri. Dia tahu kalau Indri sangat menyayangi Anin, hingga Indri tidak mau hal buruk apa pun terjadi pada menantunya itu.
Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruangan UGD. Semua orang yang ada di sana langsung bergegas menghampiri dokter yang masih berdiri di depan pintu.
"Dokter, gimana keadaan istri saya?" Atlas bertanya dengan suara berat.
Dokter melepas masker sambil mengembuskan napas berat.
"Syukurlah pendarahannya sudah berhenti. Tapi tolong ya jangan sampai ada lagi kejadian seperti ini. Ini sangat berbahaya dan bisa saja anak yang dikandung istri anda tidak bisa diselamatkan. Untuk sekarang dan kedepannya dia harus bed rest. Jangan biarkan dia melakukan aktivitas apa pun, ke depannya Anin harus menggunakan kursi roda jika ingin beraktivitas ke luar rumah."
Atlas mengembuskan napas lega, setidaknya kandungan Anin masih bisa diselamatkan.
"Tapi kondisi istri saya baik-baik aja kan, Dok? Saya mau ketemu."
"Nanti bisa ditemui kalau dia sudah dipindahkan ke ruang rawat. Sekarang dia masih belum sadarkan diri."
"Makasih, Dok."
🌷🌷🌷
"Kamu masih ada yang dirasa? Mungkin perut kamu masih sakit. Aku panggil dokter, ya," kata Atlas dengan suara pelan, dia duduk di samping Anin sambil menggenggam tangan sang istri. Sebelah tangan lagi dia pergunakan untuk mengusap perut Anin dengan lembut.
Anin baru saja siuman setelah hampir seharian tidak sadar. Sekarang di dalam ruangan itu hanya ada Atlas dan mamanya. Arga dan Irwan memang di suruh pulang karena sudah malam.
"Kamu nggak usah khawatir, anak kita baik-baik aja. Yang paling penting sekarang itu kamu, kamu harus bilang sama aku kalau kamu ngerasain sakit."
"Aku udah ngerasa lebih baik, Mas. Maafin aku ya, karena kecerobohan aku kita hampir aja kehilangan anak kita." Air mata Anin mengalir, dia pikir dia akan kehilangan anaknya mengingat dia yang jatuh dengan cukup keras, belum lagi dengan rasa sakit yang dia rasakan tadi. Rasanya mustahil bayi yang dia kandung bisa diselamatkan.
Anin tidak akan pernah memaafkan dirinya jika sampai terjadi sesuatu pada anaknya sendiri akibat kecerobohannya.
"Nggak apa-apa, bukan salah kamu juga. Yang paling penting sekarang kamu harus fokus sama kesehatan kamu. Biar bayi yang ada di dalam perut kamu juga baik-baik aja." Kata Atlas
"Atlas benar, Anin. Jangan merasa bersalah atas apa yang terjadi." Kali ini Indri yang angkat bicara, dia tidak mau kalau Anin terus menyalahkan diri dan malah berakibat fatal bagi kesehatan mentalnya.
"Untuk beberapa waktu sampai kamu kembali pulih Atlas bakal di rumah buat menjaga kamu, nanti Mama juga bakal ke sana buat bantu urus kamu."
Anin menganggukkan kepalanya. Dia sangat bahagia memiliki mertua yang begitu menyayanginya. Bahkan sekarang Atlas pun semakin memperhatikannya.
Anin benar-benar bersyukur dengan kehadiran bayi yang dia kandung, karena dulu merasa mustahil mendapatkan Atlas, tapi setelah dia hamil Atlas perlahan berubah.
Seperti sekarang, Anin betul-betul melihat bagaimana khawatirnya Atlas. Tadi sebelum tidak sadarkan diri, dia sempat melihat Atlas menangis ketika melihatnya kesakitan.
Anin tidak bisa membayangkan bagaimana jika bayi yang dia kandung tidak bisa diselamatkan. Mungkin saja Atlas marah besar dan berubah membencinya.
"Kamu mau minum?" tanya Atlas ketika pandangan Anin beralih pada segelas air putih yang ada di samping tempat tidur Anin.
"Iya."
"Sini aku bantu kamu duduk."
Anin meringis karena merasa sakit di bagian tulang ekornya.
"Kenapa? Ada yang sakit?" Gerakan Atlas terhenti, sejenak dia menatap Anin khawatir.
"Sedikit. Tapi masih bisa aku tahan."
"Beneran, kan?"
"Mending panggil dokter aja, Tlas."
"Aku baik-baik aja, Ma. Beneran nggak apa-apa kok."
Sekarang posisi Anin sudah berubah menjadi duduk. Dia menerima gelas berisikan air yang Atlas berikan.
"Mau makan dulu? Ini ada obat yang harus kamu minum."
"Iya, aku mau."
"Aku siapin ya."
Indri tersenyum melihat perubahan Atlas. Dia senang kalau sekarang Atlas sudah menerima pernikahannya bersama Anin. Indri hanya berharap semoga Atlas terus bisa menikmati kebahagiaan itu bersama Anin.
🌷🌷🌷
Hari ini Anin sudah diperbolehkan pulang setelah dirawat intensif selama tiga hari. Kondisi Anin dan calon bayinya terus membaik.
Atlas membopong tubuh Anin keluar dari mobil dan membawanya masuk ke dalam rumah.
"Mas? Kok digendong sih? Kan aku bisa jalan."
"Gak boleh, Anin. Inget kan apa kata dokter. Kamu itu harus istirahat total. Nggak boleh lakuin aktivitas apa pun, termasuk jalan kaki."
Anin terkekeh, dipukulnya pipi Atlas pelan.
"Ngaco kamu, Mas."
Atlas ikut tertawa. Diletakkannya tubuh Anin di atas sofa pelan.
"Kamu harus nurut sama suami kamu, sayang. Ini demi kebaikan kamu." Kata Indri yang ikut mengekor di belakang.
"Tuh, apa kataku. Aku itu bener."
"Iya deh iya ..."
"Harusnya kamu senang, Nin. Kamu bisa manja sepuasnya sama suami kamu. Sebelum rawat bayi kecil, Atlas belajar dulu ngerawat bayi besarnya." Ucap Indri dengan nada guyon.
Dua bola mata Anin melebar. Perutnya terasa geli ketika digoda seperti itu oleh mertuanya. Yang benar saja?
"Udah, mama jangan ledekin terus. Kasihan Anin pipinya sampai merah gitu."
"Ihh apaan sih, Mas." Anin megigit bibirnya, rasa malu kini menyelimuti dirinya. Ibu dan anak itu seperti berkonspirasi membuatnya jadi salah tingkah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top