11. Trauma Yang Berat

🌷🌷🌷

"Aku nggak begitu tahu tentang kak Arga, tapi aku senang bisa kenal sama Kakak." Kata Anin.

Dia yang baru saja mengenal Arga sudah bisa merasakan kebaikan dari kakak iparnya itu.

"Kalau ada apa-apa, bilang sama aku. Kalau seandainya Atlas nyakitin kamu, kamu cerita ke aku. Aku bakal jadi orang terdepan yang bakal bela kamu. Sekali pun Atlas itu adalah adik aku, tapi kalau dia salah, dia berhak untuk dikasih pelajaran."

Anin tersenyum mendengar penuturan yang keluar dari mulut Arga.

"Seharusnya kamu gak nutupin itu dari kita semua."

Kepala Anin yang awalnya fokus menatap jalan di depan, kini beralih menatap Arga yang fokus menyetir.

"Kakak tahu kalau ...."

"Atlas yang cerita ke aku. Anehnya dia cerita tanpa beban sedikit pun. Jujur aku keberatan dengan saran yang dia kasih ke aku."

"Untuk Kakak menikahi aku?"

Kali ini Arga yang terkejut. Jadi Anin pun sudah tahu masalah ini? Hebatnya perempuan itu masih bisa diam tanpa mengatakan apa yang sudah Atlas lakukan dengannya?

"Kamu tahu dan kamu diem aja? Atlas secara gak langsung udah ngerendahin kamu, Anin."

"Iya, aku tahu kok, Kak. Aku juga gak bisa salahin Mas Atlas sepenuhnya. Pernikahan aku dan dia juga terjadi tanpa rasa cinta. Aku mewajarkan sikap dia yang belum bisa cinta sama aku."

Arga menggelengkan kepala tak habis pikir. Dia pikir perempuan sebaik seperti Anin hanya ada di dalam cerita fiksi. Tapi sekarang dia benar-benar menemukan perempuan yang kesabarannya begitu besar.

"Aku punya cara sendiri gimana caranya supaya Mas Atlas bisa mencintai aku. Meski aku pun nggak tahu apakah cara ini berhasil atau enggak. Setidaknya aku udah mencoba supaya aku bisa diterima sama Mas Atlas.

Kalau Kakak tanya, apa aku nggak sakit hati saat aku lihat suami aku lebih sibuk dengan wanita lain? Bohong kalau aku bilang aku baik-baik aja. Aku pun terluka, tapi aku masih bisa tahan."

Arga masih diam dan membiarkan bicara.

"Kakak yakin kan kalau seseorang bisa luluh dengan kebaikan yang kita kasih? Aku harap dengan aku bersikap baik sama mas Atlas, dia bisa terima aku dan mau melanjutkan pernikahan. Aku udah bilang ke dia, nggak masalah kalau dia mau melanjutkan hubungan sama Alina. Asalkan dia mau berteman sama aku dan kasih aku kesempatan untuk bikin dia berubah pikiran. Dengan setujunya mas Atlas, aku ngerasa kalau aku udah punya peluang. Meski cuma sedikit."

"Gimana kalau kamu gagal?"

"Aku gak tahu."

"Kamu cinta sama Atlas?"

"Nggak ada seorang istri di dunia ini yang gak cinta sama suaminya, Kak. Aku cinta sama mas Atlas, makanya aku nggak akan bikin dia merasa nggak nyaman sama aku."

Berkali-kali air liur mengalir di tenggorokan Arga. Perempuan sebaik Anin sangat tidak layak untuk diberikan luka seperti Atlas yang sudah memberikannya luka.

Padahal perempuan sebaik itu belum tentu bisa datang dua kali.

Arga mengembuskan napas resah. Bahkan dia sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana berada di posisi Anin. Mencintai pasangan kita yang mencintai orang lain.

"Kakak janji, ya. Jangan bilang apa pun sama mama dan papa. Aku gak mau kalau mereka tahu dan hal itu bisa bikin mereka marah besar. Aku gak mau kalau mas Atlas nekat pergi dan aku gagal memperjuangkan rumah tangga aku sama dia."

Arga menghela napas berat.

"Kamu itu udah aku anggap sebagai adik aku, Anin. Jadi biarin aku melindungi kamu juga. Aku janji sama kamu kalau aku bakal pantau Atlas. Aku nggak akan biarin dia semakin berhubungan jauh dengan Alina. Bagaimanapun yang berhak memiliki Atlas adalah kamu, istrinya."

"Makasih, ya, Kak. Makasih udah mau peduli sama aku."

Arga menganggukkan kepalanya.

Anin sudah hampir sampai di rumah orang tuanya. Tadi dia ingin berangkat menaiki taksi. Tapi Arga masih cemas karena Anin baru saja pulih dari sakit setelah operasi usus buntu.

Alhasil, orang tua Atlas memberikan saran untuk Arga yang mengantarkan Anin ke rumah orang tuanya. Jika Anin menolak, ia tidak akan mendapatkan izin karena rasa khawatir sang mertua yang begitu besar.

🌷🌷🌷

Setelah mengantarkan Anin, Arga langsung pamit karena harus bertemu dengan teman lamanya.

Sudah lama sekali mereka tidak bertemu karena sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing.

Arga dengar, temannya kini telah menjadi salah satu dokter terbaik di salah satu rumah sakit yang ada di Singapura. Arga ikut bangga karena akhirnya temannya itu berhasil meraih apa yang dia cita-citakan dulu.

Seharusnya Arga pun bisa seperti Dewa--temannya. Tapi sayangnya Arga tidak mampu harus kembali mengenal dunia medis.

Semenjak Arga gagal menyelematkan nyawa istrinya. Saat itu juga Arga merasa ketakutan setiap kali harus bersentuhan dengan alat-alat medis.

Bayangan tentang kematian istrinya terus berputar di benaknya. Andai saja saat itu dia bisa melakukan semuanya semaksimal mungkin. Pasti sekarang istrinya masih bisa hidup.

Kadang Arga merasa bahwa dialah yang menyebabkan kematian istrinya sendiri. Pun dengan anak mereka.

"Dokter, pendarahan tidak bisa dihentikan. Detak jantungnya berhenti."

Arga menatap layar monitor pendeteksi jantung. Di sana hanya menunjukkan garis lurus dan bunyi yang menakutkan.

Tangan Arga gemetar, dia bingung ingin menyelamatkan istrinya atau anaknya.

Rekan Dokter yang ada di meja operasi menyadari keanehan pada Arga memintanya untuk mundur dan tidak melanjutkan operasi.

Arga berjalan mundur, matanya menatap Clara yang ada di meja operasi.

Dia juga bekihat berkali-kali dokter memberikan pertolongan agar jantungnya kembali berdetak. Dada Clara seperti ingin remuk saat ditekan. Karena itu adalah salah satu risiko agar jantungnya kembali berdetak.

Beberapa saat Arga melihat temannya menghampirinya. Arga pun sudah tahu kalau saat itu Clara sudah menghembuskan napas terakhirnya.

"Maaf, dokter. Kita gagal."

Kalimat itu berhasil membuat sekujur tubuh Arga lemah. Ia jatuh dengan air mata yang bercucuran deras

Dua mata Arga terpejam mengingat fragmen singkat itu. Sejak saat itu Arga pun tak ingin lagi berurusan dengan hal-hal yang berbaur media.

Beruntung orang tuanya bisa menerima rasa trauma yang dialami Arga.

Andai saja saat itu dia tidak datang ke tempat itu, andai saja saat itu tidak ada orang misterius itu, mungkin Clara tidak akan menjadi korban yang tertembak di sana.

Peluru itu tidak akan menembus jantung istrinya yang saat itu tengah mengandung buah cintanya.

"Maaf, Clara. Maaf karena aku nggak mampu nyelamatin nyawa kamu."

Beberapa saat Arga merasa sebuah tepukan dari belakang. Buru-buru Arga mengusap matanya dan melirik ke samping. Ternyata dia adalah teman Arga yang sejak tadi ditunggu.

"Sorry, gue telat, ya?"

"Enggak, gue juga baru aja kok."

"Pesan makan dulu kali, ya? Gue laper banget, sumpah."

"Dokter tapi gak bisa ya tahan lapar."

"Dokter juga manusia biasa kali, Ga."

Arga hanya tertawa mendengar jawaban temannya itu





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top