06. Sedikit Harapan


🌷🌷🌷

"Mas udah makan di luar ya sama Alina?"

Atlas menatap makanan yang ada di atas meja. Jujur ia masih kenyang karena tadi sempat makan bersama Alina.

Tapi ketika melihat Anin yang sudah susah payah menyiapkan makanan untuknya membuat Atlas menjadi tidak tega.

Lelaki itu duduk di meja makan.

"Udah, tapi lihat makanan ini aku jadi lapar lagi."

"Beneran?"

"Heem, sayang banget kalau nggak dimakan. Masakan kamu lumayan enak."

"Tumben mau muji? Biasanya juga Mas sekali bilang 'dari pada mubazir' kan?" Anin meledek Atlas.

"Jadi nggak mau masakannya dibilang enak?"

"Eh, nggak begitu, Mas." Anin langsung memajukan bibir beberapa senti.

"Cuma becanda, jangan baper gitu lah. Mana ini makanannya, kamu nggak siapin buat aku."

"Heheh iya, Mas. Maaf."

Anin mulai mengambil nasi dan memasukannya ke piring. Atlas tersenyum melihat ketelatenan Anin dalam melayani.

Jujur menurut Atlas Anin adalah perempuan yang baik. Rasanya tidak adil jika dia harus melampiaskan kemarahannya pada Anin atas perjodohan mereka. Bisa jadi kalau Anin juga terluka atas perjodohan mereka.

"Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?"

Atlas menerima piring yang Anin berikan.

"Kamu pernah punya pacar?"

Kening Anin mengkerut ketika mendengar pertanyaan dari Atlas.

"Kenapa memangnya, Mas?"

"Enggak. Aku cuma tanya. Kalau semisalnya ada, kenapa kamu nggak berjuang buat mempertahankan dia? Aku tahu kalau kalau kamu nggak mungkin single."

"Mas, aku nggak pernah sekali pun pacaran. Dari dulu aku cuma lakuin aktivitas seperti biasa. Belajar, pulang, belajar pulang. Bahkan aku nggak pernah diizinin papa buat sekedar main-main gak jelas. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Jadi mana mungkin aku punya pacar."

"Aku cuma tanya, Nin."

"Mas, aku tahu kalau Alina memang kembali dan Mas sangat ingin kembali sama Alina. Tapi inget, aku masih punya waktu satu tahun kan buat luluhin hati, Mas?"

"Nin, aku gak mau kamu kecewa. Karena aku memang sangat mencintai Alina. Aku sendiri nggak tahu apakah aku bisa melepaskan perasaan aku sama Alina atau enggak. Aku nggak pengin kamu terluka karena terus-terusan berharap sama ketidakpastian."

Atlas kembali memperingati. Dia memang sepakat untuk berteman dengan Anin. Tapi Atlas tidak pernah berjanji akan membalas cinta Anin.

Dari dulu dia tahu bagaimana dirinya, untuk jatuh cinta bukanhlah hal yang mudah bagi Atlas. Hingga dia bertemu dengan Alina, perempuan yang berhasil membuatnya tertarik karena menganggap bahwa Alina sangat berbeda dengan wanita mana pun.

Penampilan yang sederhana dan tutur kata yang lembut membuat Atlas jatuh hati berkali-kali lipat.

Setelah berhasil jatuh cinta pada Alina, Atlas selalu berjanji bahwa hanya Alina satu-satunya wanita yang ada di hatinya. Hanya Alina satu-satunya perempuan yang akan memegang takhta tertinggi di hatinya.

"Nggak apa-apa, Mas. Kalau pun aku kecewa itu karena keputusan aku sendiri. Kamu nggak perlu nanti merasa bersalah. Intinya kamu jangan pernah suruh aku untuk cari laki-laki lain atau siapa lelaki di masa lalu aku."

Atlas diam karen bingung ingin berkata apa.

"Setidaknya dengan Mas bersikap baik begini, aku punya sedikit harapan karena aku yakin kamu pasti bisa terima pernikahan kita."

Tak ingin membahas hal itu Atlas pun memilih untuk menyantap makanan yang ada di depan mata.

"Besok, masak ini lagi, ya."

"Mas suka?"

"Iya."

"Oke besok aku bakal masak makanan ini buat Mas. Oh iya, aku lupa. Tadi mama kasih kita tiket."

"Tiket?"

Anin menganggukkan kepala. Dia mengambil ponsel yang ada di atas meja. Membuka room chat dengan sang mama dan memperlihatkan tiket yang dia maksud pada Atlas.

"Mama bilang, ini adalah hadiah dari mama. Mama suruh kita liburan ke Bali. Ini Minggu depan."

"Honeymoon maksudnya?"

Anin tersenyum tipis. Tidak enak kalau harus blak-blakan mengatakan bahwa mereka ingin bulan madu.

"Iya, tapi kalau semisalnya Mas nggak mau, aku nggak bakal paksa."

"Kita bisa liburan doang. Aku bakal temenin kamu ke sana."

Mata Anin berbinar. Benarkah yang barusan dia dengar? Atlas setuju untuk berangkat ke Bali?

"Mas serius?"

"Iya. Anggap aja ini sebagai tanda kalau aku adalah teman yang baik buat kamu. Kamu udah baik sama aku dengan cara gak bilang tentang hubungan aku dengan Alina. Anggap aja itu sebagai bentuk terimakasihnya aku ke kamu."

Anin menganggukkan kepalanya. Apa pun alasannya Anin tidak peduli. Yang jelas Atlas bersedia untuk bulan madu bersamanya itu sudah jauh lebih dari cukup.

"Makasih ya, Mas."

"Iya, sama-sama."

🌷🌷🌷

Suara adzan subuh samar-samar terdengar oleh telinga.

Dua mata Atlas terbuka. Objek yang pertama kali dia lihat adalah sosok Anin yang tengah tertidur. Atlas melirik jam yang menempel di dinding. Sudah menunjukkan pukul 04:10.

Biasanya Anin pasti lebih dulu bangun ketimbang dirinya. Tapi kali ini wanita itu masih terlelap tidur.

Atlas berbuat membanggakannya dengan cara menggoyangkan tubuh Anin. Namun saat telapak tangan Atlas menyentuh lengan Anin, ia terkejut lantaran suhu tubuh Anin yang panas.

Atlas buru-buru memegang kening sang istri.

Panas. 

Itu artinya Anin sedang tidak sehat.

"Nin, Anin ...."

Terdengar lenguhan dari mulut Anin. Dengan susah payah dia berusaha membuka mata yang berat.

"Mas ..." Lirih Anin dengan suara serak.

"Kamu sakit?"

"Nggak tahu, aku memang lagi ngerasa gak enak badan. Mungkin semalam AC nya terlalu gede."

Atlas melirik AC yang menempel di dinding. Lelaki itu buru-buru mengecilkannya.

"Kamu kenapa nggak bilang dari semalam?"

"Aku nggak mau kalau Mas harus ngerasa kegerahan. Aku nggak mau kalau Mas tidur dalam keadaan nggak nyaman."

"Seharusnya kamu nggak perlu lakuin itu. Kamu bisa bilang ke aku, aku juga pasti bakal ngerti kondisi kamu, Nin. Kalau sakit begini, kamu juga yang bakal nggak nyaman. Sebentar, biar aku ambil obat penurun panas buat kamu."

Atlas turun dari tempat tidur setelah sebelumnya menyelimuti tubuh Anin.

Perempuan itu hanya memandang kepergian Atlas, diam-diam ia tersenyum dan ada rasa haru yang dia rasakan dalam hati. Meski Atlas terang-terangan mengatakan bahwa dia mencintai Alina tapi ketika kondisi seperti ini Atlas-lah yang paling peduli padanya.

Dengan sikap Atlas yang begini membuat Anin merasa bahwa dia memang punya harapan untuk memenangkan hati Atlas.

Anin akui, Alina tidak bersalah karena bagaimanapun Alina dan Atlas memang saling mencinta. Tapi meski begitu kini dia lah yang berhak atas Atlas dan juga cinta Atlas.

Hubungan mereka bukan hanya sekadar janji antara dua manusia saja, melainkan juga janji terhadap sang pencipta.

Tak lama Atlas kembali membawa obat dan juga alat kompres untuk membuat panas di tubuh Anin segera turun.

"Kamu mau solat nggak perlu ambil wudu."

"Kebetulan aku memang lagi haid, Mas."

"Ooh, gitu? Yaudah. Kamu minum obat, habis itu istirahat lagi. Sehabis solat nanti aku bakal urus kamu."

"Ehh, Mas. Jangan, nanti bisa telat."

"Hari ini aku nggak masuk."

"Kenapa?"

"Karena aku mau urus kamu."

Setelah membuka bungkus obat, Atlas memberikan obat pil itu pada Anin. Anin pun hanya menurut sana karena memang kepalanya benar-benar pusing. Dia ingin lekas sembuh agar secepatnya bisa mengurus Atlas lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top